tirto.id - May (Raihaanun) berjalan pulang dari pasar malam. Kala itu usianya baru 14 tahun. Sendirian, dengan seragam sekolah yang masih menempel di badan. Raut mukanya menampilkan kegembiraan usai menikmati wahana perahu kora-kora.
Ketika melewati area sepi, sekelompok pria berbadan besar tiba-tiba menyergapnya masuk ke sebuah gudang. May kalah, meski sudah berusaha sekuat tenaga untuk meloloskan diri.
Kedua tangan dan kakinya diikat ke kaki-kaki meja tempat May dibaringkan paksa. Setelah menjalani penyiksaan—bak sebentuk pemanasan—May kemudian diperkosa secara bergantian oleh para pelaku.
May berjalan pulang dari tempat kejadian. Kala itu usianya baru 14 tahun. Sendirian, dengan seragam sekolah yang telah koyak di beberapa bagian. Raut mukanya menampilkan kepedihan mendalam usai keperawanannya direnggut oleh orang tak dikenal.
Sejak malam itu hingga delapan tahun kemudian May tidak pernah mengucap sepatah kata. May bahkan tak mau keluar dari kamar, apalagi rumah, meski rumah tetangganya sedang kebakaran.
Jika bapaknya (Lukman Sardi) memaksa, May akan histeris. May lalu buru-buru mengunci diri di toilet dan mengiris-iris pergelangan tangan dengan selembar silet.
Rutinitas sehari-hari May jalani dengan membuat boneka. Bapak membantu menjualkannya. Tapi Bapak juga tidak bisa menyembunyikan rasa bersalah. Kejadian pahit yang menimpa May ia anggap sebagai akibat karena dirinya tidak mampu menjadi pelindung yang baik bagi sang anak.
Rasa frustasi kemudian ia alihkan ke atas ring tinju amatir dan ajang pertarungan bebas di bawah tanah. Semakin buruk kondisi May, semakin bagus performanya di arena—begitu pula sebaliknya.
27 Steps of May disutradarai oleh Ravi Bharwani. Ia meramu skenario film bersama Rayya Makarim. Keduanya, plus Wilza Lubis, berstatus sebagai produser. Film ditangani oleh rumah produksi Green Glow Pictures yang bekerja sama dengan Go Studio.
27 Steps of May adalah drama keluarga yang menakjubkan. Raihaanun dan Lukman menyuguhkan salah satu peforma terbaik sepanjang karier. Raihaanun beruntung karena ia dipasangkan dengan aktor metodis yang kenyang mendalami seni peran di dunia layar lebar.
Prosesnya tidak instan. Ravi mengungkapkan total masa produksi mencapai lima tahun. Tugas terberatnya adalah riset, yang secara teknis ia diskusikan dalam durasi yang panjang di setiap pembuatan adegan.
Inilah ciri khas Ravi: tidak terburu-buru dalam berkarya. Ravi menggarap The Rainmaker (Impian Kemarau) pada 2004, film tentang kekeringan yang melanda sebuah desa tepi pantai. Film kedua, Jermal, baru dirilis pada 2009. Ia terlihat amat berhati-hati untuk memastikan seluruh aspek tergarap dengan baik.
Dalam 27 Steps of May para pemeran dituntut untuk tidak sekadar membaca naskah, tapi juga merasakan esensinya, lalu membawakan pesannya ke penonton melalui akting.
Akting yang dimaksud juga minim dialog, terutama saat Ravi mengeksplorasi dinamika hubungan antara anak dan ayah, antara May dan Bapak.
Metode itu tidak hanya langka dalam dunia perfilman Indonesia, tetapi juga menjadi tugas pokok Ravi. Ia ditantang untuk memvisualisasikan trauma pemerkosaan secara tepat kepada para penonton, sementara medium komunikasinya bersifat non-verbal.
Trauma pemerkosaan berbentuk kepedihan yang awet dan depresif. Ini bukan deskripsi trauma yang dialami May seorang, tapi intisari yang saya ambil dari kisah-kisah kekerasan seksual yang diungkap beberapa penonton di pemutaran terbatas 27 Steps of May di CGV fX Sudirman, Kamis (18/4/2019).
Saya ada di barisan penonton. Karakteristik trauma saya saksikan tercermin dalam rutinitas keseharian May dan Bapak yang berjalan dalam tempo yang lambat.
Soal kepedihan yang awet, bayangkan: selama delapan tahun kedua tokoh menjalani hal-hal yang sama, setiap hari, serupa hingga ke detail-detailnya. Perubahan-perubahan hanya akan membuat May panik atau histeris. Untungnya, Bapak digambarkan sebagai orang yang sabar.
