tirto.id - Soichiro Honda adalah orang "sinting". Sering kali umpatan baka-yaro 'idiot' meluncur dari mulutnya. Tak jarang pula tangannya melayang ringan mengeplak kepala-kepala karyawan yang dianggapnya tak becus.
Melalui buku Honda Motor: The Men, The Management, The Machines (1982: 72), Tetsuo Sakiya mengamini karakter Soichiro Honda yang kasar. Bahkan, industrialis kelahiran Shizuoka, Jepang, tersebut pernah memukul pekerja muda menggunakan kunci pas tepat di kepalanya.
Soichiro Honda memang sableng. Akan tetapi di sisi lain, ia merupakan insinyur mesin yang luar biasa hebat dan berdedikasi. Dia juga piawai melihat peluang dari barang-barang yang sekilas tampak bak rongsokan. Kepiawaian itulah yang membuat Soichiro Honda pada akhirnya sukses mendirikan sebuah pabrikan otomotif yang kelak menjadi raksasa bernama Honda.
Perjalanan Honda sebagai pabrikan otomotif dimulai pada 1946 ketika Soichiro Honda menemukan banyak generator bekas Perang Dunia II yang sebelumnya digunakan untuk menghidupkan radio nirkabel. Dengan gegas, otak insinyurnya meletik. Dia berpikir, "Enak juga kali, ya, kalau naik sepeda ada mesinnya. Pasti gak capek-capek banget."
Itulah yang dia lakukan. Sekitar 500 unit mesin generator dimodifikasi sedemikian rupa, dipasang di sepeda ontel, lalu jadilah produk otomotif pertama Soichiro Honda berupa sepeda (ber)motor. Produk ini pun laris bak kacang goreng.
Namun, karena lama-kelamaan stok generator bekas perang habis, Soichiro Honda mau tak mau mesti mengembangkan mesinnya sendiri. Pada 1947, lahirlah mesin A-Type alias mesin orisinal pertama bikinan Soichiro Honda.
Ngebet Ikut Balapan demi Pamor dan Iklan
Pada 1948, Soichiro Honda meresmikan pabrikan otomotifnya. Saat itu ia baru bisa menawarkan tiga produk, yakni sepeda bermotor, skuter, dan alat pertanian.
Dasarnya memang "sinting". Hanya tujuh tahun setelah berhasil meresmikan perusahaannya, Soichiro Honda langsung kepincut terjun ke ajang balapan. Menurut catatan jurnal Education About ASIA Volume 20, Number 2 (2015), Soichiro Honda meyakini bahwa keikutsertaan dan kemenangan dalam kontes pacuan akan meningkatkan pamor mereknya, dengan cara mengiklankan prestasinya.
Kendati sudah melakukan diversifikasi produk, Honda masih belum benar-benar mapan. Terlebih, pabrik cabang yang tersebar di beberapa kota baru mulai beroperasi sejak Perang Korea berakhir, yakni 1953. Hal itu dengan cepat membuat Jepang terjerumus ke dalam resesi ekonomi.
Itulah alasan Soichiro Honda bersama rekannya yang mengurusi bisnis dan keuangan, Takeo Fujisawa, melakukan perjalanan ke Eropa pada 1954. Rencana awalnya adalah mencari pasar baru. Akan tetapi, dari perjalanan ke Eropa itu, si bos justru jadi ngebet mengikuti ajang balap motor Isle of Man TT yang digelar di Britania Raya saban tahun.
Bahkan, pada Maret 1954, Soichiro Honda sendiri yang mendeklarasikan melalui surat terbuka bahwa pabrikannya bakal mengikuti ajang Isle of Man TT. Padahal, motor balap saja mereka belum punya. Sepintas, ambisinya memang terdengar muluk. Akan tetapi, itu merupakan bukti bahwa sang insinyur eksentrik itu selalu menginginkan yang terbaik.
Di sisi lain, Fujisawa lebih kalem dan lebih pragmatis. Tak seperti Soichiro Honda yang langsung kebelet menciptakan motor balap, Fujisawa justru diam-diam mengamati kebiasaan orang Eropa, khususnya Jerman, yang doyan bepergian dengan moped. Mereka menggunakannya untuk perjalanan jarak pendek, misalnya berbelanja di swalayan.
