Menuju konten utama

Tidak Benar Dokter Dibayar Rp2000, Ini Penjelasan BPJS Kesehatan

BPJS Kesehatan menilai masih ada kesalahpahaman terhadap skema pembayaran layanan di program JKN, terutama terkait sistem kapitasi dan INA-CBG. 

Tidak Benar Dokter Dibayar Rp2000, Ini Penjelasan BPJS Kesehatan
Sejumlah warga antre untuk pemeriksaan kesehatan di Puskesmas Botania Batam, Kepulauan Riau, Kamis (26/6/2025). ANTARA FOTO/Teguh Prihatna/rwa.

tirto.id - BPJS Kesehatan menyampaikan klarifikasi untuk meluruskan isu dokter dibayar Rp2000 per pasien dalam Program JKN. Menurut Kepala Humas BPJS Kesehatan, Rizzky Anugerah, isu tersebut menunjukkan masih ada kesalahpahaman terhadap skema pembayaran layanan kesehatan dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Dia mencatat, sistem kapitasi dan Indonesia Case-Based Groups (INA-CBG) menjadi dua istilah yang kerap disebut tetapi sering disalahpahami. Padahal, kedua istilah itu merujuk pada komponen penting dalam skema pembiayaan layanan kesehatan bagi peserta JKN.

Rizzky menerangkan, sistem kapitasi dan INA-CBG memiliki sejumlah perbedaan. Keduanya berbeda dari segi cara pembayaran, jenis layanan yang disediakan, serta fasilitas kesehatan yang menerima pembayaran.

"Kapitasi adalah sistem pembayaran yang dilakukan pada awal secara prabayar setiap bulan kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama [FKTP] seperti Puskesmas, klinik pratama, atau dokter praktik perorangan," kata Rizzky melalui siaran resmi BPJS Kesehatan pada Jumat (25/7/2025).

Dia menambahkan, "Besaran pembayaran [kapitasi] ditentukan berdasarkan jumlah peserta JKN yang terdaftar, tanpa memperhitungkan frekuensi kunjungan atau jenis layanan medis yang diberikan."

Dengan demikian, sekalipun peserta JKN tidak datang untuk berobat, FKTP tetap menerima pembayaran dari BPJS Kesehatan. Di sisi lain, FKTP tetap wajib memberikan layanan secara optimal.

Fasilitas Kesehatan harus menyediakan layanan promotif dan preventif, serta pengelolaan pasien penyakit kronis melalui Program Pengelolaan Penyakit Kronis (Prolanis) dan Program Rujuk Balik (PRB).

"Jadi tidak benar kalau ada yang bilang dokter cuma dibayar BPJS Kesehatan 2.000 untuk setiap pasien yang dilayani," ujar Rizzky.

Terkait pembayaran BPJS Kesehatan kepada FKTP, besaran tarif kapitasi telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2023. Sementara itu, lanjut Rizzky, mengenai pembagian jasa medis dokter dan tenaga kesehatan lainnya menjadi kewenangan FKTP.

Rizzky menyatakan, saat ini sistem kapitasi telah dikembangkan menjadi Kapitasi Berbasis Kinerja (KBK). Skema KBK memungkinkan fasilitas kesehatan mendapat insentif tambahan jika menunjukkan kinerja yang positif.

Kinerja fasilitas kesehatan dinilai dari sejumlah indikator. Misalnya, keaktifan FKTP menjalin komunikasi dengan peserta JKN saat sehat maupun sakit.

Indikator lainnya, kata Rizzky, adalah efektivitas pengendalian tingkat rujukan peserta yang seharusnya cukup ditangani di FKTP. Keberhasilan dalam mengelola pasien diabetes melitus dan hipertensi agar tetap terkendali juga termasuk dalam indikator penilaian kinerja FKTP.

Menurut Rizzky, FKTP bisa mendapat insentif hingga 110 persen dari tarif kapitasi standar apabila mampu memenuhi berbagai indikator kinerja tersebut.

Skema ini diberlakukan untuk mendorong FKTP mengambil peran secara maksimal sebagai 'penjaga gerbang' dari layanan kesehatan, dan bukan hanya menjadi tempat berobat pasien ketika sakit.

"Makin banyak peserta yang sehat, FKTP makin untung. Harapan kami, itu dapat memacu semangat FKTP untuk menggalakkan upaya promotif-preventif," kata Rizzky.

Adapun sistem INA-CBG berbeda dari kapitasi karena diterapkan di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) seperti rumah sakit. Nilai tarif dalam sistem INA-CBG mengikuti ketentuan Kementerian Kesehatan. Besarannya didasarkan pada paket tarif yang disesuaikan dengan diagnosis medis serta tindakan pada peserta JKN.

Dalam penerapan sistem INA-CBG, BPJS Kesehatan berperan melaksanakan verifikasi klaim untuk dasar pembayaran kepada rumah sakit. "INA-CBG adalah pembayaran berdasarkan layanan yang benar-benar diberikan oleh rumah sakit kepada peserta JKN. Skema ini diterapkan sesuai dengan karakteristik pelayanan di rumah sakit yang menangani kasus medis spesialistik, atau membutuhkan penanganan lebih lanjut," ujar Rizzky menjelaskan.

Sistem INA-CBG diterapkan karena FKTP diarahkan menjadi garda terdepan dalam penanganan awal pasien peserta JKN. Dengan begitu, rumah sakit bisa lebih fokus menangani kasus-kasus yang membutuhkan penanganan lanjutan sesuai dengan indikasi medis yang terdiagnosis.

Rizzky menggarisbawahi rumah sakit tidak bisa menangani seluruh kasus pasien. Jika semua penyakit harus ditangani oleh rumah sakit, akan terjadi penumpukan pasien, penurunan kualitas pelayanan, hingga pembengkakan biaya penanganan peserta JKN.

Perujukan pasien ke rumah sakit, kata Rizzky, baru dilakukan ketika FKTP tidak mampu menangani kondisi pasien berdasarkan kebutuhan medis. Jadi pertimbangan merujuk pasien ke rumah sakit bukan didasari oleh keinginan pribadi peserta JKN ataupun masalah biaya.

Pelayanan kesehatan peserta JKN yang harus melalui FKTP terlebih dahulu sebelum dirujuk ke rumah sakit tingkat lanjutan ini diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 16 Tahun 2024 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perseorangan.

"Rumah sakit pun terbagi menjadi beberapa kelas, yaitu rumah sakit kelas A, kelas B, kelas C, dan kelas D. Klasifikasi rumah sakit umum dibagi [lagi] menjadi berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanannya, sebagaimana yang diatur dalam regulasi yang ditetapkan pemerintah," lanjut Rizzky.

"Ini menunjukkan bahwa pemerintah sudah membangun sistem pelayanan kesehatan sedemikian rupa, supaya pelayanan kesehatan bisa berjalan dengan optimal," kata dia menutup penjelasannya.

(INFO KINI)

Penulis: Tim Media Servis