tirto.id - Dalam debat pemilihan kandidat capres Partai Republik empat tahun silam, Donald Trump berbuat ulah. Tak suka pada moderator debat Megyn Kell, Trump menyebut presenter Fox News itu sosok yang tidak profesional melalui Twitter.
Tidak hanya itu, dalam tayangan CNN Tonight, Trump mencerca Kelly. Ia mengatakan: “Anda akan melihat darah keluar dari mata dan seluruh tubuh Kelly.”
Selain itu, Trump me-retweet cuitan yang menyebut sang presenter sebaagai "bimbo" (alias "gadis bodoh"). Trump tentu tak minta maaf, bahkan ketika kasus-kasus pelecehan seksual terhadap banyak perempuan lain yang melibatkan dirinya terkuak di kemudian hari.
Pada 2017, video Trump yang melecehkan perempuan kembali beredar. Ia mengatakan: “Ketika Anda jadi bintang, Anda dapat melakukan apa pun. (Bahkan) Anda dapat memegang bagian kemaluan mereka” ("grab them by the pussy"). Ucapan itu merujuk pada para aktris Hollywood.
Dilatarbelakangi kelakuan minus Trump dan isu-isu ketidakadilan gender lainnya, kaum perempuan Amerika turun ke jalan dalam aksi bernama Women's March pada 2017 silam.
Menurut catatan yang dirangkum Kirsten Weber, Tisha Dejmanee, dan Flemming Rhode dalam studi berjudul “The 2017 Women’s March on Washington: An Analysis of Protest-Sign Messages” (2018), sebanyak lima juta orang turun ke jalan. Sekitar 500 ribu di antaranya berada di Washington, Amerika Serikat. Pesannya sederhana, “hak asasi perempuan adalah bagian tak terpisahkan dari hak asasi manusia.”
Pesan itu kemudian ditranslasikan dalam berbagai bentuk poster. Misalnya, poster yang tertulis “My Body My Choice”, “My Pussy, My Choice, My Body, My Voice”, “Mind Your Own Uterus”, “Real Men Think Is Sexy”, dan “Keep Your Policies Off My Body”.
Masih menurut studi yang sama, ada 695 pesan yang disampaikan para demonstran melalui poster. Jika diklasifikasikan, ungkapan-ungkapan dalam poster terbagi dalam lima kelompok. Pertama, persatuan perempuan. Kedua, perempuan sebagai agen perlawanan. Ketiga, upaya mengklaim kembali kata “pussy" sebagai kebanggaan alih-alih olok-olok terhadap perempuan. Keempat, kritik terhadap Trump. Terakhir, soal mendefinisikan dan mengkritik tradisi gerakan feminis yang sudah-sudah.
Jika diperhatikan lebih seksama, pesan yang termuat dalam poster-poster di Women's March terasa lebih personal. Kata-katanya diambil menunjukkan situasi kehidupan sehari-hari yang dialami atau disaksikan para demonstran sebagai perempuan.
Redaksional serupa muncul juga di poster-poster selama demonstrasi mahasiswa di Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Malang, Balikpapan, Samarinda, Purwokerto, dan kota-kota lain di Indonesia untuk menolak RUU KUHP dan Revisi UU KPK. Melalui media sosial, mahasiswa mengorganisir diri, menggaungkan tagar #SaatnyaPeoplePower, #GejayanMemanggil, hingga #MosiTidakPercaya.
Senin, 23 September 2019, mahasiswa membawa poster-poster unik yang tak banyak ditemui di demo-demo pada umumnya. Kalimat dan pesannya sangat personal. Misalnya: “Kite yang Bolos, DPR yang Bego”, “Rame Banget, Ga Ada yang Mutualan,” “Anak Kebo Jenenge Gudel, DPR Gathel”, “Bajingan, Panas Banget Cuk,” “DPR Ngelucu, Presiden Pamer Cucu", “Selangkanganku Bukan Milik Negara”, “Tegakkan Keadilan, Matikan Saja Mantanku”, “Mas, Aku Sedia Sunblock”, “Kita Ngga Butuh DPR, Kita Butuhnya Hokage”, dan “Ikut Demo Demi Instastory”.
Isinya lekat dengan ruang kelas, media sosial, budaya pop, dan aktivitas berpacaran.
