tirto.id - Ada yang memajang foto anak, ada pula yang memasang gambar perempuan berpenampilan seronok. Ada yang menulis kata-kata bijak dan doa, ada pula yang menulis curhatan berbalut banyolan. Ada yang dibuat dengan niat sungguh-sungguh, ada pula yang ditampilkan sekadarnya. Itulah potret seni "pantat truk" yang biasa kita jumpai di jalan-jalan.
Di Indonesia, seperti halnya di berbagai negara lain, truk bukan sekadar kendaraan pengangkut barang. Ia adalah rumah berjalan, sumber penghidupan, sekaligus kanvas ekspresi bagi para pengemudinya. Tidak heran jika kemudian muncul tren modifikasi truk yang sangat mencolok seperti lukisan pantat truk tadi.
Di Pakistan, misalnya, sekujur tubuh truk dihias dengan lukisan bermotif etnik. Sementar di Brasil, bokong truk dibuat menungging sampai beberapa meter. Masing-masing tampil berbeda, tetapi punya benang merah yang sama: kebanggaan, fungsi, dan identitas.
Gaya modifikasi yang berkembang pun tidak berdiri sendiri. Ia dipengaruhi oleh sejarah, ekonomi lokal, budaya pop, bahkan politik. Setiap negara punya cerita unik tentang bagaimana truk dimaknai dan diubah. Dari sana kita bisa melihat bahwa truk—seaneh atau semewah apa pun tampilannya—selalu punya alasan di balik bentuknya.
Truk sebagai Kanvas Seni Etnik
Di Pakistan, seni modifikasi truk sudah eksis sejak masa kolonial Britania Raya dan kini berkembang menjadi ekspresi budaya yang unik. Truk dihias penuh warna, lengkap dengan ornamen logam, cermin, dan kayu ukir. Hasilnya, kendaraan berat disulap menjadi karya bergerak yang menyampaikan kisah dan identitas pemiliknya
Menurut laporan AP News, pengrajin seperti Muhammad Ashfaq dari Rawalpindi menciptakan gaya khas—seperti "Pindi style" yang flamboyan, lengkap dengan lukisan cermin dan stiker rumit—berdasarkan preferensi klien dan anggaran mereka. Gaya ini tak hanya bersifat estetika, tapi juga mencerminkan asal daerah dan nilai sosial sang pemilik. Misalnya, ornamen kayu Ukiran Peshawar dan inlay tulang unta dari Baluchistan menunjukkan perbedaan regional yang kaya.
Lukisan-lukisan serta kaligrafi dan pesan religi atau puisi pun umum ditemui sebagai wujud dialog visual antara sopir, komunitasnya, dan sesama pengguna jalan.
Rangkaian pengerjaan dilakukan oleh beragam pengrajin, mulai dari tukang kayu, logam, pelukis, tukang kaca, dan kaligrafer. Industri ini menyerap tenaga kerja massal dan menjadi bagian penting dari ekonomi kreatif lokal. Sebagai gambaran, satu pengerjaan truk memakan biaya antara 113 sampai 275 juta rupiah.
Secara keseluruhan, modifikasi ini bukan hanya soal penampilan, melainkan juga medium penyampaian aspirasi personal, kebanggaan daerah, bahkan spiritualitas sopir truk.

Truk "Pantat Nungging"
Di jalanan Brasil, populer fenomena mengangkat bagian belakang truk—memberi kesan “nungging”. Banyak yang bingung dengan alasan di balik gaya ini. Bahkan, tak sedikit kreator konten, termasuk di Indonesia, yang mengira bahwa alasan di baliknya adalah untuk mencegah kejahatan bajing loncat. Namun, laporan dari DW membantah itu semua.
Menurut hasil liputan DW, ada tiga alasan mengapa sopir truk Brasil memilih gaya truk nungging. Pertama, karena menurut mereka gaya itu terlihat keren. Kedua, mereka merasa konfigurasi ini memberikan stabilitas ekstra saat truk melibas tikungan, karena distribusi bobotnya lebih aman saat memuat barang berat. Ketiga, dalam jangka panjang suspensi belakang jadi tidak mudah aus, sehingga biaya untuk penggantian pegas bisa ditekan dan ongkos perawatan jadi lebih ekonomis dibanding setelan pabrikan.
