Menuju konten utama

Warisan Paus Fransiskus untuk Perempuan di Vatikan

Paus Fransiskus telah membukakan pintu bagi perempuan Katolik dan kalangan biarawati untuk berkiprah lebih banyak di Vatikan.

Warisan Paus Fransiskus untuk Perempuan di Vatikan
Ilustrasi Header Diajeng: Warisan Paus Fransiskus. tirto.id/Quita

tirto.id - Berpulangnya Paus Fransiskus pada 21 April lalu menyisakan duka mendalam bagi 1,4 miliar umat Katolik di seluruh dunia.

Jorge Mario Bergoglio lahir di Buenos Aires, 88 tahun silam.

Paus pertama yang berasal dari Ordo Jesuit ini gencar membela kalangan marjinal, seperti migran dan pengungsi.

Semangat advokasi tersebut sulit dipisahkan dari latar belakang keluarganya. Sang ayah bermigrasi ke Argentina dari Italia, yang pada awal abad ke-20 dibayangi dengan kebangkitan fasisme.

Ia merangkul hangat mereka yang terdampak kekejaman perang, seperti ditunjukkan dari rutinitasnya melakukan panggilan video via WhatsApp dengan gereja paroki Katolik di Jalur Gaza yang menjadi tempat perlindungan bagi ratusan warga Palestina, serta kedekatannya dengan keluarga korban “Dirty War” di Argentina.

Paus Fransiskus juga vokal menyuarakan perlindungan iklim dan lingkungan.

Pada 2015, ia mengeluarkan ensiklik (surat resmi) setebal 184 halaman, Laudato Si': On Care for Our Common Home, untuk menegaskan, di antaranya, betapa ajaran Katolik sejalan dengan aksi iklim dan bahwa dampak terdahsyat dari krisis iklim akan ditanggung oleh masyarakat miskin.

Dalam sambutannya untuk COP 28 pada 2023, ia tegaskan pula bahwa perusakan lingkungan merupakan “dosa struktural” yang bukan hanya dipengaruhi oleh aksi-aksi individu melainkan juga struktur dan sistem, terutama model ekonomi yang cenderung mengeruk profit semata dan mengesampingkan prinsip kelestarian.

Advokasi lainnya dari Paus Fransiskus mencakup dukungannya terhadap perempuan dan biarawati di Vatikan.

Sedari awal masa kepausannya, Paus Fransiskus sudah menunjukkan inisiatif untuk menyorot peran perempuan di lingkungan Gereja Katolik.

Pada 2016, ia pernah membentuk komisi untuk mempelajari peran historis perempuan sebagai diakon.

Di Gereja Katolik, diakon merupakan jabatan pelayan tertahbis atau rohaniwan. Diakon menjadi bagian dari sakramen Tahbisan Suci (Holy Orders) yang ditujukan kepada laki-laki.

Komisi ini kelak mengalami perpecahan internal. Beberapa waktu kemudian, Paus Fransiskus mengakui bahwa mereka tidak berhasil mencapai konsensus tentang posisi perempuan sebagai diakon.

Sebagaimana pendahulu-pendahulunya—Paul VI, John Paul II, Benedict XVI—Paus Fransiskus tetap mempertahankan posisi Gereja Katolik tentang larangan pentahbisan terhadap perempuan sebagai imam.

Bronagh Ann McShane dalam artikelnya di The Conversation memaparkan bahwa di masa lampau, perempuan di berbagai komunitas Kristiani turut memegang posisi kepemimpinan.

Meski begitu, McShane menegaskan, seiring Gereja semakin terinstitusionalisasi, kepemimpinan laki-laki pun semakin menguat dan peran perempuan perlahan tergeser.

Perempuan pada abad pertengahan, catat McShane, memang memiliki pengaruh spiritual—sebagai mistikus, abdis, dan teolog.

“Namun demikian, kekuasaan mereka umumnya terbatas pada ranah pengabdian religius, alih-alih tata kelola atau kepemimpinan institusional,” tulis McShane.

Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia

Paus Fransiskus tiba di Bandara VVIP Soekarno-Hatta, Banten, untuk melanjutkan lawatannya ke Papua Nugini. Di bandara Paus Fransiskus disambut perwakilan pemerintah, antara lain Menteri Agama Republik Indonesia Yaqut Cholil Qoumas, Dewan Pertimbangan Presiden Republik Indonesia Gandi Sulistiyanto, Uskup Jakarta Kardinal Ignatius Suharyo, Mgr. Antonius Subianto Bunyamin Ketua Konferensi Waligereja Indonesia, Ignatius Jonan (Ketua Panitia Kunjungan Apostolik Paus Fransiskus ke Indonesia) dan Duta Besar Indonesia untuk Tahta Suci Michael Trias Kuncahyono.(INDONESIA PAPAL VISIT COMMITTEE/ DANU KUSWORO)

Di satu sisi, kepemimpinan perempuan Katolik tidak mesti selalu berkaitan dengan persoalan pentahbisan.

Pada 2021 silam, Paus Fransiskus mengangkat Suster Nathalie Becquart sebagai Wakil Sekretaris di Kantor Sinode Para Uskup di Vatikan.

Kedudukan tersebut memungkinkan biarawati asal Prancis ini untuk memberikan suara dalam musyawarah dewan gereja Sinode Para Uskup.

Tak lama setelah itu, Paus Fransiskus memberikan hak suara pada 57 perempuan, dari total 368 peserta, untuk berpartisipasi di Sinode Para Uskup 2024.

Paus Fransiskus percaya bahwa perempuan dapat memimpin dengan luar biasa di ranah administratif.

