tirto.id - Pelecehan seksual bisa terjadi pada siapapun baik pria maupun perempuan. Pelecehan seksual juga bisa terjadi dimanapun, seperti sekolah, kantor, tempat umum bahkan tempat ibadah.
Melansir tulisan yang dipublikasikan oleh International Labour Organization pelecehan seksual merupakan bentuk diskriminasi seksual serius yang memengaruhi wibawa perempuan dan laki-laki.
Pelecehan seksual dapat berupa pelecehan verbal, non verbal atau fisik.
Contoh pelecehan seksual yang terjadi akhir-akhir ini adalah kasus teror sperma atau pelemparan sperma yang dilakukan oleh seorang pria terhadap beberapa perempuan di Tasikmalaya, Jawa Barat.
Teror sperma adalah pelecehan seksual!
Aktivis perempuan dan Sekretaris PKBI DIY Gama Triono mengatakan pelemparan sperma adalah pelecehan seksual serius.
Pelemparan sperma adalah perwujudan simbol patriarki, yaitu laki-laki menganggap bahwa kuasa seksualitasnya sebagai adalah simbol seksualitas yang ditujukan untuk merendahkan kelompok lain (perempuan, waria dan laki-laki lain)
“Pelemparan sperma adalah perwujudan simbol tersebut. Bahwa, dengan melemparkan sperma seolah seksualitas laki-laki akan semakin menguat,” ujar Gama.
Apa yang harus dilakukan perempuan saat menghadapi pelecehan seksual?
Dosen psikologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Profesor Koentjoro justru mengatakan bahwa kasus pelemparan sperma yang terjadi di Tasikmalaya bukan lagi pelecehan seksual tetapi sudah masuk pada kekerasan seksual psikologis.
“Kasus pelemparan sperma ini menurut saya bukan lagi pelecehan seksual tapi sudah kekerasan seksual psikologi karena dampak traumatisnya terhadap korban, perempuannya bisa gilo (jijik). Apalagi kalau korbannya masih belum tahu soal masalah seks ini bisa menimbulkan shock,” ujar Koentjoro.
Koentjoro juga mengatakan bahwa kemungkinan besar pelaku memiliki masalah psikologis.
“Menurut saya ini pelaku secara psikologis bermasalah, biasanya tidak punya kepercayaan diri dan berada dilingkungan yang terbatas,” kata Koentjoro.
Koentjoro menambahkan, saat menghadapi masalah pelecehan atau kekerasan seksual psikologis seperti teror sperma, perempuan harus berani bersikap.
“Saat menghadapi kasus begini, perempuan harus berani teriak, karena kalau tidak teriak justru malah bisa jadi beban buat korban,” ujar Koentjoro.
Namun, Koentjoro menambahkan jika korban pelecehan masih terus merasa atau terbayang-bayang soal pelecehan yang ia alami maka sebaiknya korban menghubungi psikolog untuk mengkonsultasikan kondisi yang ia alami.
Editor: Agung DH