Meski demikian, modifikasi ekstrem seperti ini menghadirkan risiko keselamatan. Seorang pakar yang juga diwawancarai oleh DW menyebut, saat truk mengerem keras, bagian belakangnya dapat melompat ke atas, membuat truk rentan jungkir balik dan berpotensi mencelakakan kendaraan yang mengikuti dari belakang. Risiko lain, kendaraan kecil bisa tersangkut di kolong truk bila terjadi tabrakan mendadak. Meski begitu, tren ini masih populer sampai sekarang.
Truk Dekotora yang “Heboh”
Jepang tidak mau kalah dalam kultur modifikasi truk. Di sana ada kultur Dekotora yang merupakan portmanteau (kata yang dibentuk dengan menggabungkan dua kata atau lebih) dan wordplay dari Decoration Truck. Truk-truk ini dihiasi secara ekstrem, mulai dari lampu neon warna-warni, cat krom mengilap, lukisan tangan yang rumit, hingga ornamen-ornamen mencolok seperti bumper raksasa dan panel akrilik bercahaya.
Dekotora bukanlah tren baru. Akar budayanya dapat ditelusuri dari tahun 1970-an, dipopulerkan lewat film seri Torakku Yaro (Truck Guys), sebuah seri komedi aksi yang menampilkan sopir truk eksentrik dan truk-truk nyentrik mereka. Film ini meledak dan menginspirasi banyak sopir truk sungguhan untuk menghias kendaraan mereka serupa sang protagonis. Maka lahirlah komunitas Dekotora yang menjadikan modifikasi truk sebagai ekspresi seni dan identitas.
Bisa dibilang, Dekotora lebih menyerupai cosplay otomotif. Penuh estetika, simbolisme, dan kadang spiritualitas. Beberapa pengemudi bahkan menyematkan altar kecil atau simbol keagamaan di dalam kabin mereka sebagai bentuk perlindungan. Dan meski biayanya bisa mencapai jutaan yen, komunitas ini tetap bertahan dan berkembang, bahkan hingga generasi muda, berkat dorongan nostalgia, warisan keluarga, dan tentu saja, kebanggaan kolektif.
Saat ini, asosiasi seperti Utamaro Kai masih aktif menyelenggarakan parade dan pameran Dekotora di berbagai daerah Jepang. Ini menunjukkan bahwa seni jalanan tersebut merupakan bagian dari subkultur otomotif yang kuat dan hidup.

Dekor Maksimal dan Mistisisme
Bicara gaya modifikasi truk, belum lengkap tanpa membicarakan budaya di Thailand yang menggunakan stiker anime, patung Michelin Man, karakter Transformers, dan lampu LED, lengkap dengan sistem audio yang memekakkan telinga.
Para pengemudi ini memang menggunakan truk mereka secara biasa-biasa saja; untuk mengangkut barang lintas negara bagian serta melintasi jalur truk dari Myanmar atau Laos hingga Malaysia. Namun, mereka juga menjadikan kabin truk sebagai karya seni bergerak. Seni ini bukan sekadar untuk pamer, melainkan juga untuk membangun kebanggaan dan jaringan solidaritas.
Lebih jauh lagi, hiasan-hiasan seperti patung Michelin Man—didapat gratis dari pembelian ban—bukan hanya simbol status, tapi juga refleksi psikologi pengemudi. CEO pabrik pengecatan Soonchai Industry Sirintra Phichitphajongkit menjelaskan, "Ketika truk sudah dihias sedemikian rupa, para sopir akan lebih berhati-hati saat mengendarainya."
Sebenarnya, menghias truk secara berlebihan merupakan bentuk pelanggaran undang-undang di Thailand. Akan tetapi, menurut laporan The Nation, apabila ditilang, biasanya para pengemudi cuma mendapat denda ringan. Tak cuma itu, polisi-polisi Thailand pun, konon, justru kagum dengan gaya modifikasi para sopir tersebut.
