tirto.id - Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) masih mandek di DPR lantaran belum adanya titik temu atas sejumlah pasal yang jadi perdebatan.
Anggota Komisi VIII DPR, Rahayu Saraswati, menyampaikan salah satu faktor penyebabnya adalah kurangnya pemahaman sejumlah anggota komisi soal isu perempuan, apalagi menyangkut kesehatan reproduksinya.
"Komisi VIII bukan hanya membidangi soal perempuan dan anak, tapi juga soal sosial dan agama. Jadi banyak yang ditempatkan di Komisi VIII bukan orang-orang yang berpengalaman masalah perempuan dan anak, tapi ada yang agama," jelas Rahayu dalam diskusi publik di Gedung DPR, Jakarta Pusat, pada Kamis (19/9/2019).
"Jadi bayangkan, ini bapak-bapak, ibu-ibu, yang pakarnya soal haji, umroh, tiba-tiba harus bicara soal kesehatan reproduksi perempuan," lanjutnya.
Hal tersebut, ujar Rahayu, yang pada akhirnya membuat perdebatan soal RUU PKS justru berkutat dalam masalah agama. "Makanya kalau berdebat, pasti ujung-ujungnya berbenturan pada ideologi agama," lanjutnya.
Selain itu, Rahayu juga menyampaikan bahwa berdasarkan pengalamannya, tak sedikit anggota Komisi VIII yang juga tak paham masalah hukum di Indonesia.
Contohnya, jelas Rahayu, terdapat sejumlah anggota yang menolak poin pemidanaan untuk pemerkosaan dalam hubungan pernikahan.
Rahayu pun menegaskan tanpa RUU PKS, pemerkosaan terhadap pasangan dalam relasi pernikahan memang sudah diatur dalam UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT).
"Bagaimana dengan [hubungan seksual] yang suka sama suka? Mohon maaf, ini lex specialis kekerasan seksual, yang anda bicarakan sudah banyak diatur dalam UU lain," tegas Rahayu.
Kemudian, penolakan terkait pasal pidana terhadap kekerasan berbentuk pemaksaan aborsi pun masih bermunculan. Sejumlah pihak yang menolak menilai bahwa aborsi seharusnya tetap dilarang, tanpa ada klausul pengecualian untuk "yang dipaksa".
Rahayu pun menegaskan bahwa aturan terkait larangan aborsi sudah diatur dalam UU lain. "Loh sekali lagi, ini kan lex specialis, pelarangan aborsi sudah ada di UU lain. Kita tidak tumpang tindih, kita melengkapi. Yang tidak diatur di sini [RUU PKS], bukan berarti lalu terhapus," tegasnya.
Ketua Panja RUU PKS, Marwan Dasopang, pun sempat menyampaikan masalah perdebatan RUU PKS yang masih terus berlangsung dalam internal Panja, ataupun Komisi.
"Memang substansi dari surat dari Ketua MUI Ma'ruf Amin untuk mempertimbangkan nilai agama dalam RUU PKS] itulah yang menjadi perdebatan kita. Jadi tanpa ada surat itu, memang sudah begitu perdebatan di anggota Panja," ujar Marwan kepada reporter Tirto saat dihubungi pada Senin (16/9/2019).
"Iya, saya kesulitan itu menengahkan pendapat-pendapat dari anggota Panja kok sekarang malah semakin jauh. Pusing saya, mbak," lanjutnya.
Kemudian, kata Marwan, pembahasan RUU PKS memang akan ditunda kembali, hingga adanya pengesahan RKUHP. Pasalnya, akan ada perubahan rujukan sejumlah pasal di RUU PKS, untuk mengikuti KUHP yang baru.
Namun, saat ditanyakan mengenai kelanjutan pembahasan RUU PKS di periode selanjutnya, Marwan menyampaikan ia tak bisa menjaminnya.
"Saya belum tahu apakah bisa dibahas, karena begini, kalau pendapat dari fraksi, sekarang bisa ditolak. Kalau sudah ditolak, apakah bisa dilanjutkan? Saya belum tahu," ujar Marwan.
Komisioner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin menilai justru RUU PKS berfungsi untuk memberikan perlindungan pada korban kekerasan seksual, sehingga seharusnya agama apa pun malah mendukungnya.
"Kami justru gak ngerti kenapa ini dibilang melanggar agama saat kita ingin melindungi banyak korban," ujar Mariana kepada reporter Tirto pada Senin (16/9/2019).
Penulis: Hendra Friana & Fadiyah Alaidrus