tirto.id - Rabu, 6 November 2019, Dekan Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta (FFTV-IKJ), R.B. Armantono, mengeluarkan surat edaran untuk para dosen dan mahasiswa. Surat itu dibikin untuk menyikapi maraknya pelecehan seksual, perundungan, dan intimidasi di lingkungan kampus.
Surat itu mengatur sanksi terhadap pelaku yang tak hanya mahasiswa, melainkan dosen. Sanksinya berupa surat teguran, skorsing atau dikeluarkan (DO) dari FFTV-IKJ. Mekanisme penanganan kasus melalui rapat koordinasi pimpinan dan senat akademik.
Isi surat edaran menjamin korban dapat melaporkan langsung kepada dekan maupun melalui semua wakil dekan; menjamin kerahasiaan, menjaga nama baik, dan memberikan perlindungan kepada pelapor; memastikan pelapor tidak mendapatkan perundungan dan intimidasi dari pihak mana pun; serta memastikan hak korban mengikuti perkuliahan.
Tujuan dari langkah progresif ini demi "mewujudkan suasana perkuliahan yang aman dan nyaman serta terbebas dari rasa takut," demikian isi surat edaran.
Erviana Madalina, salah satu mahasiswa di kampus tersebut, menulis melalui akun Twitter dia (@VianMadalina) bahwa kebijakan itu "momen terbahagia di kampus". Surat edaran itu ditempel di sudut-sudut kampus.
“Sejak lama saya punya kegelisahan besar terhadap ruang yang aman dan ramah bagi gender. Pertengahan Oktober terjadilah suatu kasus pelecehan seksual di kampus saya. Tindakan yang diambil untuk menyelesaikan itu pun tidak optimal. Banyak sekali distraction,” ujarnya.
Baru-baru ini berhasil membuat Dekan Fakultas Film dan TV IKJ mengeluarkan kebijakan, yang kemudian di tempel pada sudut-sudut fakultas. Hari itu, setelah bertemu dekan dan diperlihatkan surat edaran ini saya bahagia sekali. Bisa dikatakan, itu adalah momen terbahagia di Kampus. pic.twitter.com/bdPI02ujfy
— Anomali (@VianMadalina) November 8, 2019
Vian menceritakan usaha dia bersama Badan Eksekutif Mahasiswa IKJ menyusun capaian. Edaran dari Dekanat FFTV itu bukan tujuan utamanya; ia ingin kebijakan juga hadir dari rektorat; ada lembaga khusus di kampus yang berfungsi menangani permasalahan mahasiswa; dan ada buku pedoman atau buku saku SOP mengenai pelecehan seksual.
“Perjalanan masih panjang. Tapi benar ada ‘Gerak aja dulu’. Karena sejatinya dalam lingkungan menjadi kritis saja tidak cukup," tulis Vian. "Kritis dan berani mengambil tindakan solusi adalah yang paling dibutuhkan."
Langkah FFTV IKJ diapresiasi oleh Aliansi Akademisi Indonesia. Juru bicara Aliansi Roy Thaniago berkata kebijakan itu bisa menjadi langkah advokatif bagi korban kekerasan seksual.
“Di tengah kultur kampus yang patriarkis sekaligus bermental perlindungan nama baik ketika menghadapi masalah, apa yang dilakukan IKJ bukan saja melampaui hal-hal usang, tapi gestur empatik dan advokatif bagi korban kekerasan seksual,” ujarnya kepada Tirto.
Roy mendesak kampus-kampus di seluruh Indonesia untuk mengikuti langkah maju FFTV IKJ.
Dukungan yang sama muncul dari aktivis perempuan Ratna Batara Munti dan Komisioner Komnas Perempuan Nina Nurmila, yang mendorong kampus lain untuk mengeluarkan aturan serupa.
“Ini bentuk inisiatif pimpinan kampus yang patut ditiru dan diteladani oleh kampus-kampus yang lain,” ujar Ratna kepada Tirto.
“Saya mengapresiasi apa yang sudah dilakukan FFTV IKJ yang sudah mengeluarkan surat edaran tentang penanganan kasus kekerasan seksual yang berpihak kepada korban dan tidak mentoleransi pelaku untuk melakukan kekerasan seksual dengan memberikan teguran dan penghukuman kepada pelaku,” tutur Nina kepada Tirto.
Pencegahan Kekerasan Seksual di Institusi Pendidikan
Selain FFTV IKJ, Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama telah membuat Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam.
