tirto.id - Bagi Tom Waits, mobil dan truk yang melintas di jalan tol jelang subuh adalah pemandangan yang puitis. Dia lantas mengabadikannya di lagu "Ol’ 55".
Now the sun's coming up
I'm riding with Lady Luck
Freeway cars and trucks
Stars beginning to fade
And I lead the parade
Waits mungkin melihat truk sebagai romantisme: sopir-sopir yang datang dan pergi, rela meninggalkan keluarga untuk mencari uang, hidup di jalan. Namun yang mungkin diceritakan oleh Waits adalah: jadi sopir truk sama sekali tak mudah.
Masalah yang menimpa sopir truk di Perth, di Adis Ababa, di Paris, maupun di Jawa itu sama saja. Bayaran yang tak sepadan dengan kerja keras. Risiko kecelakaan tinggi. Kurangnya tenaga kerja. Jarang dapat libur. Dan bagi sopir truk di Indonesia, masalah makin bertambah: tarif tol yang dianggap terlampau mahal.
Kuril (35) adalah salah satu contohnya. Dia menghidupkan mesin truknya dari Wonosobo, Jawa Tengah. Dengan mengangkut sayur, dia masuk tol Trans Jawa yang sudah mulai bertarif sejak Senin (21/1/2019). Tol Trans Jawa dengan tujuh ruas ini diresmikan Presiden Joko Widodo pada 20 Desember 2018 dan tarifnya digratiskan selama satu bulan.
"Semenjak bayar, saya hanya naik tol satu kali saja. Masuk di tol Semarang-Batang. Setelah dihitung-hitung, kalau lewat tol terus, sisa uang saya hanya sedikit. Jadi saya lewat bawah (jalur non tol) sampai Jakarta," ujar Kuril ketika ditemui di Pasar Induk, Jakarta Timur.
Dari pemasok kentang di Wonosobo, Kuril mendapat ongkos jalan Rp2,3 juta. Uang itu dipakai untuk ongkos tol Rp300 ribu, solar Rp400 ribu, dan Rp200 ribu untuk jasa bongkar muatan, dan sekitar Rp200 ribu untuk makan dan tetek bengeknya. Belum selesai, Kuril harus setor Rp800 ribu bagi pemilik truk. Sisa Rp400 ribu barulah jadi bagian Kuril.
"Jadi ya pas-pasan. Makanya saya lewat Pantura saja," ujar Kuril.
Wibowo, seorang sopir lain, juga enggan lewat tol Trans Jawa semenjak ia tak gratis. Masalahnya sama dengan Kuril: uang dari penyewanya pas-pasan. Pria 41 tahun ini bercerita diongkosi Rp2,4 juta dari Semarang.
"Kalau diongkosi lebih oleh pemasok, ya, enggak apa-apa lewat Trans Jawa. Tapi, kan, ongkos sama, tarif tol mahal. Semarang-Tegal saja Rp220 ribu. Ke Jakarta berapa dong?" ujar pria yang akrab disapa Bowo ini.
Tarif tol Trans Jawa ini memang cukup bikin sopir truk geleng-geleng kepala. Berdasarkan data dari Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT), kendaraan golongan V yaitu sejenis truk dan transportasi logistik yang menempuh tol Jakarta ke Surabaya harus membayar total Rp1.382.500.
Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Kementerian PUPR Herry Trisaputra Zuna berdalih sudah menghitung soal tarif tol untuk truk logistik agar tidak memberatkan. Namun, masih ada sopir yang mengeluhkannya. Menurut dia, jika tarif masih dinilai mahal, disarankan mengganti rute dari jalan raya ke laut laut atau kereta.
"Logistik ini enggak hanya darat. Logistik ini ada laut, ada kereta yang jauh lebih efisien. Jadi bukan berarti kita akan dorong angkutan itu ke darat juga nggak gitu menurut saya," kata dia kepada reporter Tirto, Senin (28/1/2019).
Karena kebanyakan buah dan sayur yang dikirim ke Jakarta tak mungkin lewat laut, maka pengusaha dan sopir truk lebih memilih jalur Pantura. Di jalur ini, pengusaha tak perlu mengeluarkan ongkos tol, hanya ongkos bahan bakar, uang makan, biaya bongkar pasang, dan gaji sopir. Durasi perjalanannya yang masih masuk akal (Jakarta-Surabaya butuh sekitar 18 jam), membuat jalur ini masih jadi jalur favorit.
"Kalau enggak ada tuntutan yang punya barang, memang enaknya lewat Pantura," ujar Suhardono. "Tapi kalau ada tuntutan, ya terpaksa lewat tol."
Suhadono biasa membawa bawang merah dari Brebes, Jawa Tengah. Suatu hari, dia diberi tenggat. Bawang harus segera sampai Jakarta. Penyewanya memberi uang Rp1,7 juta untuk perjalanan Brebes-Jakarta. Nahas, uang itu ternyata ludes untuk tol, bensin, dan setoran.
Mau tak mau, dia harus menunggu ada pemasok di Jakarta yang menyewa jasanya. Dua hari dua malam ia menginap di Pasar Induk, sebelum akhirnya ada pemasok yang datang.
"Ya, mau enggak mau harus gitu. Kalau enggak memuat lagi dari sini, ya saya nombok, padahal uang tol mahal itu bisa dipakai makan di sini, beli rokok juga," ujarnya.
Sopir truk memang harus was-was tiap diberi tenggat waktu dan uang pas-pasan. Lewat tol memang lebih cepat, tapi ongkosnya sebenarnya bisa untuk makan dan beli rokok. Tapi kalau tidak lewat tol, perjalanan lebih lama dan ada risiko barang bawaan rusak. Akan lebih apes lagi kalau sampai di Jakarta, sopir truk ini tidak dapat trip tambahan, sehingga hanya membawa pulang uang sedikit.
Maka ada baiknya Tom Waits datang ke Indonesia dan bergaul dengan sopir truk di sini. Mungkin setelahnya, dia tak akan memandang truk dan sopirnya sebagai sebuah romansa belaka.
Penulis: Mulia Ramdhan Fauzani
Editor: Nuran Wibisono