tirto.id - Seorang ibu berkisah bagaimana dia berupaya memperjuangkan keadilan untuk anak bungsunya, seorang korban perkosaan, selama 15 tahun terakhir. Meski telah inkracht, untuk mendapatkan kepastian hukum itu dia harus melewati masa-masa yang “sulit dan berdarah-darah”.
Salah satu kesulitannya adalah “empati dari penegak hukum yang belum sama sekali diberikan secara benar dan tepat.”
Pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik, Uli Pangaribuan, mengatakan ibu itu tidak sendiri. Faktanya, penegak hukum yang tak berempati terhadap korban kekerasan seksual adalah fenomena umum di Indonesia. Kesimpulan ini diperoleh setelah dia bertahun-tahun mengadvokasi kasus kekerasan seksual, baik terhadap perempuan atau anak.
Salah satu bentuk nir-empati itu adalah mengajukan pertanyaan yang menjebak. “Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan cenderung tidak sesuai dengan apa yang dilaporkan,” kata Uli kepada reporter Tirto, Selasa (29/10/2019).
Ini misalnya terjadi di Bogor, Jawa Barat. Suatu ketika seorang anak korban perkosaan diperiksa polisi dan dia menangis. Alih-alih menenangkan, polisi justru memojokkan korban dengan pernyataan seperti “kamu jangan drama, deh. Jangan main watak.”
Sikap ini juga kerap dilakukan petugas Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA), salah satu direktorat yang pasti ada di polda.
Tidak hanya melontarkan pertanyaan menyudutkan, polisi juga kerap victim blaming, tidak menghormati korban, serta kerap menolak laporan pelecehan.
“Jadi yang datang ke LBH Apik, banyak yang ditolak laporannya sama kepolisian,” lanjutnya.
Ia lantas menyimpulkan: di antara penegak hukum yang lain, hanya kepolisian yang “belum ada progress sama sekali.” “Kalau jaksa, masih hampir sama dengan kepolisian.”
Penegak hukum yang relatif lebih ramah terhadap korban perempuan adalah hakim, kata Uli. Dan itu tidak terlepas dari adanya Peraturan MA Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum--bagi Mappi FH UI, regulasi ini adalah “terobosan hukum”.
Dibanding polisi, pernyataan yang dilontarkan hakim kian “ramah”. Ini adalah bukti kalau hakim “menginternalisasi” perma tersebut, “walaupun enggak semua hakim, seperti kasus Jeni-Joni,” terang Uli.
Efek serupa sebenarnya dapat muncul jika Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) disahkan. RUU ini sempat dibahas DPR RI periode 2014-2019, tapi tak rampung dan baru akan dibahas lagi DPR periode berikutnya.
Uli mengatakan satu poin yang membuat RUU ini istimewa adalah karena ia mengatur hak terhadap korban, berbeda dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang hanya berbicara mengenai hak tersangka atau terdakwa.
Ibu yang disebut pada paragraf awal juga berharap hal serupa. “Tidak ada kata tawar untuk segera mengesahkan RUU PKS sekarang juga.”
Masa Depan RUU PKS
Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar sempat mengatakan sesuatu, yang itu mewakili masa depan RUU PKS: “Yang paling berat UU PKS,” ujar Imin. Hal serupa pernah diungkapkan Marwan Dasopang yang sempat jadi Ketua Panitia Kerja RUU PKS. “Saya kesulitan menengahkan pendapat-pendapat anggota panja. Kok sekarang malah semakin jauh. Pusing saya,” ujar Marwan.
Koordinator Jaringan Kerja Program Legislasi Pro Perempuan Ratna Batara Mukti mengatakan sepanjang masih berstatus inisiatif DPR, maka sulit berharap RUU ini resmi jadi undang-undang.
Ini semakin sulit karena banyak wajah lama di anggota Komisi VIII periode 2019-2024 yang pada periode sebelumnya gagal mengesahkan peraturan ini.
Sebaliknya, aturan ini akan cepat disahkan jika misalnya dialihkan jadi inisiatif pemerintah. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) periode 2014-2019 Yohana Yembise sebenarnya pernah mengatakan siap mengambil alih RUU tersebut. Dia mengatakan demikian karena geram Komisi VIII DPR bergerak lamban.
“Jika RUU PKS menjadi inisiatif pemerintah, maka pilihan atas DIM-nya (Daftar Inventarisasi Masalah) bisa lebih banyak, pertimbangannya bisa lebih matang,” ujar Ratna kepada reporter Tirto, Selasa (29/10/2019) malam.
“Tentunya akan menjadi sangat baik jika Kementerian PPPA mau menjadikan RUU PKS sebagai inisiatif pemerintah,” harapnya kepada Menteri PPPA yang baru.
Kalaupun tetap di bawah inisiatif DPR, Ratna menyarankan RUU PKS dibahas oleh pansus yang terdiri dari sejumlah komisi. “Perlu ada perwakilan terbaik dari sejumlah komisi yang berhubungan dengan RUU PKS untuk membahasnya.”
Menteri PPPA yang baru I Gusti Ayu Bintang Darmawati belum memberi jawaban pasti atas harapan ini. Di kantornya, Jakarta, Kamis (24/10/2019), Gusti Ayu hanya mengatakan RUU PKS adalah salah satu prioritasnya yang akan “dikaji lebih lanjut dan dibicarakan dengan teman-teman di sini.”
Hal serupa diungkapkan Sekretaris Kementerian PPPA, Pribudiarta Nur Sitepu.
“Kami juga mengevaluasi dan mau memastikan bagaimana [RUU PKS] bisa selesai di 2020. Ini, kan, masih inisiatif dewan, Ini akan kami diskusikan lagi juga dengan dewan,” ujarnya kepada reporter Tirto, Selasa (29/10/2019).
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Widia Primastika