tirto.id - Presiden Prabowo Subianto, menyatakan Indonesia bisa meluncurkan mobil sendiri dalam waktu tiga tahun lagi. Ia juga mengaku telah menyiapkan anggaran, hingga lahan, untuk memproduksi mobil dalam negeri.
"Saya sudah alokasi dana, sudah kami siapkan lahan untuk pabrik-pabriknya. Sedang bekerja sekarang tim. Kita sudah menghasilkan jip buatan Indonesia [Maung]," kata Prabowo saat rapat sidang kabinet di Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin (20/10/2025) lalu.
Prabowo menyatakan, dirinya dan sejumlah pejabat negara merasa bangga menggunakan Maung. "Pejabat-pejabat kita, perwira-perwira kita, bangga kita tidak pakai jip buatan negara lain, kita pakai jip buatan Indonesia sendiri," ucap dia, di momen yang juga bertepatan dengan satu tahun menjabat sebagai Presiden Indonesia.
Ambisi Prabowo soal mobil nasional atau mobnas ini seturut dengan pernyataan dia jelang pemilihan presiden (pilpres) tahun lalu, bahkan sejak Pilpres 2019 silam. Sebelum menjabat, Prabowo sempat berjanji akan memproduksi mobnas jika dirinya terpilih jadi orang nomor satu di Indonesia.
Hal itu lantaran ia ingin rakyat Indonesia tidak hanya terpaku pada penerimaan upah minimum regional (UMR). Prabowo bilang, kalau dia diberi mandat sebagai kepala negara, maka Indonesia bakal punya mobil buatan Tanah Air sendiri dengan semua barang-barang industri buatan anak-anak Indonesia.
Ambisi ini sepertinya kian mendarah daging. Sebab, pada Pilpres lima tahun sebelumnya—saat Prabowo berhadapan dengan Jokowi—ia juga sempat menjanjikan akan membangun ratusan pabrik baru, salah satunya produksi mobil buatan Indonesia.
“Kita ingin punya mobil buatan Indonesia yang benar-benar buatan Indonesia, bukan mobil etok-etok (bahasa jawa: pura-pura), motor benar-benar buatan Indonesia,” ungkap Prabowo pada 2019.
Seiring dengan Maung Pindad atau Maung Garuda yang kini menjadi mobil dinas pejabat di Kabinet Merah Putih, gairah menyuarakan mobnas pun semakin menyala. Maung Pindad sendiri merupakan kendaraan SUV MV3 Garuda Limousine yang diproduksi PT Pindad (Persero).
Masalahnya, memproduksi mobnas yang bisa diterima masyarakat Indonesia bukan persoalan mudah. Jejak panjang memperlihatkan belum adanya rancangan mobnas yang bertahan lama dan kemudian mengaspal di jalanan Indonesia, sebaliknya, wacana ini justru selalu hadir dengan kontroversi.
Sejak gagasan memproduksi mobnas mencuat di era Orde Baru, sudah berkali-kali asanya dihidupkan hanya untuk kembali dikubur lantaran gagal. Karena itulah, selama puluhan tahun, mobnas seperti benda di atas air, terombang-ambing, timbul dan tenggelam.
Mobil Esemka misalnya, pernah digadang-gadang menjadi mobil nasional seiring melambungnya pamor mantan Presiden, Jokowi. Pengenalan mobil Esemka (singkatan dari Sekolah Menengah Kejuruan) sudah dilakukan Jokowi saat masih menjabat sebagai Wali Kota Solo hingga menjabat sebagai presiden.
Sepanjang 2005 sampai 2012, Jokowi pun menggunakan SUV Esemka bernama Rajawali sebagai mobil dinasnya. Namun, kini Esemka yang awalnya digagas oleh pelajar SMA di Solo, terseret ke pengadilan karena dianggap gagal memenuhi janji produksi massal.
Pada April lalu, Esemka digugat oleh warga Ngoresan, RT01 RW02, Kelurahan Jebres, Kecamatan Jebres, Solo, Jawa Tengah, Aufaa Luqman Re. A., yang mengklaim dirinya dirugikan karena tidak bisa membeli mobil Esemka seperti yang dijanjikan. Ia juga melayangkan gugatan wanprestasi kepada presiden ke-7, Jokowi, dan wakil presiden ke-13, Ma'ruf Amin.