Truk dengan Lukisan di Bokong
Di Indonesia, terutama di jalur Pantura dan pesisir selatan Jawa, bagian belakang truk sering dihiasi karya seni unik berupa lukisan penuh warna, kata-kata jenaka, pesan religius, hingga sindiran sosial yang tajam. Fenomena ini digolongkan sebagai seni urban, berupa narasi visual bergerak yang mengisi lanskap jalan tol dan sekitarnya.
Menurut Jurnal Seni Nasional CIKINI, lukisan-lukisan ini mencerminkan pengalaman keras para sopir truk: dominasi pria berpendidikan rendah, tekanan ekonomi, pandangan terhadap perempuan, hingga refleksi spiritual dan moral. Truk-truk ini menjadi “cermin sosial” yang menginformasikan kondisi budaya, ekonomi, dan emosional masyarakat yang mereka wakili.
Periode 2009–2015 dipenuhi tema seputar seks, maskulinitas, atau pesan moral. Namun, sejak 2015, tren beralih ke kalimat lucu seperti “pulang malu, nggak pulang rindu”, karakter kartun, doa, dan nama komunitas truk. Kini, bukan hanya bak truk, tetapi seluruh bodi—kap, pintu, hingga kabin—sering dilapisi lukisan yang disesuaikan selera pemilik dan pelukis.
Pelukis profesional seperti Topik (Surabaya) dan Agustian (Tasikmalaya) mengaku harus beradaptasi mengikuti selera pasar. Mereka mulai mendesain lewat ponsel dan menerima referensi digital klien. Namun perkembangan teknologi seperti digital printing juga menyisakan kekhawatiran: banyak pelukis tradisional merasa profesinya terancam karena visual massal yang mudah diproduksi.
Yang lebih menarik dari semua itu adalah terbentuknya komunitas—setidaknya 12 komunitas truk besar di Jawa sejak 2015—yang secara kolektif menentukan tren visual dan bahkan menyelenggarakan truck festival, seperti Jogjakarta Truck Festival. Ajang seperti ini menjadikan truk bukan sekadar kendaraan, tetapi simbol solidaritas, kreativitas, dan identitas kelas pekerja.

Seni Rakyat di Kanvas Bergerak
Dari jalanan Andes hingga jalur Pantura, dari mural flamboyan Pakistan hingga dekotora Jepang, truk-truk di berbagai belahan dunia bukan sekadar alat angkut. Mereka adalah kanvas berjalan, perpanjangan identitas kolektif, dan kadang, bentuk perlawanan diam terhadap struktur sosial yang menindas.
Setiap negara punya motif dan logika yang berbeda. Di Pakistan, ornamen dan warna mencerminkan kebanggaan dan spiritualitas. Di Brasil, suspensi belakang yang tinggi bukan sekadar estetika, melainkan solusi praktis dan simbol kejantanan. Di Jepang, dekotora adalah ekspresi seni subkultural yang meleburkan disiplin dan eksentrik. Thailand mengangkat mistisisme dan perlindungan, sementara Indonesia menjadikan truk sebagai ruang curhat para pekerja jalanan—penuh satire, doa, dan humor kelas pekerja.
Perbedaan-perbedaan ini justru memperlihatkan satu kesamaan penting. Bahwa di mana pun, modifikasi truk selalu lahir dari bawah. Ia bukan produk elite atau pabrikan besar, melainkan hasil kreasi para sopir, mekanik, dan pelukis lokal yang ingin menyematkan sedikit makna personal dalam hidup yang keras dan penuh repetisi.
Truk mungkin tak bisa bicara, tapi dari tiap coretan, lampu, dan suspensi yang diubah, mereka berbicara lantang tentang siapa pemiliknya, apa yang mereka yakini, dan dunia seperti apa yang mereka tempuh setiap hari. Dan mungkin, justru di balik terpal dan cat semprot itulah, kita bisa menemukan narasi sosial yang paling jujur—tentang kerja, harapan, dan identitas jalanan yang tak pernah berhenti bergerak.
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Irfan Teguh Pribadi
Masuk tirto.id


