Sebagian kalangan mengomentari poster-poster itu dengan nada nyinyir dan menganggap aksi demonstrasi yang didominasi generasi Z ini asal-asalan. Namun, jika merujuk analisis Weber, poster protes dengan pesan personal lumrah belaka. Itulah cara pendemo menghubungkan antara kebijakan negara dengan dampaknya terhadap kehidupan pribadi mereka.
Di sini berlakulah slogan feminis klasik era 1960-an: "The personal is political". Dalam “The Personal is Political: An Analysis in Retrospect” (1981) yang ditulis Linda J. Nicholson, makna "The personal is political" sebetulnya sederhana saja, yakni bahwa urusan politik dan pribadi sesungguhnya saling mempengaruhi. Bagaimana tidak? RUU KUHP yang mengkriminalkan pasangan yang tinggal bersama tanpa nikah akan berdampak pada kehidupan sehari-hari warga negara Indonesia. Ancaman kriminalisasi terhadap aktivitas penyuluhan kesehatan reproduksi pun sangat berkaitan dengan tubuh perempuan. Itu baru satu contoh. Masih banyak yang lainnya.
Maka, wajarlah ketika seorang anggota generasi Z yang saban hari bermain PUBG dan mendengarkan Girl Generation akhirnya turun ke jalan karena kegemarannya, misalnya bermain gim atau mendengarkan girlband Korea, misalnya, terancam oleh blokir internet dan sensor.
Dari Perancis
Penggunaan poster ciamik dan bernada personal juga juga dapat dilihat di demo besar yang mengguncang Paris selama dua bulan (Mei-Juni) pada 1968. Kala itu, mengutip pemberitaan The New York Times (5/5/2019).
Dekade 1960-an adalah masa kemakmuran luar biasa bagi dunia Barat, termasuk Perancis. Standar kemakmuran meningkat drastis. Jumlah mahasiswa juga bertambah. Di sisi lain, pemerintah makin represif dan mengirim banyak anak muda ke medan perang, misalnya Vietnam. Di Perancis, Charles de Gaulle yang mewakili kaum konservatif berkuasa. Nyaris selama satu dasawarsa, Perancis berkali-kali mengalami darurat sipil sebagai respons negara terhadap protes-protes kaum kiri atas Perang Kemerdekaan Aljazair, bekas koloni Perancis.
Di bawah konservatisme de Gaulle, perempuan tidak boleh mengenakan celana ke kantor. Mereka juga harus mendapat persetujuan suami jika istri hendak membuka akun bank. Pekerja bisa dipecat seenaknya sesuai perintah bos.
Ada bermacam-macam penjelasan sosiologis mengapa mahasiswa turun ke jalan. Pada 22 Maret 1968, gedung rektorat Universitas Nanterre diduduki mahasiswa yang dipimpin oleh Daniel Cohn-Bendit. Banyak hal yang dipermasalahkan mahasiswa, mulai birokrasi kampus hingga aturan yang melarang mahasiswa laki-laki mengunjungi asrama mahasiswa perempuan.
Pendudukan selama berbulan-bulan itu akhirnya meledak pada 2 Mei, ketika mahasiswa mulai memasang barikade di kampus dan jalan-jalan sekitar. Ketika bentrokan dengan polisi pecah, lahirlah poster-poster bikinan L'Atelier Populaire, kelompok cair seniman yang lahir dari pendudukan Sekolah Tinggi Seni Paris.
Poster karya L'Atelier terkenal berkat kenakalannya. “keindahan ada di jalanan", "Aku cinta kamu, katakan itu dengan lemparan batu", "Jadilah anak muda dan tutup mulutmu", hingga "Aku orgasme di antara lemparan batu".
Aksi itu juga disambut oleh buruh, namun dikecam oleh Partai Komunis Perancis dan Partai Sosialis yang memilih untuk berpihak pada de Gaulle. Protes baru berakhir ketika de Gaulle mengumumkan akan melibatkan militer. Ancaman itu datang dari Baden-Baden, Jerman, di mana pemerintahan de Gaulle mengungsi. Paris luar biasa kacau selama Mei-Juni. Setidaknya, 600 orang terluka. Akhirnya mahasiswa memang pulang ke rumah. Tapi, demonstrasi itu sukses mengubah wajah sosial masyarakat Perancis. Konservatisme ditinggalkan. Perempuan lebih berani. Beberapa tahun kemudian, sensor film dan media dihapus.
De Gaulle mundur dari jabatan setahun kemudian.
Editor: Windu Jusuf