Dari sana, Fujisawa berpikir bahwa yang dibutuhkan Jepang adalah sepeda motor ringan seperti yang digunakan orang-orang Jerman itu. Bedanya, roda harus dibuat lebih besar, karena pada waktu itu baru 10 persen jalanan Jepang yang sudah diaspal. Sepeda motor itu tak cuma mesti mampu menggilas jalanan yang belum diaspal, melainkan juga ringan, mudah digunakan, dan murah.
Di Jepang, pasca-Perang Dunia II, mayoritas orang menggunakan motor untuk melengkapi sepedanya, persis seperti yang dilakukan Soichiro Honda beberapa tahun sebelumnya. Namun, setelah itu, seiring meningkatnya kemampuan ekonomi, mereka langsung beralih ke mobil kecil alias kei car. Sementara itu, sepeda motor ringan serbabisa dan praktis justru belum ada. Ide ini lantas disampaikan Fujisawa kepada Soichiro Honda.
Mulanya, Fujisawa agak kesulitan meyakinkan Soichiro Honda yang ingin langsung beranjak ke motor balap. Akan tetapi, dengan persistensi yang jempolan, Fujisawa berhasil juga meyakinkan rekannya tersebut. Alhasil, mulailah mereka, bersama para karyawannya, mengerjakan model sepeda motor yang diberi nama The Cub.
The Cub, sedikit banyak, merupakan modifikasi dari skuter Juno yang dirilis pada 1954. Dari skuter tersebut, plastik berlapis serat kaca digunakan untuk membuat fairing kaki, sementara rangkanya dibuat dari baja dengan desain inovatif. Seluruh bagian, dari garpu depan hingga dudukan spakbor belakang, dibuat dari satu potongan logam tanpa sambungan rumit sehingga proses pengelasan lebih mudah dilakukan.
Dedikasi Tinggi pada Produk dan Konsumen
Sebagian mimpi Soichiro Honda untuk terjun di Isle of Man TT sudah terwujud dengan diciptakannya mesin 50cc 4 tak satu silinder. Mesin inilah yang kemudian dijadikan dapur pacu sepeda motor Cub. Transmisi dibuat semi otomatis tanpa kopling dengan tiga level kecepatan.
Sentuhan akhirnya adalah penempatan semua komponen elektronik, tangki bensin, dan wadah oli, tersembunyi di bawah jok. Jadilah kemudian sebuah sepeda motor ringan, praktis, mudah digunakan, dan sederhana perawatannya. Seluruh mesin, misalnya, bisa dilepas hanya dengan mengendurkan tiga baut. Rantai motor juga tersembunyi di balik penutup dan bisa dicopot dengan mudah.
Alhasil, terciptalah sepeda motor bernama Super Cub yang diperkenalkan pertama kali pada 1957 di berbagai pameran otomotif. Setelah resmi dipasarkan setahun kemudian, sepeda motor ini langsung laris manis. Akan tetapi, tak lama kemudian, bermunculan sejumlah keluhan, terutama terkait kopling yang meleset sehingga perpindahan gigi sulit dilakukan.
Keluhan-keluhan ini sempat memunculkan keraguan terhadap Honda. Namun, dari sini, Soichiro Honda dan Fujisawa menunjukkan kelasnya sebagai bos otomotif cum industrialis ambisius. Seluruh karyawannya kala itu diminta untuk tidak berlibur akhir tahun. Mereka dikirim ke berbagai penjuru Jepang untuk mencari sumber masalah teknis pada Honda Super Cub yang telah terjual.
Berkat kerja keras karyawannya, Soichiro Honda sukses menemukan problem yang terjadi pada Super Cub. Ia pun memproduksi onderdil yang diperlukan untuk melancarkan perpindahan transmisi. Setelah produksi selesai, para karyawan menemui seluruh pelanggannya, satu per satu, untuk memperbaiki Super Cub yang bermasalah. Pelanggan tak perlu bayar sepeser pun alias gratis.
Upaya ini menjadi langkah kehumasan yang luar biasa berhasil. Perlahan, orang-orang pun mulai melakukan promosi dari mulut ke mulut terkait dedikasi Honda akan produknya. Dari sini, laju popularitas Super Cub pun tidak lagi terhentikan. Tak cuma di Jepang, tetapi juga di Asia Selatan, Asia Tenggara, Eropa, bahkan Amerika Serikat.