Kajian psikologi menyatakan trauma kekerasan seksual tidak hanya bersifat depresif bagi korban, tapi juga buat orang-orang terdekat di sekitarnya. Dalam konteks 27 Steps of May, tokoh Bapak menjadi contoh yang baik terkait teori tersebut.
Seluruh rasa frustasi yang dihadapi Bapak berkelindan dengan rasa bersalah yang mendalam. Semua dilampiaskan dengan cara memukuli lawan di atas ring. Di rumah ia bersikap relatif tenang. Saat sekali-dua kali lepas kendali, momentumnya tergolong masih tepat serta untuk alasan yang masuk akal.
Bagi sebagian penonton, minimnya dialog menjadi kendala memaknai cerita. Tapi bagi sebagian penonton lain, kondisi tersebut justru membuka ruang interpretasi yang seluas-luasnya. 27 Steps of May menjadi kuat karena menampilkan banyak elemen yang bersifat simbolis, dan pada akhirnya memperkaya makna film.
Kesunyian film akibat minimnya musik pengiring (scoring), misalnya. Saya melihatnya sebagai representasi diamnya korban-korban kekerasan seksual, seperti diamnya May, yang kadang justru disalahkan (victim blaming). Toh penata musik Thoersi Argeswara tetap bisa menggenjot scoring di waktu yang pas.
Atau boneka-boneka yang dirias oleh oleh May. Penampilannya seperti boneka barbie pada umumnya, tapi disesuaikan dengan model-model kesukaan May.
Boneka bisa dianggap sebagai representasi para tokoh dalam film, termasuk May. Boneka sempat berpakaian seperti pesulap yang tinggal di balik tembok kamar May (diperankan oleh Ario Bayu). Atau saat May diganggu ingatan traumatis, boneka dipakaikan seragam putih-biru yang lusuh serta terkoyak.
Si pesulap menjalin kedekatan dengan May melalui lubang tembok. Eksistensinya boleh dianggap nyata atau hanya ada di kepala May. Yang terpenting, ia ada untuk menjadi semacam katarsis bagi May, termasuk menumpahkan amarah, juga secara tak langsung membukakan jalan bagi May untuk mengakhiri isolasi diri.
Saya melihat si pesulap seperti seorang teman sejati, atau anggota keluarga, atau orang terdekat lain yang minimal bertugas untuk memastikan bahwa korban kekerasan tidak sendirian. Ia ada untuk mendengar, atau bahkan membantu korban untuk menapaki langkah penanggulangan trauma.
Di luar perkara teknis, kekuatan 27 Steps of May terletak pada dua poin. Pertama, temanya yang terasa orisinal karena mengandung isu yang jarang diangkat ke layar lebar.
Kembali ke sesi tanya-jawab setelah pemutaran terbatas di CGV fX Sudirman, pada Kamis (18/4/2019), penulis naskah Rayya Makarim mengungkapkan ide awalnya berasal dari peristiwa pemerkosaan massal pada bulan Mei 1998.
Tapi, setelah diskusi panjang, ia dan Ravi bersepakat untuk tidak membuat film yang politis. “Kita ambil temanya, kita bungkus dalam bentuk yang lebih personal,” imbuh Rayya.
Saat itu respons penonton tergolong menarik sekaligus agak mengagetkan—setidaknya menurut saya. Pasalnya, beberapa di antara mereka ada yang mengawali pertanyaan dengan mengungkap masa lalu sebagai korban kekerasan seksual.
Salah satunya, sembari agak terisak, merasakan pengalaman traumatis dalam jangka waktu yang lama setelah kejadian.
Seperti May, proses penyembuhannya tidak semudah membalik telapak tangan. Trauma muncul meski hanya mendengar pintu yang diketuk—sebagaimana saat kejadian dulu pintu kamar korban digedor-gedor oleh pelaku.
Penonton lain ada yang berstatus sebagai aktivis perempuan, baik yang aktif di kampus maupun di organisasi non-profit. Mereka menyatakan simpati kepada korban, memaparkan data terbaru tentang kasus kekerasan seksual di Indonesia, sampai berkampanye perihal kepedulian pada isu kekerasan seksual.
Sesi tersebut adalah contoh kekuatan kedua film 27 Steps of May. Ia tidak hanya memfungsikan diri sebagai sarana penghibur, tapi menyandang misi advokasi kepada mereka yang pernah trauma, sedang trauma, dan berupaya agar trauma yang sama tidak terulang lagi di masa depan.
Editor: Windu Jusuf