tirto.id - Theo Hesegem, Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua, mengisahkan ulang pengakuan dua warga non-Papua yang dianggap sebagai penculik anak di Wamena. Ia bertemu mereka di Polres Jayawijaya, Senin, 14 Maret 2023.
Dua orang itu Bernama, Tujuam Hutajulu dan Laurensius Manalu, merupakan karyawan toko sembako yang memasok dagangannya untuk kios-kios di Wamena. Pikap jadi kendaraan mereka.
Saat itu, mereka memasuki Kampung Yomaima, Distrik Napua, Kabupaten Jayawijaya, 23 Februari 2023. Pada siang dan di daerah yang sama, seorang anak perempuan, Berlinda Kogoya, disuruh ibunya ke kios guna membeli minyak goreng, penyedap, dan kunyit.
Barang telah Berlinda dapat, ia pun kembali menuju rumah. Di tengah perjalanan, gadis itu berpapasan dengan Tujuam dan Laurensius. Kemudian salah satu dari mereka melemparkan salam kepadanya: “Selamat siang!”. Mendengar ucapan itu Berlinda berlari ke kediamannya sembari menangis. Belanjaan ia buang.
Tiba di rumah, kakak Berlinda yang baru pulang kerja, melihat adiknya berlari. Setelah mendapatkan kabar, dua kakak mengejar mobil pedagang menggunakan ojek. Di badan jalan kampung, terjadi miskomunikasi. “Mereka datang dan memukul sopir itu,” tutur Theo. “Di situ sempat terjadi keributan.”
Keramaian itu membuat warga menghubungi polisi, dan polisi pun datang. Petugas mencoba memediasi keluarga si anak dan si pedagang. Kapolres Jayawijaya AKBP Hesman Napitupulu datang berupaya mendinginkan suasana. Massa berdatangan, makin banyak orang yang berkumpul. Kemudian ada seruan “Bakar!” disusul pelemparan batu ke arah polisi, Tujuam, dan Laurensius.
Polisi memasukkan Tujuam dan Laurensius ke mobil demi keamanan. Masyarakat setempat meminta agar perkara itu diselesaikan di tempat, namun Kapolres meminta agar problem itu dirampungkan di markas kepolisian saja. Baku pendapat berlangsung, akhirnya ada yang menyampaikan agar masalah diselesaikan di halaman SMP YPPGI Anigou Wamena –sekira 450 meter dari Pasar Sinakma di Jalan Yos Sudarso.
Mobil polisi yang berisi Tujuam dan Laurensius berbelok ke Asrama Kodim 1702/Jayawijaya. Massa kembali melemparkan batu ke arah mobil polisi, lantas sang sopir tak jadi masuk ke asrama, lalu melanjutkan perjalanan ke kota. Sekitar pukul 14, terjadi bentrokan massa dan polisi.
“Kemudian sore hari terjadi pembakaran rumah disertai penembakan bertubi yang dilakukan oleh anggota. Di situ ada anggota Brimob,” terang Theo.
Sekira pukul 17.00-17.30, hujan turun dan korban berjatuhan. Sekitar pukul 21, Theo mendapatkan informasi ada korban di rumah sakit, dia pun mendatangi para korban. Awal pengamatan Theo, ada 17 korban luka dan ada 7 orang tewas. Dia melihat bekas tembakan di betis, dada, ketiak, paha, dan kaki korban; bahkan luka tembak itu tembus.
Lalu, dua orang yang diduga menjadi korban pembacokan di bagian wajah dan leher, Ramota Siagian dan Albert Sitorus, dibawa ke rumah sakit tersebut. Theo juga melihat ada panah yang menusuk punggung mereka. Kedua orang itu pun tewas.
Berdasar penelusuran Theo, puluhan orang jadi korban. “11 orang tewas yaitu 9 orang asli Papua dan 2 orang non Papua. Korban luka ada 58 orang,” ucap Theo.