Maung Berpotensi, tapi Bersyarat
Mengenai potensi mobil Maung sebagai kendaraan nasional, Pakar Otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Yannes Martinus Pasaribu, menilai hal itu sangat memungkinkan. Maung berada di persimpangan antara kendaraan taktis militer dan SUV sipil multiguna, sehingga potensi jip itu sebagai kendaraan nasional sangat besar, baik dari sisi strategis, industri, maupun pasar.
Secara strategis, menurut Yannes, Maung sudah memiliki legitimasi tinggi, antara lain dikembangkan oleh PT Pindad di bawah ekosistem Defence Industry Indonesia/DEFEND ID, diuji di berbagai medan ekstrem, dan sudah digunakan oleh TNI serta pejabat negara.
Basis itu disebut sudah memberi keunggulan keamanan, ketahanan, dan citra nasionalisme yang kuat. Kemudian , dari sisi industri, platform Maung generasi MV3 yang modular (ICE, hybrid, hingga electric vehicle/EV) juga membuka peluang besar untuk lokalisasi bertahap.
“Komponen besarnya, seperti rangka ladder frame, bodi baja, sistem suspensi, dan interior sudah bisa dibuat lokal, sementara drivetrain (sistem penggerak) dan ECU [Engine Control Unit] dapat ditingkatkan melalui kolaborasi internasional agar Tingkat Komponen dalam Negeri/TKDN naik sampai dengan 80 persen dalam 3–5 tahun ke depan,” ujar Yannes menjelaskan ke wartawan Tirto, Selasa (21/10/2025).

Tapi sebelum bicara potensi Maung atau pengembangan industri berteknologi menengah maupun maju, yang utama harus ada yakni pembangunan sumber daya manusia terlebih dahulu. Peneliti dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, memandang, tanpa pembangunan SDM yang mumpuni, mobil nasional hanya kembali jadi angan-angan.
Tanpa pembangunan SDM, mobnas akan jadi semacam “rutinitas” seorang presiden baru. Seperti halnya Jokowi ketika bertarung dalam pemilihan RI 1 yang ingin membuat mobnas Esemka.
“Saat ini pun nampaknya semangat mobnas menggelora lagi, setelah kemarin Maung buatan Pindad ingin menjadi mobil nasional setelah menjadi mobil dinas. Tentu kita setuju dengan semangat membuat mobil nasional sendiri yang bisa kita gunakan. Bagaimanapun juga keberadaan mobil nasional bisa mem-boosting perekonomian,” ucap Huda kepada jurnalis Tirto, Selasa (21/10/2025)
Namun demikian, ia beranggapan harusnya ada transfer teknologi ketika ada pabrik mobil yang dibangun di Indonesia. Langkah awalnya adalah bekerja sama dengan pihak produsen mobil untuk menancapkan pondasi mobil nasional.
“Keberhasilan Proton (mobil lokal Malaysia) ini tidak lepas dari transfer teknologi mobil impor. Setelah adanya transfer teknologi, mereka bisa bikin merek mobil lokal sendiri. Indonesia juga dulu pernah melakukan hal serupa dengan meluncurkan mobil Timor,” ujar Huda.

Mobnas Timor merupakan proyek yang digawangi Tommy Soeharto, anak Presiden Soeharto. Soeharto lebih dulu menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1996 tentang Pembangunan Industri Mobil Nasional.
Lewat Kepres Nomor 42/1996, pemerintah memutuskan mendanai PT Timor Putra Nasional alias PT TPN untuk merintis mobnas. PT TPN juga diizinkan mengimpor mobil utuh dari Korea Selatan tanpa bea masuk.
Meski diklaim sebagai mobil nasional, Mobil Timor sejatinya adalah KIA Sephia. Mobil itu diproduksi oleh KIA yang berasal dari Korea Selatan. Setelah masuk ke Tanah Air, mobil itu kemudaian rebadge, atau cuman diganti lambangnya.