Ia pun membuka kesempatan bagi lebih banyak perempuan untuk berpartisipasi di lembaga-lembaga administratif di bawah naungan Gereja Katolik, yang secara historis didominasi oleh laki-laki.

Melansir Vatican News, pada 2023, atau sepuluh tahun setelah ia diangkat sebagai Paus, tercatat persentase angkatan kerja perempuan di Vatikan mengalami peningkatan dari 19,2 persen menjadi 23,4 persen.

Angka di atas merujuk pada mereka yang bekerja untuk dua entitas administratif di Vatikan: Takhta Suci (Holy See, pemerintahan pusat Gereja Katolik yang dipimpin Paus) dan Negara Kota Vatikan.

Paus Fransiskus

Paus Fransiskus (kanan) menyapa suster Fransiskan Raffaella Petrini. FOTO/ AFP)

Selama masa kepausannya, Paus Fransiskus berupaya menguatkan posisi perempuan di Vatikan dengan menempatkan mereka pada level eksekutif, sebagai eselon tinggi atau pejabat senior.

Melansir nukilan dari buku The Jesuit Disruptor: A Personal Portrait of Pope Francis (2024) karya Michael W. Higgins, upaya tersebut dilakukan seiring dengan jalur yang telah ditetapkan Paus Fransiskus dalam surat apostolik Predicate Evangelium pada 2022 silam.

Dokumen tersebut, tulis Higgins, “secara radikal merevisi, mengganti nama, dan merestrukturisasi Kuria Vatikan”.

Perubahan ini memungkinkan kaum awam—warga Gereja Katolik baik laki-laki maupun perempuan yang tidak menerima tahbisan suci, bukan pula biarawan atau biarawati—untuk menjadi pemimpin departemen.

Sebelumnya, kebanyakan dari mereka hanya dapat menjabat di level sekretaris atau konsultan.

Pembaruan struktural ini menunjukkan keseriusan Paus Fransiskus untuk melibatkan lebih banyak kaum awam, serta biarawan dan biarawati yang tidak menerima tahbisan suci, ke tangga kepemimpinan di lingkungan Gereja Katolik.

Salah satu reformasi penting yang dilakukan Paus Fransiskus adalah mengangkat Suster Raffaella Petrini pada bulan Maret lalu sebagai Presiden Komisi Kepausan dan Presiden Gubernurat Negara Kota Vatikan.

Sejak 2022, Suster Petrini adalah Sekretaris Jenderal Gubernurat.

Sebagai Presiden Komisi Kepausan, Suster Petrini memimpin badan yang tugasnya adalah membantu Paus dalam mengatur wilayah Vatikan secara administratif dan legislatif.

Pada waktu sama, sebagai Presiden Gubernurat, Suster Petrini mengelola urusan sipil dan operasional sehari-hari dalam struktur pemerintahan administratif Negara Kota Vatikan, seperti layanan sipil, museum, sampai keamanan dan kepolisian.

Jabatan tersebut menjadi posisi tertinggi di dalam struktur administratif Vatikan yang pernah dipegang oleh perempuan.

“Perempuan mengelola lebih baik daripada kita yang laki-laki,” demikian disampaikan oleh Paus Fransiskus awal tahun ini terkait jabatan kepemimpinan Suster Petrini.

Masih berpegang pada dokumen Predicate Evangelium, kaum awam berpeluang memimpin Dikasteri (kementerian atau lembaga dalam konteks negara) dan menjabat sebagai Prefek (setingkat menteri). Selama ini, peran tersebut dikhususkan bagi para Kardinal dan Uskup Agung.

Awal tahun ini, Paus Fransiskus menunjuk Suster Simona Brambilla sebagai Prefek untuk memimpin Dikasteri untuk Lembaga Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan.

Sebelumnya, sejak 2023, Suster Brambilla menjabat sebagai Sekretaris di lembaga yang sama.

Suster Simona Brambilla

Suster Simona Brambilla, 59, yang menjadi wanita pertama yang ditunjuk oleh Paus Fransiskus untuk memimpin departemen utama Vatikan pada 6 Januari 2025. FOTO/reuters

Upaya Paus Fransiskus untuk menjadikan Gereja Katolik lebih inklusif dengan menguatkan kapasitas perempuan sebagai pemimpin struktural di Vatikan patut diakui sebagai langkah maju yang datang dari institusi keagamaan tertua di dunia ini.

Meski begitu, bukan berarti inisiatif-inisiatif tersebut bebas dari kritik.

Merangkum opini Dr. Bronagh McShan dari Trinity College Dublin yang terbit di Irish Times, kalangan Katolik progresif, yang menyambut baik inklusi perempuan di pemerintahan Vatikan, masih menganggap reformasi tersebut kurang jauh.

Menurut kelompok ini, pihak Gereja perlu menanggapi soal pentahbisan imamat apabila memang betul-betul ingin menjawab isu kesetaraan dan inklusivitas gender.

Di sisi lain, kalangan konservatif menganggap seruan tersebut sebagai “ancaman terhadap tradisi dan doktrin” yang dapat menjauhkan umat Katolik dari “fondasi-fondasi teologis Katolik”.

Di balik itu semua, Paus Fransiskus telah mencoba membukakan pintu bagi perempuan Katolik dan biarawati untuk berkiprah lebih banyak di Vatikan.

Pada akhirnya, semua kembali kepada kalangan internal Gereja, dan keputusan Paus selanjutnya, sejauh mana akan menyikapi progres yang sudah berlangsung.

Baca juga artikel terkait SUPPLEMENT CONTENT atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih & Daria Rani Gumulya

tirto.id - Binar
Penulis: Sekar Kinasih & Daria Rani Gumulya
Editor: Dipna Videlia Putsanra & Sekar Kinasih