Menuju konten utama

Balada Sopir Truk: Beban Pungli Lebih Berat dari Beban Muatan

Imam Handoko, seorang sopir truk, mengirimkan surat terbuka kepada Kapolri melalui media sosial. Ia kesal selalu dipungli petugas PJR. Namun, kisah Imam hanya satu di antara cerita sopir yang kerap diperas petugas.

Balada Sopir Truk: Beban Pungli Lebih Berat dari Beban Muatan
Truk bermuatan batu bara dan kendaraan warga melintas di Jalan Lintas Sumatera Jambi-Palembang, Muarojambi, Jambi, Kamis (7/6/2018). ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan

tirto.id - Iman Handoko (31) mendadak viral di media sosial lantaran menulis surat terbuka untuk Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Dalam surat tersebut Iman menceritakan keluh kesahnya sebagai sopir truk yang acap kali diadang petugas Patroli Jalan Raya (PJR) untuk dimintai pungutan liar.

"Ada satu ganjalan bila saya lewat jalan tol. Itu anak buah bapak yang mobilnya tertulis PJR. Selalu saja menjadi momok buat kami para supir truk," tulis Iman dalam status Facebook pribadinya, Senin (22/4/2019).

Kepada reporter Tirto, pria yang sudah 10 tahun menjadi sopir truk ini mengatakan, unggahan itu merupakan respons dirinya terhadap perlakuan petugas PJR selama ini.

"Ya, bagaimana tidak. Karena waktu saya melintas di jalan tol, kalau jam pagi pasti ada PJR yang nyegat," ujarnya melalui pesan singkat, Kamis (25/4/2019).

Truk yang Iman kendarai bisa membawa muatan apa saja. Terkadang, ia harus menyetir hingga melintasi beberapa kota dan provinsi. Namun kini, ia lebih sering menyetir di sekitaran Medan hingga Tanjung Mowara saja.

"Saya sudah bawa dump truck angkut material," ujarnya.

Untuk menghemat waktu, Iman memanfaatkan jalur Tol Belawan-Medan-Tanjung Morawa atau yang dikenal juga sebagai Tol Belmera. Di jalur itu pula, Imam mendaku kerap diberhentikan petugas PJR. Saking seringnya, ia sampai-sampai menyiapkan uang Rp10 ribu atau Rp20 ribu setiap memasuki pintu tol.

"Kalau dia [PJR] mendahului kami sambil ada bunyi suara tott.. tott.. tott.., terus dia minggir dan parkir di depan kami. Kami tanya 'ada apa?' terus katanya, 'atur dulu uang kopi'," ujar Iman menirukan percakapannya dengan petugs PJR.

Tidak jarang, menurut Iman, para petugas tak mau menerima duit Rp10 ribu, sehingga ia kudu memberikan Rp20 ribu. Bagi Imam, memberikan uang Rp20 ribu buat petugas PJR itu sebenarnya sangat memberatkan. Sebab, pendapatannya sebagai sopir truk jauh dari kata cukup. Dalam sehari, ia hanya menerima minimal Rp50 ribu dan paling besar Rp100 ribu.

"Rezeki kami, rezeki harimau. Kalau pas dapat borongan yang lumayan, ya, dapat sisa upahnya. Tapi kalau dapat borongan sedikit, bisa sampai enggak makan," keluhnya.

Selama 10 tahun menjadi sopir truk, Iman sudah tak bisa lagi menghitung berapa kali dirinya dipungli petugas PJR. Ia pun tak habis pikir, kenapa dirinya selalu dimintai uang oleh petugas, padahal segala surat-surat terkait operasionalnya sudah lengkap. Tapi tetap saja, selalu salah di mata petugas.

"Ujung-ujungnya juga nyari-nyari kesalahan saya. Saya pernah bilang, kalau memang saya salah, ya silakan ditilang saja. Kan, ada pasalnya. Tapi apa daya lah, ujungnya duit juga," tuturnya.

Menurut Iman, petugas PJR yang mengenakannya pungli kerap berbeda-beda, bukan orang yang sama. Bahkan ia juga bercerita pernah mengalami hal serupa sewaktu melintas di Tol Jakarta sampai Bogor.

"Mungkin rata-rata di mana-mana ada, lah, di seluruh tol di Indonesia ini," pungkasnya.

Muatan Jadi Alasan

Pengalaman dipungli petugas PJR juga dialami Abdul Rizal Siregar (43), sopir truk muatan material. Kejadiannya pun berlangsung di Tol Belmera.

"Dulu saya bawa mobil kayu dari Medan, selalu kena di Tol Belmera. Mobil [petugas] PJR selalu melintas dan mengejar. Lalu memberhentikan kami," ujar Regar, sapaannya kepada reporter Tirto.

Setiap kali diberhentikan, kata Regar, petugas PJR selalu memberi alasan "muatan terlalu tinggi." Padahal menurutnya, semuanya sudah memenuhi standar pengangkutan.

