Menuju konten utama

Trafik Sepi, Keuangan Pengelola Jalan Tol 'Bedarah-darah'

ATI pun mendorong pemerintah untuk mencari terobosan kebijakan, termasuk kemungkinan mengambil alih konsesi ruas-ruas yang diprediksi tak akan survive.

Trafik Sepi, Keuangan Pengelola Jalan Tol 'Bedarah-darah'
Pengendara melintas di ruas Tol Kunciran - Serpong di Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (15/5/2025). ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/bar

tirto.id - Mayoritas Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) menghadapi tekanan keuangan serius akibat tak terpenuhinya asumsi trafik dan inkonsistensi pemerintah dalam pengaturan tarif. Sekretaris Jenderal Asosiasi Jalan Tol Indonesia (ATI) Kris Ade Sudiyono mengatakan, mayoritas di antaranya mengalami arus kas negatif (negatif cash flow).

"Kalaupun ada badan usaha yang kondisi arus kasnya positif, mereka berada dalam kondisi pengembalian modal kepada kreditur. "Saat ini mayoritas BUJT masih berdarah," ungkap Kris dalam rapat dengar pendapat umum di Komisi V DPR, Senin (26/5/2025).

Bahkan beberapa di antaranya diprediksi tak mampu bertahan hingga akhir masa konsesi. "Artinya apa, negatif cash flow akan terjadi sepanjang konsesi. Bebannya lebih tinggi dibandingkan pendapatannya," sambungnya.

Menurut Kris, pemerintah perlu mencari terobosan kebijakan untuk mengatasi permasalahan ini. Termasuk, jika memungkinkan, mengambil alih hak konsesi ruas-ruas yang diprediksi tak akan bertahan secara finansial. Sebab, pemerintah pula lah yang mendorong para BUJT untuk terlibat dalam pengusahaan jalan tol melalui skema kerjasama pemerintah dan badan usaha (KPBU).

“Kami terlibat dalam pengusahaan jalan tol karena diundang pemerintah lewat tender. Kewajiban kami adalah menyediakan pendanaan, perencanaan, konstruksi, operasional, dan pemeliharaan,” tuturnya.

Apalagi, jelas Kris, pembangunan jalan tol di Indonesia membutuhkan investasi tak sedikit. Biaya yang dikeluarkan untuk konstruksi per km berada di kisaran Rp200 miliar hingga Rp400 miliar—dan bisa lebih mahal jika dibangun dengan konsep layang (elevated).

Sayangnya, asumsi-asumsi dasar dalam perencanaan bisnis sering kali tidak terpenuhi. Target trafik, misalnya, tidak tercapai karena pembangunan kawasan industri atau hunian yang menjadi tujuan utama jalan tol tidak berjalan sesuai rencana. “Kami membangun tol dengan asumsi di ujungnya ada kawasan industri. Tapi jalan tol sudah jadi, kawasan industrinya belum,” kata dia.

Selain itu, kenaikan biaya konstruksi akibat perubahan desain teknis dan tuntutan publik juga menjadi beban tambahan. Kris menyebut hal ini kerap memaksa BUJT mencari tambahan modal dan menanggung risiko return fall, yakni penurunan tingkat pengembalian investasi dibandingkan proyeksi awal.

Pemerintah sebenarnya sudah menyediakan mekanisme penyesuaian tarif jalan tol berbasis inflasi sebagai bagian dari mitigasi degradasi keuntungan. Namun, menurut ATI, hal tersebut juga kerap tak tidak dijalankan dengan konsisten sesuai ketentuan perundangan-undangan, baik karena pengaruh kondisi sosial maupun politik yang menyertai lingkungan bisnis industri infrastruktur jalan tol.

"Mungkin kita harus mencari terobosan untuk ruas-ruas yang dalam kondisi ini kita harus memberi sebuah kebijakan apakah pemerintah akan mengambil alih right konsesi yang dimiliki BUJT yang diprediksi sampai dengan periode konsesinya tidak akan survive," tegasnya.

Baca juga artikel terkait TOL atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Insider
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Dwi Aditya Putra