Menuju konten utama

TNI Masuk Bisnis Obat, Gandeng BPOM Gunakan Laboratorium Militer

Keterlibatan militer di bisnis obat ini diharapkan bisa mendukung suplai obat murah, membendung obat-obatan ilegal dan memerangi "mafia" industri medis.

TNI Masuk Bisnis Obat, Gandeng BPOM Gunakan Laboratorium Militer
Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin (kiri) bersiap mengikuti rapat kerja dengan Komisi I DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (9/7/2025). Rapat tersebut membahas laporan keuangan Pemerintah Pusat/Kemhan/TNI APBN Tahun Anggaran 2024, RKA dan RKP Kemhan/TNI Tahun 2026. ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/nz

tirto.id - Tentara Nasional Indonesia (TNI) akan merambah bisnis farmasi dengan memproduksi obat-obatan secara massal. Ini ditandai dengan penandatanganan kesepakatan bersama antara Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsoeddin, dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada Selasa (22/7/2025).

Melalui kesepakatan tersebut, TNI dan BPOM akan bekerja sama untuk memproduksi obat-obatan bagi keperluan umum dengan memanfaatkan laboratorium yang dioperasikan oleh Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.

Sebelumnya, fasilitas-fasilitas dimaksud hanya memasok obat-obatan untuk prajurit, "Kami sedang memikirkan cara untuk menurunkan harga lebih rendah lagi sehingga kami bisa menyediakan obat-obatan gratis," kata Sjafrie dilansir dari Reuters, Rabu (23/7/2025).

Dia menjelaskan, produksi massal akan dimulai pada bulan Oktober dan obat-obatan akan didistribusikan ke desa-desa di seluruh Indonesia dengan harga 50 persen di bawah harga eceran. Distribusi obat-obatan produksi TNI ini akan disebar melalui Koperasi Desa/Kelurahan Merah-Putih yang baru diluncurkan Presiden Prabowo Subianto pada 21 Juli lalu.

Kepala BPOM Taruna Ikrar mengungkapkan bahwa keterlibatan militer di bisnis obat ini diharapkan dapat membendung peredaran obat-obatan terlarang dan memerangi "mafia" di industri medis.

Dalam keterangan resminya, ia juga menjelaskan problem lain di sektor obat. Pertama, 94 persen bahan baku obat masih impor dari berbagai negara khususnya India, China, Belanda, Jerman, dan Amerika.

Kedua, harga obat masih terbilang mahal dibanding beberapa negara. Ketiga, ketersediaan obat yang ada belum mampu memenuhi kebutuhan untuk pengobatan beberapa penyakit spesifik seperti penyakit jantung dan sebagainya.

Karena itu, menurutnya diperlukan sinergi kuat dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk Kementerian Pertahanan. "Kami punya keterbatasan tenaga, pegawai kami 6.700. Ada unit pelaksana teknis (UPT) setiap provinsi, dan kurang dari 50 persen di kota/kabupaten, termasuk perbatasan," tutur Taruna Ikrar.

"Maka untuk ketercukupan kebutuhan dan kemandirian obat sebagai ketahanan nasional, kami bekerja sama dengan Kementerian Pertahanan termasuk melawan berbagai macam mafia pelanggaran obat dan makanan,” jelasnya.

Baca juga artikel terkait MILITER atau tulisan lainnya dari Nanda Aria

tirto.id - Insider
Reporter: Nanda Aria
Penulis: Nanda Aria
Editor: Hendra Friana