tirto.id - Polisi menangkap pelaku pelecehan seksual bernama Sidik Nugraha (25) yang meresahkan warga, pada Senin, 18 November 2019. Ia ditangkap di kediaman dia, di Kelurahan Argasari, Kecamatan Cihideung, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat.
Penangkapan pelaku yang kerap kali disebut sejumlah media dengan “teror sperma” itu berawal dari keterangan seorang wanita berinisial LR yang melaporkan ke Polres Tasikmalaya Kota.
Tindakan itu dapat dikategorikan sebagai tindak pidana asusila sebagaimana dimaksud dalam Pasal 281 KUHP.
Pelaku melakukan pelemparan “sperma” ke sejumlah korban, sehingga bentuk tersebut dapat dikategorikan sebagai kekerasan seksual di ruang publik.
Di kawasan lain, yakni Kalideres, Jakarta Barat, terdapat peristiwa yang mirip. Pelaku melakukan pelecehan seksual berupa “meremas payudara” seorang perempuan di pinggir jalan.
Dua kasus tersebut menambah daftar panjang angka pelecehan seksual di ruang publik.
Hal itu selaras dengan data survei pelecehan seksual di ruang publik oleh Koalisi Ruang Publik Aman yang dilakukan pada akhir 2018. Survei ini melibatkan 62.224 responden yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia.
Partisipan pun dikelompokkan ke dalam berbagai identitas, seperti gender, usia, tingkat pendidikan, kepercayaan, kemampuan, serta kelompok marginal.
Survei tersebut menunjukkan pelecehan seksual di ruang publik pernah dialami oleh 64 persen dari 38.766 perempuan, 11 persen dari 23.403 laki-laki, dan 69 persen dari 45 gender lainnya. Bahkan, mereka menemukan hasil 52 persen responden mendapat pelecehan seksual pertama kali sebelum berusia 16 tahun.
Ada tiga lokasi yang menjadi favorit para pelaku kejahatan seksual beraksi, yakni: jalanan umum (33%), transportasi umum, termasuk halte (19%), serta sekolah dan kampus (15%).
Dalam survei tersebut, para peneliti mengungkapkan bus adalah transportasi umum yang paling sering jadi tempat pelecehan seksual (36%), diikuti oleh angkot (30%), KRL (18%), ojek dan taksi online (18%), serta ojek dan taksi konvensional (6%).
Aktivis perempuan dan Sekretaris Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Gama Triono mengatakan pelemparan sperma adalah pelecehan seksual serius.
Pelemparan sperma adalah perwujudan simbol patriarki, yaitu laki-laki menganggap bahwa kuasa seksualitasnya sebagai adalah simbol seksualitas yang ditujukan untuk merendahkan kelompok lain (perempuan, waria, dan laki-laki lain).
“Pelemparan sperma adalah perwujudan simbol tersebut. Bahwa, dengan melemparkan sperma seolah seksualitas laki-laki akan semakin menguat,” ujar Gama.
Sementara itu, dosen psikologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Koentjoro mengatakan kasus “pelemparan sperma” itu sudah masuk pada kekerasan seksual psikologis.
“Kasus pelemparan sperma ini menurut saya bukan lagi pelecehan seksual, tapi sudah kekerasan seksual psikologi karena dampak traumatisnya terhadap korban, perempuannya bisa gilo (jijik). Apalagi kalau korbannya masih belum tahu soal masalah seks ini bisa menimbulkan shock,” ujar Koentjoro.
Koentjoro mengatakan kemungkinan besar pelaku memiliki masalah psikologis. “Menurut saya ini pelaku secara psikologis bermasalah, biasanya tidak punya kepercayaan diri dan berada di lingkungan yang terbatas,” kata dia.
Pentingnya Sanksi Sosial
Rika Rosvianti atau Neqy, pendiri perEMPUan --kelompok yang berfokus pada masalah kekerasan seksual di ruang publik-- menilai bentuk-bentuk kekerasan seksual tersebut tujuannya adalah merendahkan harga diri orang lain secara seksual untuk mendapatkan perasaan berkuasa atas orang lain.
“Respons dari beberapa korban sudah tepat, yakni dengan memotret identitas pelaku berupa foto motor dan pelat nomornya, serta berlari menjauh dari lokasi dan menuju keramaian," ujar Neqy saat dikonfirmasi reporter Tirto, Selasa (19/11/2019).
Neqy menambahkan “hal yang perlu dilakukan selanjutnya adalah menangkap dan memberi sanksi pada pelaku agar ia tidak melakukan hal serupa.”
Neqy menilai mempublikasikan identitas pelaku bisa menjadi salah satu alternatif untuk memberikan efek jera secara sosial, sekaligus agar orang lain bisa turut mengidentifikasikan pelakunya.
“Mempublikasikan identitas pelaku menjadi hal yang bisa dilakukan sekarang untuk memberikan semacam hukuman bagi pelaku," tegas Neqy.
Terlebih, ujar Neqy, saat aturan hukum di Indonesia baru dapat menjerat kasus kekerasan seksual yang melibatkan kontak fisik.
Selain sebagai sanksi, kata Neqy, mempublikasian foto pelaku dapat menjadi salah satu cara agar tak ada calon korban lain.
“Setidaknya tujuannya adalah agar pelaku teridentifikasi dan orang lain bisa menghindarinya, sehingga tidak menjadi korban selanjutnya,” kata dia menambahkan.
Lagi-Lagi RUU PKS
Neqy pun menyayangkan belum adanya payung hukum yang melindungi bentuk-bentuk kekerasan seksual yang beragam. Padahal, hal itu sebenarnya dapat diatur bila Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) telah disahkan DPR dan pemerintah.
“Ditambah lagi dengan tidak disahkannya RUU PKS, sehingga belum ada aturan hukum yang secara spesifik bisa digunakan untuk menindak kasus kekerasan seksual termasuk, pelecehan seperti ini [pelemparan sperma]" ujar Neqy.
Perjalanan RUU PKS memang sangat lamban. Sebab prosesnya telah memakan waktu lebih dari lima tahun --sejak DPR periode sebelumnya-- dan belum juga disahkan hingga saat ini. Padahal kasus kekerasan seksual terus terjadi.
Naila Rizki Zakiyah, pengacara publik yang biasa memegang kasus kekerasan seksual, sempat menjelaskan apa tujuan dan poin-poin yang memang terdapat dalam RUU PKS.
“Kenapa kawan-kawan, terutama pendamping hukum, atau aktivis itu terus menyerukan pengesahan RUU PKS? Ini berangkat dari pengalaman korban, kawan-kawan pendamping hukum, yang saat terjadi kekerasan seksual, mereka tidak bisa mendapatkan keadilan secara hukum, karena tidak ada hukum yang mengaturnya,” kata dia.
Naila mengatakan selama ini kekerasan seksual hanya diatur dalam dua poin, yakni: pemerkosaan dan pencabulan. Pemerkosaan memerlukan banyak bukti, termasuk adanya kekerasan di dalamnya, atau adanya jejak sperma.
Dalam draf RUU PKS [PDF], ada beberapa jenis kekerasan seksual yang belum diatur oleh hukum, beberapa di antaranya adalah pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, pemaksaan aborsi, pemaksaan pemasangan alat kontrasepsi, pemerkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, dan penyiksaan seksual.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Abdul Aziz