Dalam surat edaran B-3669/DJ.I/Dt.I.III/HM.01/10/2019, Dirjen tak cuma mengatur kebijakan pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual, melainkan juga mendorong layanan pemulihan bagi para korban.
Lewat surat edaran ini, kampus-kampus Islam negeri maupun swasta mampu mengimplementasikan melalui surat keputusan rektor.
“Jadi sudah ada perubahan sikap masyarakat kampus yang dulunya cenderung membungkam suara korban demi nama baik kampus, sekarang kampus-kampus sudah lebih realistis dan berpihak kepada korban," ungkap Nina.
"Jika korban kasus kekerasan seksual dibungkam, pelaku merasa dilindungi dan akan lebih banyak korban kekerasan seksual berjatuhan,” tambahnya.
Kampus lain yang telah melakukan upaya pencegahan kekerasan seksual adalah Universitas Indonesia.
Awal November 2019, UI membuat buku saku “Standar Operasional Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus”. Buku ini digagas oleh Dr. Lidwina Inge Nurtjahyo dan Dr. Saraswati Putri; masing-masing dosen hukum dan ilmu budaya UI yang concern pada kasus-kasus kejahatan seksual.
'Puncak dari Gunung Es'
Hingga kini tak ada satu lembaga pun yang punya data akurat tentang jumlah kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus-kampus di Indonesia. Pemberitaan tentang kasus pelecehan seksual di perguruan tinggi "hanyalah puncak dari gunung es".
Survei daring pada 2016 oleh Lentera Sintas Indonesia dan Magdalene.co serta difasilitasi oleh Change.org Indonesia menemukan 93 persen penyintas kekerasan seksual tidak pernah melaporkan kasusnya ke aparat penegak hukum.
Pada 2017, Badan Pusat Statistik merilis survei nasional: satu dari tiga perempuan pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual selama hidupnya.
Sepanjang 2018, Komnas Perempuan mencatat ada 406.178 kasus kekerasan terhadap perempuan, meningkat dari tahun lalu.
"Kekerasan terhadap perempuan semakin kompleks dan beragam, dengan intensitas yang meningkat, terjadi di lintas ruang, baik di ranah domestik, publik dan negara," catat Komnas Perempuan.
Sebuah studi dari ValueChampion, perusahaan riset bermarkas di Singapura, mendapati Indonesia adalah negara paling berbahaya kedua bagi perempuan di kawasan Asia Pasifik.
Kolaborasi "Nama Baik Kampus"—melibatkan Tirto, The Jakarta Post, dan Vice Indonesia—pada tahun ini menjaring 207 orang memberikan testimoni yang dibuka sepanjang 13 Februari hingga 28 Maret 2019.
Dari 207 testimoni itu, Kolaborasi menemukan ada 174 kasus yang berhubungan dengan institusi perguruan tinggi. Para penyintas yang menulis untuk testimoni tersebar di 29 kota dan berasal dari 79 perguruan tinggi. Mayoritas atau sekitar 88 persen dari total penyintas berasal dari kampus-kampus di Pulau Jawa.
Seluruh 174 penyintas yang menulis testimoni mengalami bentuk-bentuk kekerasan seksual sebagaimana dalam rumusan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, yakni pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
Bentuk kekerasan seksual yang paling sering dialami para penyintas adalah pelecehan seksual. Sebanyak 129 penyintas menyatakan pernah dilecehkan; 30 penyintas mengalami intimidasi bernuansa seksual; dan 13 penyintas menjadi korban pemerkosaan.
Ke-174 penyintas yang bercerita kepada Kolaborasi tentu tidak merepresentasikan jumlah kejadian yang sebenarnya di lapangan.
Hukum pidana di Indonesia masih terbatas mengakomodasi bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan. Aktivis mendesak pemerintah dan DPR segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, yang mangkrak sejak diajukan pada 2016.Sampai DPR periode kemarin berakhir, nasib RUU PKS masih sama: mentok di Senayan, dijadikan subjek penolakan dan bahan disinformasi oleh kalangan konservatif, sementara tuntutan untuk segera disahkan terus menguat dari kelompok-kelompok perempuan, akademisi, dan kalangan agamawan progresif di pelbagai provinsi.
"Kekerasan seksual beragam polanya, dengan modus yang ekstrem dan dampaknya terhadap korban," menurut Komnas Perempuan dalam Catatan Tahunan 2019. "Namun, ia tidak berbanding dengan ketersediaan hukum yang ada di Indonesia."
Penulis: Widia Primastika
Editor: Fahri Salam