tirto.id - Modus penipuan untuk mendapatkan data pribadi terjadi belakangan ini. Tidak tanggung-tanggung, pelaku menggunakan seragam dan atribut Polri lainnya untuk meyakinkan korbannya.
Seorang korban bernama Ridwan (26) yang merupakan warga Bogor pada Juni 2024 sekitar pukul 11.00 WIB lalu dihubungi seseorang yang mengaku dari pihak Telkomsel. Orang di ujung telepon itu menyebut bahwa Ridwan datanya digunakan seseorang warga di Sulawesi Utara hingga akhirnya memiliki tunggakan telepon.
"Katanya ada pencurian identitas, orangnya pakai identitas gue di Sulawesi itu dan ada tunggakan telepon. Akhirnya langsung dihubungkan ke polisi di polisi sekitar di Sulawesi. Sampai ada kata-kata dari orang yang ngaku cs Telkomsel diarahkan suruh ngomong ke polisinya," tutur Ridwan kepada Tirto, Rabu (17/7/2024).
Korban pun langsung dialihkan ke orang yang mengaku polisi untuk membuat laporan kepolisian. Saat berbicara dengan pelaku yang mengaku sebagai anggota polisi bernama Iptu Ivan Fajaranda, Ridwan diminta pindah ke Telegram dengan id @pol334455 dan @ivan6410.
"Dia awalnya nanya data diri sampai nama orang tua, status perkawinan di KTP, alamat, punya bank apa saja, saldo terakhir berapa dan NIK. Kan memang yang bahaya nama ibu kandung, nah itu disebut semua. Itu katanya buat ngecek data bener atau tidak. Akhirnya sampai dia telepon atasannya lewat HT dan datanya disebut kena TPPU," ucap Ivan.
Setelah menyerahkan identitas, kata Ridwan, dia dinyatakan terkena pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) dari seorang bernama Melinda. TPPU itu sendiri disebut pelaku karena bagian dari jaringan tindak pidana perdagangan orang.
Saat itu, Ridwan langsung sadar bahwa pelaku sedang melakukan penipuan dan mematikan teleponnya. Kendati demikian, pelaku melakukan panggilan video kembali untuk menunjukkan surat penangkapan dengan empat nama penyidik dari pangkat AKBP hingga Iptu.
"Kerugian sih ya karena data diri saya itu diambil sampai nama ibu. Nomor rekening saya si ngga saya kasih. Saya yakinnya karena ya emang dia ngga minta nyebutin nomor rekening saya. Saya juga blokir nomor telegram itu, saya juga langsung telepon bank untuk blokir M-banking, terus telepon Otoritas Jasa Keuangan (OJK)," ujar dia.
Diakui Ridwan, OJK saat itu menyatakan kasus seperti ini tidak bisa ditangani karena belum ada kejadian merugikan. Meski melakukan pemblokiran data diri untuk pinjaman online (pinjol), OJK hanya bisa menerima aduan apabila ada kerugian.
Hal tak jauh berbeda dialami oleh penulis bernama Nanda pada 16 Juli 2024, di mana dirinya dihubungi pertama oleh nomor seolah-olah CS Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) atas kasus gagal bayar kartu kredit senilai Rp28.300.000 sehingga digugat Bank BCA. Pelaku meyakinkan Nanda karena menyebutkan nomor KTP yang memang sesuai dengan miliknya.
Nanda mengaku, saat itu dia menampik adanya tunggakan kartu kredit, terlebih pelaku salah menyebutkan alamat rumahnya. Namun, pelaku menyatakan bahwa Nanda merupakan korbandari pencurian data pribadi untuk pengajuan kartu kredit dan harus melaporkan kepada kepolisian secara otomatis.
"Komunikasi berlangsung alot dengan orang yang mengaku polisi karena saya diminta mengirimkan foto KTP, namun saya khawatir penipuan. Saya abis itu beralih ke videocall dari WA untuk diyakinkan oleh pelaku. Saat itu nomor pelaku pakai id Bareskrim, foto profilnya juga logo Bareskrim," ungkap Nanda.
Pelaku, kata Nanda, mengaku sebagai AKBP Hadi dari lantai 8 Bareskrim Polri. Nanda lalu meminta pelaporan dan pemeriksaan dilakukan secara langsung di Bareskrim yang kemudian ditolak oleh pelaku dengan alasan harus membawa salinan dari PN Jakpus atas gugatan Bank BCA.
Saat melakukan wawancara dengan pelaku, latar lokasi disusun seolah-olah memang seperti ruangan dengan berbagai macam atribut Bareskrim. Di dalam wawancara itu, Nanda juga menyebutkan identitas lengkap karena disebut sebagai syarat pemeriksaan awal.
Nanda akhirnya sadar itu penipuan setelah dinyatakan sebagai pelaku TPPU atas TPPO yang dilakukan seseorang. Sebagai pencegahan, dia langsung membuat laporan ke Polda Metro Jaya.
"Semalam sudah ke SPKT Polda Metro Jaya, dari petugas menginformasikan untuk mengabarkan kembali jika terjadi kerugian setelah pengambilan data. Sejauh ini polisi mengaku siap ikut mengawal kasus ini," ucap Nanda.
Pengamat Sebut Pelaku Modifikasi Modus Penipuan
Direktur Eksekutif Information Communication and Technologi (ICT) Instittude, Heru Sutadi, menyebut bahwa modus itu hanya modifikasi dari berbagai penipuan yang kerap terjadi. Sebelumnya, modus yang digunakan pelaku dengan mengaku sebagai polisi dan meminta uang kepada korbannya.
Dia menduga, berbagai imbauan yang sudah disampaikan kepada masyarakat atas modus itu menjadikan pelaku memutar otak untuk melancarkan aksinya.
"Pun memang dari modus lama ini dimodifikasi seolah kita diinterogasi, tapi ini modus lama," kata dia saat dihubungi, Selasa (16/7/2024) malam.
Modifikasi modus ini, kata Heru, harus tetap diwaspadai oleh masyarakat karena berkaitan dengan pencurian data pribadi. Pelaku tidak lagi langsung meminta uang kepada korbannya karena identitas lebih dapat dimanfaatkan.
Masyarakat, kata dia, harus juga teredukasi mengenai prosedur pemeriksaan di mana seseorang pasti dimulai dari tahapan saksi, baru ke tersangka. Bahkan, hal itu harusnya memang dilakukan secara langsung di kantor polisi.
Heru mengingatkan, data pribadi memang perlu dijaga sebaik mungkin, terlebih Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi belum berlaku saat ini. Kejadian seperti dua korban di atas pun diminta Heru sebagai edukasi ke masyarakat untuk tidak memberikan identitas diri kepada siapapun.
"Jadi kalau dia seolah menghubungi kita kemudian meminta data kita yang jangan kasih karena harus persetujuan kita dan baiknya tidak memberikan data biarpun mengaku polisi atau aparat penegak hukum lainnya karena proses kepolisian secara patut," ucap dia.
Penulis: Ayu Mumpuni
Editor: Anggun P Situmorang