Meski demikian, laju popularitas Super Cub tidak sama di setiap wilayah. Asia Selatan dan Eropa, misalnya, langsung jatuh cinta dengan sepeda motor tersebut. Honda bahkan sampai harus membuat pabrik di Belgia untuk menyuplai kebutuhan pasar Eropa akan Super Cub yang dibuat dengan kapasitas mesin lebih besar, 100cc.
Amerika Serikat sedikit terlambat. Pada 1963, mereka baru mulai jatuh hati pada Super Cub. Menariknya, popularitas Super Cub di AS tidak bisa dipisahkan dari promosi brilian yang dikerjakan oleh agensi periklanan bernama Grey Advertising yang berbasis di New York City. Agensi ini mengontraskan pengguna Super Cub dengan para pengendara motor bikinan Amerika, seperti Indian dan Harley-Davidson.
Orang-orang Amerika paham bahwa pengendara sepeda motor lokal biasanya kasar dan berangasan. Beranjak dari situ, Grey Advertising menggambarkan para pengendara Honda Super Cub sebagai "The Nicest People". Kampanye itu diberi nama "You Meet the Nicest People on a Honda" dan diwujudkan dalam poster berwarna cerah yang menggambarkan betapa sopan dan baik hatinya para pengendara Honda Super Cub.
Jenama Otomotif yang Melegenda
Kampanye yang dilakukan Grey Advertising sukses besar. Sampai-sampai, bos Honda cabang Amerika kala itu, Kihachiro Kawashima, sesekali harus menyetir sendiri truk pengantar sepeda motor. Band rock legendaris The Beach Boys pun akhirnya menulis sebuah ode untuk Super Cub dalam lagu bertitel "Little Honda". Popularitas Honda Super Cub di Amerika inilah yang kemudian mengantarkannya ke Asia Tenggara.
Perang Vietnam menjadi momentum masuknya Honda Super Cub ke Asia Tenggara. Ketika itu, militer AS mengimpor sampai 750 ribu unit sepeda motor dalam kurun 1967-1969. Pada akhirnya, popularitas Honda Super Cub membuatnya menjadi raksasa otomotif dunia.
Duit yang mereka dapatkan dari sana membuat Honda bisa terus berinovasi, berkompetisi di berbagai ajang balap, dan terus melebarkan cakupan pasarnya ke seluruh penjuru dunia.
Di Indonesia, Honda Super Cub sebenarnya sudah masuk sejak 1961, dengan nama populer "Honda Unyil". Akan tetapi, popularitasnya baru betul-betul meledak memasuki dekade 1970-an lewat Honda C70 alias Honda Pitung (dari kata pitung puluh yang berarti tujuh puluh dalam bahasa Jawa).
Perlahan tapi pasti, Honda seri C mulai dihentikan oleh Honda. Sering waktu, mereka terus berinovasi dengan produknya, mulai dari memperkenalkan Honda 700 dan Honda 800 hingga kemunculan Honda Astrea Star dan Honda Prima.
Total jenderal, sampai 2017, Honda Super Cub telah terjual lebih dari 100 juta unit di seluruh dunia. Di Indonesia, Honda Super Cub (C125) saat ini dijual kembali dalam tampilan lebih modern dan kapasitas mesin 125cc. Honda CT125 yang merupakan varian Super Cub khas Australia (awalnya diproduksi sebagai sepeda motor tukang pos), juga tersedia di pasar Indonesia.
Ini berarti, penjualan Honda Super Cub masih berjalan dan akan terus berlanjut sampai entah kapan. Yang jelas, Super Cub terus diperbarui dan dimodernkan dengan gaya retro-klasik.
Meski demikian, ada satu varian Super Cub yang akhirnya dipensiunkan oleh Honda, yakni varian Super Cub 50cc. Mulai 2025, Honda tidak akan lagi memproduksi Super Cub C50. Sebagai gantinya, juga untuk merayakan sejarah sepeda motor tersebut, mereka merilis Super Cub C50 Final Edition.
Alasan Honda "menyuntik mati" Super Cub C50 berkaitan erat dengan ketatnya aturan emisi di Jepang yang makin sulit dipenuhi. Meski begitu, selain masih tersedia versi retro-klasiknya, varian yang betul-betul monumental pun masih cukup mudah dijumpai di mana-mana. Oleh karena itu, meski C50 bakal memasuki masa purna, Super Cub sebagai sebuah model rasanya takkan lenyap dari pandangan dalam waktu dekat.
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadli Nasrudin