Proyek itu pun berakhir tragis, karena PT TPN digugat Jepang, Amerika Serikat, hingga Uni Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
“[Saat itu] kerja sama dengan KIA asal Korsel. Namun apakah kuat? Ternyata tidak juga, ada persaingan dengan merek mobil lainnya yang sudah terlebih dahulu ada di dalam negeri. Sedangkan mobil-mobil lain nampaknya enggan melakukan transfer teknologi karena bisa mempengaruhi bisnis mereka. Toh di sini mereka sudah sangat dominan,” ucap Huda.
Dia berpendapat transfer teknologi harusnya menjadi dasar yang kuat untuk membuat mobnas dengan skema kerja sama pihak swasta. Harus ada jaminan transfer teknologi dan Indonesia bisa bikin mobnas sendiri secara pribadi. Jika tidak, swasta tersebut yang akan untung diberi label mobil nasional tapi ternyata buatan luar negeri.
Jangan Sekadar Jadi Simbol Baru
Agar Maung tak bernasib gaib seperti Esemka, kuncinya jelas yakni disiplin yang ketat dan terkontrol berbasis waktu dengan target pada mutu dan kecepatan produksi di sisi eksekusi.
Yannes, Pakar Otomotif ITB mengatakan, ketimbang sekadar membangun simbol baru, apalagi mengganti label saja (rebadging), Maung harus melakukan alih teknologi nyata melalui kemitraan global yang juga melibatkan insinyur lokal dalam riset dan pengembangan inti teknologinya.
Untuk itu, yang utama sebelum berproduksi harus sudah jelas permintaan pasti pasar dan mesti memperkuat dasar hitungan yang kredibel terhadap mandat pengadaan pemerintah/TNI-Polri multi-tahun sebagai jangkar volume produksi demi mencapai skala keekonomian tahap awal.
“Jalankan TKDN bertahap realistis dengan join venture dan transfer teknologi—bukan rebadge—fokus pada rangka, bodi, suspensi, lalu powertrain dan ECU. Lalu perkuat kualitas dan keselamatan. Di sini, Maung harus berani mengikuti homologasi UNECE/NCAP, menjalankan uji durabilitas ribuan kilometer secara transparan dan diekspos ke media besar, lalu memastikan garansi dan suku cadang yang tersedia di semua jejaring distribusi parts nasional,” kata Yannes.
UNECE atau United Nations Economic Commission for Europe sendiri adalah badan regulasi yang mengembangkan standar keselamatan kendaraan global. Sementara NCAP merusuk ke New Car Assessment Program, sebuah sistem organisasi independen yang melakukan uji tabrak (crash test) dan menilai mobil berdasarkan standar tersebut untuk memberikan informasi kepada konsumen.

Tak cuman itu, menurut Yannes, Maung pun perlu memastikan layanan purnajual mulai dari jaringan bengkel, pelatihan teknisi, dan logistik suku cadang. Akan tetapi yang menjadi bagian menantang adalah mengatur harga dan total biaya kepemilikan yang tetap kompetitif.
“Intinya, harus menghindari strategi lama seperti over-promising prototype, politisasi berlebihan, serta ketergantungan impor kritikal tanpa rencana substitusi yang konkret, realistis, dan bisa dilakukan,” ucapnya.
Menurut dia, ini semua membutuhkan dukungan kuat dari Danatara sebagai motor pembiayaan. Selain itu berbagai instansi pemerintah perlu terlibat terkait insentif fiskal, regulasi peta jalan dan baterai lokal, serta infrastruktur uji dan kawasan industrinya.
Secara umum, Yannes berpendapat, visi Indonesia memproduksi mobil nasional dalam tiga tahun akan realistis jika benar-benar dijalankan melalui strategi kolaboratif dan terukur dengan kontrol berbasis waktu dan kontrol kualitas yang ketat.
Langkah yang bisa diambil mulai dari membentuk konsorsium pelaku industri yang melibatkan eks BUMN sehat yang prospektif yang akan dikelola Danantara, swasta kelas dunia yang siap gabung dalam konsorsium yang dibuat, dan PTN teknologi terkuat yang ada di Indonesia untuk mengintegrasikan desain, manufaktur, dan riset.
“Kolaborasi internasional dijalankan berbasis transfer teknologi yang berorientasi lokalisasi proses, bukan sekadar perakitan CKD (Completely Knocked Down) seperti yang ada banyak saat ini,” kata Yannes.
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id


