Para korban warga lokal berasal dari Kabupaten Lanny Jaya, Kabupaten Nduga, Kabupaten Jayawijaya, dan Kabupaten Yahukimo.
Para korban tewas, yakni Wais Aspalek, Stepanus Wenda, Fredy Ilowa Elopere, Niko Yanengga, Yan Murib, Simias Telipele, Piki Kogoya, Korowa Wanimbo, Mian Karunggu, Ramota Siagian, dan Albert Sitorus.
Kepolisian juga merespons soal kericuhan tersebut.
“Kami mendapatkan informasi bahwa ada sebuah mobil tujuan Kampung Yomaima yang ditahan oleh masyarakat di Kampung Sinakma. Diduga sopir mobil tersebut adalah oknum penculikan anak sehingga ini yang membuat kehebohan masyarakat,” kata Kabid Humas Polda Papua, Kombes Pol Ignatius Benny Ady pada 23 Februari 2023.
****
Theo mencoba mengingat, salah satu dari Tujuam dan Laurensius telah menetap di Jayawijaya selama dua tahun dan seorang lainnya menetap dua bulan. Kartu Tanda Penduduk (KTP) pun menegaskan mereka adalah pendatang. Mereka membantah hendak menculik anak.
"Kami disuruh bos menjajakan dagangan di kios-kios," tutur Theo menirukan. "Kami tidak berniat menculik anak itu, kami memang menyapa. Mobil sempat berhenti karena barang yang kami ikat itu longgar. Kami berhenti untuk mengikat."
Upaya Mediasi
Pada 28 Februari, lima hari usai kerusuhan. Keluarga dan kerabat korban tewas dan luka, datang ke pertemuan dengan pemerintah di Stadion Pendidikan Wamena. Sekira 7.000 orang memenuhi tempat itu.
Mereka datang untuk berdiskusi dengan pemerintah beberapa wilayah. Masing-masing diberikan kesempatan untuk menyampaikan harapan kepada bupati-bupati dan Gubernur Papua Pegunungan yang hadir.
Pertama, masyarakat Lanny Jaya yang mewakili empat korban, menyampaikan hasil kesepakatan dari keluarga. Mereka meminta Rp5 miliar bagi korban tewas dan Rp1 miliar bagi korban luka.
Kedua, masyarakat Nduga yang mewakili tiga korban, menyampaikan hasil kesepakatan dari keluarga yakni proses hukum tetap berlanjut dan masyarakat Nduga mengembalikan tuntutan kepada masyarakat Lanny Jaya sebagai tuan masalah.
Ketiga, masyarakat Yahukimo yang mewakili satu korban, menyampaikan hasil kesepakatan dari keluarga yaitu penegakan hukum dan perihal kompensasi mengikuti kemauan masyarakat Lanny Jaya. Keempat, masyarakat Jayawijaya menyampaikan bahwa mereka meminta 30 ekor babi dan ihwal kompensasi pun idem.
“Rp5 miliar itu masih kasar. Kemudian kami mengklarifikasi ulang bahwa mereka tak menuntut per kepala, tidak menuntut kompensasi, tidak menuntut santunan. Istilahnya uang 'pembubaran duka', bukan penyelesaian secara adat," ucap Theo.
Lantas dalam pertemuan selanjutnya, pemerintah memanggil Theo dan perwakilan masyarakat. Pemerintah memutuskan memberikan sumbangan Rp1 miliar per kabupaten.
“Keluarga korban menyampaikan meski menerima uang duka, kasus tak berakhir. Proses hukum tetap berlanjut," tegas Theo.
Disebut Kejahatan HAM
Insiden kematian korban ini adalah satu dari banyak penembakan yang dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia terhadap orang asli Papua. Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Puncak Papua (IPMAP) pun merespons hal tersebut. Mereka mendesak pemerintah menyelidiki kasus-kasus kematian seperti penculikan anak, mutilasi, bahkan kekerasan berbasis rasisme.