"Kami juga memikirkan keselamatan kami dan pengendara lain. Semuanya sudah sesuai standar. Tetap saja dicari kesalahannya," ujarnya.

Pernah juga suatu waktu, ia diberhentikan petugas PJR yang berbeda dan diminta menunjukan surat-suratnya. Ketika surat-surat lengkap yang ditunjukan Regar, petugas tersebut malah berlaku aneh.

"Selalu saja mereka bilang 'mana nih uang minum?'," ujarnya menirukan ucapan petugas tersebut.

Regar sedikit lebih beruntung dari Iman. Ia mendaku hanya dikenakan pungli dari Rp5 ribu sampai Rp10 ribu. Namun tetap saja, uang Rp5 ribu sangat berarti baginya.

Dalam sekali perjalanan, Regar diberi "uang minyak" oleh atasannya sebesar Rp170 ribu. Itu belum termasuk uang jalan sebesar Rp80 ribu yang diperuntukan untuk makan, minum dan keperluan sopir lainnya.

Dengan uang jalan Rp80 ribu, Regar harus memotongnya lagi sebesar Rp20 ribu untuk upah tukang bongkar muat di lokasi tujuan. Total pendapat bersih Regar hanya Rp60 ribu.

"Kalau kami dibebankan [oleh petugas PJR] Rp5 ribu. Bayangkan saja uang makan sudah berapa sekarang?" ujarnya.

Belum lama ini, ia mengatakan baru terkena pungli di tol yang berbeda, yakni di Tol Kampung Pon. Regar berharap dengan viralnya unggahan status Iman Handoko bisa membuka ruang diskusi dengan pihak kepolisian.

"Saya berharap postingan Iman bisa menjadi perantara bahan obrolan dengan polisi," pungkasnya.

Tak Hanya di Lintas Sumatera

Tak hanya di tol lintas Sumatera, sopir truk yang beroperasi di Pulau Jawa juga mengalami pungutan serupa. Salah satunya Sodikun (57) yang sudah menjadi sopir truk sejak 30 tahun silam.

Sodikun mengaku selalu resah jika hendak melintasi Tol Tanjung Priok dengan membawa muatan, antara jam 5 pagi hingga jam 7 malam. Ia khawatir bila diberhentikan petugas PJR, lantaran itu berarti ia "wajib menyetor" duit Rp50 ribu kepada petugas.

"Terakhir kena [pungli] Maret 2019. Kalau dikasih Rp20 ribu, [petugas PJR] berbelit-belit," ujarnya kepada reporter Tirto.

Sekali membawa muatan, Sodikun dibayar Rp250 ribu. Tapi jika ada petugas PJR, penghasilan Sodikun kudu lenyap Rp50 ribu. Nahasnya, ia bahkan kadang harus dipungli lebih dari satu petugas.

"Di Cawang ada. Di Cempaka Putih Ada. Di pertigaan Priok ada. Sekali jalan kadang ada tiga, dua, kadang juga tidak ada," tuturnya.

Saking kesal kerap dipungli, Sodikun pun mengaku pernah mencoba menolak memberi duit dan beralasan sudah memberi uang kepada petugas PJR sebelumnya. Tapi, petugas yang memalaknya malah bergeming dan tetap menagih setoran.

"Eh, dijawabnya itu "bukan urusan saya." Jadi kena lagi," ujarnya.

Bahkan kalau sedang apes, kata Sodikun, duit pungli yang kudu dikasih ke petugas jumlahnya bisa lebih dari Rp200 ribu.

"Itu kalau sudah ruwet atau sudah adu argumen. Kalau dia sudah kalah beragumen, saya dibilangnya melawan petugas," kata dia.

"Saya kalau berurusan sama petugas sudah kesal. tidak ada menangnya. sopir jadinya hanya bisa mengalah."

Tanggapan Polri

Direktur Penegakan Hukum (Dirgakkum) Korlantas Polri Brigjen Pujiyono mengklaim kepolisian tidak akan memaklumi tindakan pungli yang dilakukan anggotanya. Ia memastikan bakal ada sanksi bagi anggota yang terbukti melakukan pungli.

"Pimpinan Polri tidak mentoleril bagi anggota yang nyata terbukti melakukan pungli ada beberapa tingkatan sanksi hukuman dari terendah sampai terberat demosi," ujarnya kepada reporter Tirto.

Ia berdalih, laporan masyarakat terkait pungli tersebut menjadi bahan introspeksi kinerja kepolisian ke depannya.

"Kalau ada komplain atau keluhan masyarakat yang disampaikan kepada Polri terkait ketidakpuasan Polri, ini menjadi bahan introspeksi untuk kami dapat bekerja lebih baik lagi," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait KASUS PUNGLI atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Gilang Ramadhan