tirto.id - Di area pertambangan nikel, terdapat dua lapisan tanah utama yang disebut saprolit dan limonit. Bijih nikel dari lapisan saprolit kerap dianggap paling bernilai. Sementara itu, limonit—yang dulu hanya dianggap sebagai bijih berkadar rendah dan sering menjadi overburden (batuan penutup)—kini berubah status.
Berkat inovasi teknologi High-Pressure Acid Leaching (HPAL), limonit bisa diolah menjadi bahan bernilai tinggi bagi industri hilir nikel. Dari lapisan ini lahir produk seperti mixed hydroxide precipitate (MHP), nikel sulfat, dan kobalt sulfat, yang menjadi bahan baku penting untuk baterai.
Proses pengolahan ini bisa disaksikan di kawasan industri tambang Harita Nickel di Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara. Fasilitas yang bernama High-Pressure Acid Leaching (HPAL) itu muncul sebagai proyek yang bukan sekadar memperbesar kapasitas produksi—tetapi juga menggeser bagaimana nilai ekonomis nikel dipanen di dalam negeri.
Kekuatan utama HPAL adalah kemampuan mengolah limonit—bijih yang secara historis kurang bernilai dibandingkan saprolit—menjadi MHP atau ni-sulfate yang siap masuk rantai pasok baterai. Alih teknologi ini meningkatkan nilai tambah ekspor jauh melampaui nilai jual ore mentah.
“Dengan hadirnya teknologi HPAL ini, kita dapat mengolah limonit menjadi MHP ataupun mixed hydroxide precipitate, nikel sulfat, dan kobalt sulfat,” kata Direktur Health, Safety, and Environment (HSE) Harita Nickel Tonny Gultom kepada wartawan yang mengunjungi kawasan tambang, Agustus 2025 lalu.
Cara produksinya dimulai dengan mencairkan bijih nikel kadar rendah. Bahan baku masih berupa tanah ini dimasukkan ke dalam corong corong oleh ekskavator di area luar pabrik.
Kemudian tanah tadi masuk ke dalam sebuah proses yang dinamakan high pressure acid leaching menggunakan asam sulfat dan steam atau uap bertemperatur tinggi, guna memisahkan kandungan air, tanah dan nikelnya.
Pada tahap ini, produksi masuk ke dalam tabung bernama autoclave. Ini mirip dengan sebuah balon raksasa berbentuk tabung yang menjadi inti dari pemrosesan produk.
Setelah itu, nikel akan masuk ke dalam tahap netralisasi dan pembersihan bahan-bahan yang tidak diperlukan. Di akhir, kita akan melihat proses bernama solvent extraction untuk menghasilkan nikel sulfat dan kobalt sulfat.
Di akhir, proses akan masuk dalam tahapan kristalisasi guna mendapatkan produk akhir yang dijual di pasaran dalam bentuk kristal berwarna. Kobalt sulfat dan nikel sulfat yang berbentuk kristal akan dijual dan kemudian diolah jadi prekursor baterai dan setelahnya katoda baterai.
Kapasitas produksi pabrik ini berdasarkan sejumlah catatan adalah 65 ribu ton kandungan nikel dalam MHP per tahun.
Pada praktiknya Harita melaporkan pertumbuhan pendapatan dan kapasitas produksi yang kuat: penjualan naik 25 persen pada semester pertama 2024 dan produksi MHP meningkat signifikan pada periode-periode berikutnya. Hal ini berarti lebih banyak pendapatan pajak, lapangan kerja di wilayah Obi, dan permintaan jasa logistik/hilir yang menstimulasi ekonomi lokal.
Secara makro, setiap ton MHP atau nikel sulfat yang diekspor menyumbang margin nilai tambah yang jauh lebih besar ketimbang ton bijih mentah. Untuk Indonesia —negara yang berupaya menghindari jebakan ekspor mineral mentah—HPAL adalah alat strategis untuk mewujudkan kenaikan ekspor manufaktur dan hilirisasi industri baterai dalam negeri.
Apa Langkah Selanjutnya dari HPAL?
Lukito Gozali, Head of Investor Relations Harita Nickel mengatakan, saat ini Harita Nickel melalui anak usahanya PT Cipta Kemakmuran Mitra (CKM), tengah membangun pabrik pengolahan kapur tohor (quicklime) di Pulau Obi, Halmahera Selatan. Quicklime ini merupakan bahan penting dalam proses refinery dengan teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL).
“Selama ini kami masih bergantung pada pasokan dari pihak ketiga, sehingga dengan adanya pabrik ini, kami berharap dapat meningkatkan efisiensi dan kemandirian operasional. Pembangunan pabrik quicklime juga merupakan bagian dari komitmen kami dalam memperkuat fasilitas penunjang hilirisasi nikel di kawasan Obi,” jelas Lukito.
Saat ini, teknologi dan operasional HPAL masih didominasi oleh tenaga kerja dari Cina. Karena itu, mulai dari operating system hingga tenaga kerja asal Cina masih diperlukan. Namun pelan-pelan, transfer pengetahuan mulai berjalan.
Lukito mengeklaim bahwa para pekerja Indonesia terlibat aktif lewat pelatihan terstruktur, program magang, sertifikasi kompetensi, dan pengembangan instruktur lokal. Namun, agar transfer knowledge berjalan optimal dan berkelanjutan, dukungan pemerintah sangat dibutuhkan.
“Regulasi yang mewajibkan setiap investasi smelter asal Tiongkok menyertakan program alih teknologi terukur akan memastikan tenaga kerja Indonesia benar-benar menguasai keterampilan dan dapat mengambil peran strategis dalam industri hilirisasi nikel,” tambahnya.
Terkait kebutuhan tenaga kerja, Lukito mengaku masih membutuhkan dukungan. Dia memperinci sejumlah keahlian yang dicari oleh Harita Nickel, terutama dalam bidang teknik kimia, metalurgi, mesin, elektro, serta K3 dan lingkungan.
Selain itu, kemampuan soft skills seperti problem solving, bahasa asing, dan manajemen tim juga penting agar SDM lokal mampu menguasai teknologi dan bersaing di industri hilirisasi nikel. “Harita berkomitmen mendorong kolaborasi dengan dunia pendidikan agar SDM lokal siap menguasai teknologi ini dan menjadi tulang punggung hilirisasi nikel di Indonesia,” ucapnya.
Penulis: Rachmadin Ismail
Editor: Hendra Friana
Masuk tirto.id







































