tirto.id - Joni (14) dan Jeni (7), bukan nama sebenarnya, adalah kakak-beradik biasa yang suka menghabiskan sore dengan bermain bersama tetangga. Jeni suka bermain ke rumah teman sepantarannya, Alia, juga bukan nama sebenarnya.
HI (41), ayah Alia, suatu ketika melakukan perbuatan yang sama sekali tidak pantas: ia memperkosa Jeni. Dan ini dilakukan berulang-ulang.
Dia pertama kali melakukan itu sejak Jeni berusia empat tahun.
Uli Pangaribuan, kuasa hukum Jeni, dalam konferensi pers di LBH APIK, Jakarta Timur, Senin (22/4/2019), mengatakan perkosaan mulai terkuak saat sang ibu menemukan hal aneh saban anaknya pulang ke rumah.
“Selepas main dari rumah tetangganya, ibunya sering menemukan kecurigaan, seperti pakaian [Jeni] terbalik,” kata Uli.
Kebejatan HI ternyata tak hanya kepada Jeni, tapi juga Joni. Ia disodomi. Joni pertama kali disodomi HI saat usianya masih 12 tahun. Sama seperti adiknya, Joni juga diperlakukan demikian berkali-kali, terakhir pada Mei 2018.
Joni adalah penyandang disabilitas intelektual.
“Pelaku memberikan uang Rp100 ribu kepada Joni dan mengatakan jangan bicara ke siapa-siapa,” ujar Uli.
Kejanggalan lain yang juga tercium oleh orangtua Joni dan Jeni adalah dua anaknya itu kerap merasakan sakit saat buang air. Joni ketika buang air besar, dan Jeni saat buang air kecil.
Orangtua Joni dan Jeni lantas membawa kasus ini ke Pengadilan Negeri Cibinong, Jawa Barat. HI dituntut menggunakan Pasal 81 ayat 2 dan Pasal 82 nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan anak.
Namun berdasarkan putusan hakim bernama Muhammad Ali Askandar pada sidang 25 Maret 2019, HI dinyatakan bebas. Putusan tersebut diambil dengan alasan tidak adanya saksi yang melihat kejadian secara langsung.
“Kami merasa ada yang aneh dalam proses persidangannya,” ungkap Uli, mengomentari putusan tersebut.
Setelah ditelisik lebih jauh, LBH APIK lantas menemukan sejumlah kejanggalan. Pertama, terdakwa atau pelaku sudah mengakui perbuatannya. Selanjutnya, hasil visum juga menyatakan adanya hubungan seksual.
“Untuk pasal 81 dan 82, yang disampaikan oleh jaksa, itu sudah terpenuhi pembuktiannya karena ada visum yang membuktikan bahwa ada pemerkosaan,” jelas Uli.
Kejanggalan lain muncul sepanjang sidang. Joni dan Jeni tidak didampingi siapa pun, termasuk keluarganya sendiri. Di sisi lain, pelaku justru didampingi oleh pengacara yang jumlahnya dua orang.
Uli mempertanyakan bagaimana hakim bisa membiarkan persidangan--yang korbannya masih anak-anak--tetap berjalan dalam situasi demikian.
Peneliti dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (Mappi) FH UI, Meyriza Violyta, menilai pembiaran hakim terhadap Joni dan Jeni yang mewakili dirinya sendiri sebagai hal yang aneh. Lebih dari itu, persidangan ini dapat menimbulkan trauma ganda terhadap kedua anak tersebut.
“Anak [Joni dan Jeni] juga diperiksa bersama terdakwa. Ia sudah mengalami sakit trauma fisik, psikis, dan diperiksa bersama terdakwa,” ujar Mey.
“Sudah mereka anak, salah satunya mengalami disabilitas, tidak didampingi, dan malah diperiksa bersama terdakwa,” tambahnya.
Persidangan pun hanya dilakukan oleh satu orang hakim. Padahal, ujar Uli, hal tersebut melanggar aturan karena seharusnya ada tiga hakim. Ini hanya tak berlaku ketika terdakwa adalah anak di bawah umur.
“Ini bukan pelaku anak, ini pelaku dewasa, kenapa hakimnya tunggal?” tanya Uli, retoris.
Saat ini pelaku telah bebas. Ia tinggal di rumahnya semula. Dengan kata lain, korban dan pelaku masih tinggal dalam satu lingkungan.
“Mereka berangkat sekolah atau pulang sekolah melewati rumahnya pelaku,” kata Dian Novita, salah seorang anggota LBH APIK.
Banding
Jaksa, Dian Bintari, memilih melanjutkan kasus ini ke Mahkamah Agung (MA) melalui memori kasasi. Permohonannya baru saja dimasukkan Senin (22/4/2019) kemarin.
“Kami minta ditinjau kembali. Kan tuntutan kami 14 tahun, masak sama pihak hakimnya diputus bebas?” kata Dian.
“Semoga dari pihak Mahkamah Agung bisa membantu sehingga pelaku bisa ditangkap kembali,” harapnya.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Rio Apinino