“Segera lakukan penyelidikan dan investigasi seluruh kasus kekerasan terhadap rakyat sipil Papua selama dua tahun terakhir ini. Semua kasus kekerasan di Papua melibatkan institusi negara, TNI dan Polri,” ujar Lani Yikwa perwakilan IPMAP kepada Tirto, Senin, 13 Maret 2023.
Ia menilai kekejaman militer Indonesia di Papua yang sangat tidak manusiawi, maka pelaku harus diadili di mahkamah internasional.
“Pembunuhan di luar hukum adalah taktik penaklukan bangsa Papua oleh Indonesia. Kematian rakyat Papua bagi Indonesia adalah halal dan hal biasa, artinya nyawa orang asli Papua tidak diperhitungkan lagi," lanjut dia.
Ambrosius Mulait, Sekjen Asosiasi Mahasiswa Pegunungan tengah Papua se-Indonesia (AMPTPI), pun buka suara. Dia berpendapat, mutasi Kapolres Jayawijaya usai insiden Wamena tidak menghilangkan tindak pidana, sebab penembakan oleh anggota Polri di lapangan, bisa berdasar instruksi pimpinan. Kapolres Jayawijaya kini dijabat oleh AKBP Heri Wibowo, dia menggantikan Hasman.
“Penembakan terhadap 26 orang di Wamena atas perintah atasan, anggota tidak akan lakukan penembakan jika tidak ada perintah," ucap Ambrosius kepada Tirto, Rabu, 15 Maret 2023.
Ia menambahkan, “Hal ini sikap buruk institusi Polri di Papua yang kerap merepresi ruang demokrasi dan mencabut nyawa manusia dengan cara pembunuhan di luar hukum. Ini tindakan biadab.”
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan, kondisi di Papua saat ini, khususnya situasi konflik bersenjata, memasuki kategori sulit dikendalikan. Saat yang sama, kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua terus terjadi kepada warga sipil maupun pihak yang bekerja dalam misi sosial.
Insiden Wamena tidak berhubungan langsung dengan konflik bersenjata. “Tapi konflik bersenjata yang saat ini bereskalasi memberi pengaruh yang cukup serius bagi penggunaan kekuatan yang berlebih bagi aparat keamanan," ucap dia.
Usman mengatakan, bahkan penggunaan senjata api berpeluru tajam terdapat dalam peristiwa Wamena. Hal itu mengakibatkan nyawa melayang.
Komnas HAM Masih Menyelidiki
Komnas HAM memantau peristiwa ini. “Kami masih menyelidiki. Tanggal 6-11 Maret, tim Kantor Perwakilan Komnas HAM Papua datang. Sekarang (pemantauan) masih berlanjut dengan Komnas HAM Pusat,” ucap Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro.
Dia juga meminta kepada siapapun yang menjadi saksi bisa bekerja sama dengan pihaknya untuk penelusuran perkara.
Perihal penentuan apakah insiden ini bisa disebut sebagai pelanggaran HAM berat, Atnike menegaskan pihaknya tak bisa grasah-grusuh dalam penyelidikan.
“Kami tidak bisa menyimpulkan cepat karena harus memverifikasi di lapangan. Bukti-bukti dan keterangan saksi sedang diselidiki, kami tidak bisa terburu-buru karena harus sesuai prosedur,” jelas dia.
Sementara ihwal pemberian uang "penutup duka", peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Cahyo Pamungkas berkata, mekanisme kompensasi tidak tepat. Apalagi jika konflik melibatkan aparat keamanan.
“Karena akan melegitimasi kekuatan yang besar dan melanggengkan impunitas,” ujar dia. Cara yang tepat ialah penegakan hukum, kata Cahyo.
Kompensasi tidak bisa menyelesaikan akar konflik di Papua, meski insiden Wamena bukan bersifat politis. Membunuh orang tidak bisa diganti dengan denda; tidak semua mekanisme kultural bisa digunakan untuk merampungkan problem masa kini.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz