Menuju konten utama

Upaya Kroasia Hapus Sejarah Pemusnahan Etnis

Komunitas minoritas Yahudi dan Serbia di Kroasia memboikot peringatan Holocaust pada 2016 dan 2017.

Upaya Kroasia Hapus Sejarah Pemusnahan Etnis
Etnis Serb di kamp konsentrasi Jasenovac, 1942. FOTO/Wikicommon Image

tirto.id - Peristiwa kelam Holocaust merentang hingga negeri Kroasia. Setelah terjadi lebih dari tujuh dekade silam, upaya pelurusan sejarah di Kroasia mengenai hari-hari pembantaian etnis Yahudi dan minoritas lainnya termasuk etnis Serbia ternyata tak berjalan mulus.

Sudah dua kali peringatan Holocaust yang disponsori oleh pemerintah pada 2016 dan 2017 ini malah tampak menonjolkan distorsi sejarah. Dan malah melambungkan nama kelompok Ustasha yang bertanggung jawab atas pembersihan etnis minoritas di Kroasia selama Perang Dunia Kedua bergelora.

Menyikapi hal ini, perwakilan pemimpin komunitas minoritas Yahudi, Serbia dan lainnya melakukan boikot terhadap peringatan Holocaust tersebut. Mereka menolak untuk menerima segala bentuk perevisian sejarah.

Komunitas Yahudi Sedunia (WJC) kemudian angkat bicara dengan menyusun makalah yang diterbitkan oleh majalah Tablet pada Senin (9/10) lalu oleh penasehat umum WJC, Menachem Rosensaft. Dengan judul makalah “Kroasia Terang-Terangan Mencoba Menghapus Kejahatan Holocaust” mereka mendesak badan-badan internasional untuk menentang usaha Kroasia membengkokkan narasi sejarah tentang pembersihan etnis minoritas.

Gejala kebangkitan kelompok Neo-Ustasha memang tengah terjadi di Kroasia. Pada pertandingan sepak bola yang mempertemukan antara Israel dan Kroasia pada Maret 2016 lalu misalnya, para supporter Kroasia meneriakkan slogan Ustasha yang khas yaitu “Za dom spremmi” artinya “Bersiap untuk Tanah Air,” Perdana Menteri Kroasia Tihomir Oreskovic, yang turut hadir menyaksikan pertandingan dan mengetahui hal tersebut juga tampak duduk tenang tanpa bereaksi.

Baca juga:Pusaran Skandal Neo Nazi di Tubuh Militer Jerman

Momen lain tahun lalu juga terjadi saat Presiden Kroasia Kolinda Grabar Kitarovic yang melakukan lawatan ke Kanada berpose dengan bendera Ustasha. Padahal ketika mengunjungi Israel pada 2015, dia sempat mengungkapkan penyesalan terdalam kepada para korban yang terbunuh oleh rezim Ustasha.

Terlebih lagi, yang membuat Komunitas Yahudi enggan menghadiri peringatan Holocaust 2016 di Jasenovac adalah ketika mengetahui bahwa Menteri Kebudayaan Kroasia, Zlatko Hasanbegovic pada awal bulan April itu pernah memuji sebuah film sejarah revisionis berjudul “Jasenovac (“Kebenaran”) yang mengklaim bahwa kesaksian penyintas Holocaust dari kamp konsentrasi Ustasha di Jasenovac itu cenderung dibesar-besarkan.

Hasanbegovic secara terbuka memuji film tersebut, dengan mengatakan, "Inilah cara terbaik untuk akhirnya menyoroti sejumlah tempat kontroversial dalam sejarah Kroasia."

Tindakan boikot ini turut didukung oleh kelompok anti-fasis di Kroasia pada April 2016 lalu. Mereka umumnya menganggap bahwa pihak berwenang makin lemah menyikapi insiden yang tengah mengarah kepada kebangkitan ideologi Ustasha

Orang-orang Yahudi dan Serbia Kroasia telah menyerukan pengajaran yang lebih menyeluruh di sekolah-sekolah tentang penyalahgunaan peraturan yang pernah dilakukan oleh Ustasha.

Rezim Fasis Ustasha

Pada saat Yugoslavia diserang oleh Blok Poros yang dipimpin oleh Jerman pada 6 April 1941, Vladko Macek, pemimpin Partai Petani Kroasia (HSS) yang kala itu merupakan partai paling berpengaruh di Kroasia menolak tawaran Nazi Jerman untuk memimpin sebuah pemerintahan baru di tanah Kroasia.

Baca juga:Serangan Jerman ke Polandia Sulut Perang Dunia II

Sementara di pihak lain, kelompok Ustasha yang berhaluan ultra-nasionalis telah mengambil alih peran dan tugas polisi di Kota Zagreb. Mereka berhasil memproklamasikan di radio bahwa pada 10 April 1941, sebagai hari pembentukan Negara Independen Kroasia (NDH).

Belakangan diketahui bahwa Negara Independen Kroasia tidak lain sekadar perpanjangan tangan dari pemerintahan fasis Jerman dan Italia. Partai Ustasha juga memiliki fanatisme yang tinggi sebagai sekumpulan penganut Katolik ekstrem.

Jerman membagi wilayah NDH menjadi dua; di barat daya dikendalikan oleh Italia, dengan Ante Pavelic sebagai kepala pemerintahan, dan wilayah di timur laut dikendalikan oleh Jerman. Di bawah kepemimpinan Ante Pavelic, kediktatoran Partai Ustasha dengan cepat tumbuh lewat sebuah kebijakan pemusnahan etnis minoritas secara sistematis, mencontoh apa yang dilakukan oleh rezim Nazi.

Infografik kroasia mengubur jejak genosida

Pavelic pertama kali bertemu dengan Adolf Hitler pada 6 Juni 1941. Tidak lama setelah pertemuan tersebut, ia memberlakukan serangkaian regulasi seperti “Ketentuan resmi bela rakyat dan negara” pada 17 April 1941, “Ketentuan resmi hukuman mati bagi pelanggar kehormatan dan kepentingan vital rakyat dan negara Kroasia”, dan tidak lupa “Undang-Undang Ras” yang tertanggal 30 April 1941, kemudian diikuti pembentukan “Komite Politik Ras” pada 4 Juni 1941.

Partai Ustasha mendirikan kamp konsentrasi pada Agustus 1941 di Jasenovac. Wilayah yang nantinya diisi dengan kamp-kamp lainnya ini terbentang lebih dari 210 kilometer persegi di sepanjang Sungai Sava, dari Stara Gradiska di timur hingga ke desa Krapije di barat, dan dari Strug di utara sampai garis antara Draksenic hingga Bistrica di selatan. Pengelolaan kompleks kamp diberikan kepada polisi keamanan Kroasia yang dipimpin oleh Vjekoslav Maks Luburic.

Baca juga:Bosnia-Herzegovina, Perang, dan Pengakuan Dosa

Tidak ada aturan hukum yang jelas tentang mengirim orang ke kamp konsentrasi. Hal-hal semacam itu diputuskan sepihak oleh utusan Paveli, pengawas distrik, atau pengawas kamp. Meski pada akhirnya disahkan mengenai peraturan tersebut, tidak ada yang benar-benar mematuhinya

Pemilihan wilayah kamp memang memperhitungkan beberapa alasan strategis seperti keberadaan jalur kereta api Zagreb-Beograd di sekitar yang vital untuk mengangkut para tahanan. Daerah yang dikelilingi oleh sungai dan daerah berawa bisa menjadi pagar alami dan menyulitkan tahanan kabur dari dari kamp.

Teror NDH yang berkolaborasi dengan Ustasha juga ditujukan kepada Gereja Ortodoks Serbia di Kroasia. Pada akhir 1941, tiga uskup Ortodoks dan sebagian besar imamnya dibunuh. Selama perang, 450 gereja Ortodoks dibongkar. Penduduk desa Serbia dipaksa masuk Katolik.

Baca juga:Etnis dan Agama dalam Konflik Serbia dan Kosovo

Para tahanan di Jasenovic adalah orang Serbia, Yahudi, Bosnia, Gipsi dan pembangkang rezim Ustasha, dan sebagian besar orang Yahudi yang dibunuh di sana sampai Agustus 1942. Orang-orang Yahudi yang malang ini diciduk dari segala penjuru di Kroasia dan dikumpulkan dahulu di Zagreb, seperti halnya komunitas Yahudi di Bosnia dan Herzegovina yang dikumpulkan terlebih dahulu di Sarajevo.

Sebagian besar tahanan yang berhasil bertahan hidup adalah para ahli yang dibutuhkan oleh rezim Ustasha, misalnya dokter, apoteker, pembuat sepatu, tukang listrik, dan lain sebagainya. Mereka yang selamat ini dipekerjakan di bengkel servis di Jasenovac.

Kondisi yang mengenaskan di kamp Jasenovac pernah membaik hanya dalam waktu singkat karena kunjungan delegasi pers pada Februari 1942 dan kunjungan utusan dari Palang Merah pada Juni 1944.

Perlawanan meledak datang ketika Tentara Partisan Yugoslavia di bawah pimpinan komunis Josip Broz Tito mendekat ke Jasenovac pada akhir April 1945. Ratusan tahanan bangkit dan melawan penjaga kamp meski banyak dari mereka terbunuh dan beberapa berhasil lolos.

Baca juga:Ketika Kaum Yahudi Memberontak di Warsawa

Pada akhir April, tiga kamp terakhir di Jasenovac dibongkar sendiri oleh para penjaga kamp yang sengaja membantai sebagian besar tahanan. Pasukan Partisan akhirnya membebaskan Jasenovac pada awal Mei 1945.

Selama 1941 sampai akhir berkuasanya rezim Ustasa pada 1945, United State Holocaust Memorial Museum mencatat 77.000 sampai 99.000 orang terbunuh di Jasenovac. Rinciannya antara 45.000-52.000 warga Serbia di Kroasia, 12.000-20.000 orang Yahudi, dan 15.000-20.000 orang Gipsi. Sisanya yang berjumlah 5.000-12.000 adalah orang-orang Kroasia yang dicap sebagai musuh agama dan politik rezim Ustasha.

Banyak dokumen penting yang dihancurkan sehingga penentuan jumlah korban menjadi pekerjaan yang lebih sulit. Ketegangan etnis, prasangka agama dan konflik ideologi yang masih membalut peristiwa di Yugoslavia memperumit upaya penelitian guna memastikan jumlah korban. Praktis data korban jiwa didasarkan pada karya-karya sejarawan yang mengandalkan catatan sensus dan arsip yang tersisa di Jerman, Kroasia dan pecahan negara-negara Yugoslavia lainnya.

Baca juga artikel terkait HOLOCAUST atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Politik
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf