tirto.id - Abdul (16), bukan nama sebenarnya, sudah membulatkan tekad berada di barisan paling depan ketika band favoritnya, The Chancuters, manggung di pentas seni salah satu sekolah negeri di Jakarta Timur. Saat band asal Bandung itu mulai menaiki panggung, dia tak ragu menyelinap di antara kerumunan massa.
“Aku langsung lari ke depan,” katanya kepada reporter Tirto, Ahad (20/10/2019) malam.
Lagu pertama selesai. Dia sangat puas. Tapi semua pupus ketika lagu kedua atau ketiga--Abdul tidak ingat betul--dimainkan. Saat itu ada orang yang memegang area vitalnya.
“Tapi enggak yakin mau pegang ‘itu’ atau nyari dompet. Pas nengok kanan, kiri, enggak kelihatan orangnya.”
Abdul jelas marah. Ia mau mencari si pelaku, tetapi tidak ingat wajahnya. Dia hanya ingat orang itu laki-laki, tinggi yang kurang-lebih sama dengan dia, kurus, dan berkulit sawo matang.
Kejadian itu seketika membuat mood Abdul hancur. Sulit untuk kembali menikmati konser band kesayangannya itu.
Rani (18), bukan nama sebenarnya pula, juga pernah mengalami kasus serupa, yang membuatnya bahkan enggan menghadiri konser lagi sampai sekarang. Pengalaman itu ia rasakan di Soundfest 2018.
Saat itu ia datang bersama seorang kawan bernama Lisa, sebut saja demikian, serta lima teman Lisa yang baru ia kenal malam itu. Saat itu Rani mengenakan hijab dan pakaian gombroh.
Tangan Rani tiba-tiba digenggam saat Sheila on 7 manggung. Dia risih dan melepaskan genggaman itu. Dia pun menjauh. Tapi lagi-lagi tangannya dipegang seseorang.
“Ternyata itu temannya temanku yang kenalan di awal,” katanya.
Laki-laki itu terus mengikuti ke mana pun Rani bergeser. Ia tak hanya menggenggam tangan, tapi merangkul pinggang, serta memegang bokong Rani. Dia baru berhenti berulah saat konser selesai.
Setelah itu orang tersebut bahkan tidak berani menatap Rani.
“Sampai sekitar tiga hari setelahnya aku merasa enggak nyaman untuk memegang pinggang atau pantat aku sendiri saat mandi. Terus aku mikir, salah aku bukan sih, atau gimana.”
“Dugaan temanku (Lisa), dia suka sama aku, tapi kalaupun dia suka, enggak sepatutnya dia melakukan itu,” tegasnya.
Gisela Swaragita (29) memang tetap mau menghadiri konser, tapi setelah pelecehan yang pernah dialami kira-kira 10 tahun lalu, dia lebih memilih menonton dari pinggir, tidak masuk ke tengah kerumunan. Ia khawatir kejadian serupa terulang, dan berpikir bahwa moshing atau crowd surf memang hanya bagi laki-laki.
Ingatannya tentang pelecehan sudah tidak utuh karena dia memang berusaha untuk tidak melupakannya. Ia hanya ingat garis besarnya: payudaranya disentuh atau diremas pria asing.
Pemikiran Gisa mulai berubah saat ia menghadiri gigs kecil yang diselenggarakan oleh kawan-kawannya sendiri di Yogyakarta, empat tahun lalu. Karena kenal banyak orang, dia berani merasakan crowd surf untuk pertama kalinya.
“Nah, sejak main sama mereka, aku merasa lebih bisa crowd surfing sesukaku,” kisahnya.
Gisa pernah menemui sejumlah kolektif musik yang memerhatikan betul masalah pelecehan seksual dalam konser. Itu satu cara untuk melawan kekerasan seksual. Atau, cara lain, adalah para penonton sendiri yang bereaksi jika hal tersebut terjadi.
Dia pernah melakukan itu ketika menonton konser Grrrl Gang di Fatmawati, Jakarta.
Saat itu, para perempuan memisahkan diri dari laki-laki dan membuat crowd surf sendiri. Namun tetap saja seorang perempuan dilecehkan. Dia pun marah-marah. Gisa yang melihat itu langsung ke depan untuk lapor ke salah satu kru band.
“Edo (gitaris) langsung bilang, ‘kalian jangan kampung, dong, jangan melecehkan cewek-cewek.’ Yang cewek akhirnya ke depan panggung,” katanya.
Lewat pengalaman itu Gisa sadar sebenarnya selain penonton itu sendiri, musisi juga punya kemampuan dan bahkan perlu mengendalikan penontonnya.
“Supaya tidak terjadi hal-hal semacam itu,” katanya.
Hal semacam itu yang dilakukan Baskara Putra, vokalis band Feast. Ia menggagas sebuah gerakan agar penonton menunjukkan tanda “SOS” lewat ponsel masing-masing apabila mengalami, ataupun melihat, pelecehan seksual di konser ke penampil.
Ide tersebut ia sampaikan melalui Twitter. Ia juga mengajak musisi lain seperti Danilla dan Kunto Aji dan direspons positif.
“Dari dulu kami berpikir bagaimana caranya biar aman, tapi belum pernah muncul ide kayak begini. Tiap membicarakan masalah ini, pasti ujung-ujungnya ada beberapa performer yang bilang, ‘kayaknya kita sebagai performer cuma bisa mengimbau, deh,’” kata Baskara kepada reporter Tirto, Senin (21/10/2019) “Tapi capek juga, karena nanti-nanti ada lagi ceritanya, ada lagi kasusnya.”
Baskara menilai masalah pelecehan dalam konser sudah genting, dan perlu tindakan lebih konkret.
“Ini sebenarnya ibarat gerbong KRL wanita sih. Jadi kayak solusi, tapi enggak menyelesaikan masalah. Kan kita sebenarnya berharap besok-besok enggak ada lagi SOS seperti ini karena acara musik secara umum sudah lebih aman dan nyaman,” ujar Baskara.
Dengan cara ini dia berharap siapa saja yang mau melecehkan orang dalam konser berpikir dua kali.
“Dari segi pelaku, dia bisa berpikir dua kali saat tahu penonton juga aware dengan tindakan-tindakan itu, jadi kayak semacam senjata kecil untuk menanggulangi mereka,” pungkasnya.
Menangani Pelecehan
Anindya Restuviani, Co-Director Hollaback! Jakarta, organisasi yang fokus mengadvokasi masalah pelecehan seksual di ruang publik, menjelaskan sebab pelecehan seksual dalam konser sebenarnya tak jauh berbeda dari pelecehan seksual di ruang publik lain: itu terjadi karena pelaku memandang korban sebagai objek seksual, “dan mereka mempertunjukkan punya kuasa lebih.”
Karena itu dia mengapresiasi taktik “SOS” yang digerakkan sejumlah musisi.
“Bagus saat ada musisi yang menyadari masalah pelecehan seksual itu ada dan melakukan sesuatu. Apalagi, penampilnya adalah laki-laki (Feast). Aku berharap penonton laki-laki bisa paham bahwa ini tidak bisa diterima,” ujar Anindya kepada reporter Tirto.
Selain SOS, menurut Andidya, ada lima hal lain yang dapat dilakukan penonton konser saat melihat adanya pelecehan seksual di sekitar mereka. Dia menyebutnya ‘5D’.
Pertama, direct, atau mengintervensi langsung ke pelaku. Kedua, distract, atau mengganggu pelaku. Contohnya, mendorong calon korban agar menjauhkan dari calon pelaku.
“Ketiga, delay. Ini yang sering banget kita lupa, yaitu bertanya perasaan korban. Mungkin bisa langsung bertanya ke korbannya, ‘mbak, saya lihat tadi, mbak enggak apa-apa?’” jelasnya.
Keempat, dokumentasi. Hasil dokumentasi tersebut untuk diberikan kepada korban, Korbanlah yang memutuskan untuk apa dokumentasi tersebut, termasuk jika itu akan dipakai untuk barang bukti.
“Terakhir, delegate. Jadi kita mendelegasikan ini ke pihak ketiga. Lapor, sih, sebenarnya. Ini juga yang akhirnya membuat dokumentasi itu penting, karena bisa menjadi bukti,” pungkas Anindya.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Rio Apinino