tirto.id - Tunki Ariwibowo, Menteri Perindustrian dan Perdagangan 1993-1998, tampak kikuk ketika sejumlah wartawan yang mencegatnya langsung mengajukan pertanyaan tentang Inpres yang kabarnya akan dikeluarkan Presiden Soeharto mengenai industri otomotif.
“Sabar dululah, kalau sudah jelas semua pasti akan saya jelaskan pada saudara,” ujarnya di gedung Menperindag seperti dilansir Harian Kompas pada 27 Februari 1996.
Banyak kalangan saat itu yang penasaran dengan hasil rapat tertutup antara pemerintah dengan Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), sejumlah direktur otomotif, dan beberapa agen tunggal pemegang merek (ATPM) mobil Jepang. Pasalnya rapat tersebut tidak melibatkan kalangan ATPM mobil Korea yang kala itu justru marak di Indonesia.
Keesokan harinya, Inpres No.2/1996 itu dirilis ke publik yang isinya menunjuk PT. Timor Putra Nasional (TPN) sebagai satu-satunya perusahaan yang memenuhi kriteria untuk menjadi “pionir” dalam industri kendaraan nasional. Perusahaan milik Hutomo Mandala Putra itu juga difasilitasi pembebasan pajak penjualan barang mewah (PPnBM), termasuk pembebasan bea masuk komponen yang belum diproduksi di Indonesia.
Banyak protes dan reaksi yang akhirnya menimbulkan polemik. Mulai dari para ATPM, Kadin, para pelaku otomotif, hingga anggota DPR. Mereka menilai kebijakan tersebut tidak adil dan diskriminatif.
“Berkaitan dengan itu, maka perlu ada keputusan yang jelas baik dari industriawan nasional maupun pemerintah untuk mengarahkan industri otomotif nasional yang mandiri dan berakar kuat,” tutur Ketua Umum Kadin saat itu, Abu Rizal Bakrie.
Beberapa perusahaan juga menyanggupi kesiapan memproduksi mobil nasional asal punya akses dan fasilitas yang sama dengan PT. TPN. Pada 7 Maret 1996, Tunki Ariwibowo merespons berbagai keluhan para pelaku industri otomotif dengan menyatakan bahwa peraturan mengenai mobil nasional sangat terbuka bagi siapa saja, asal memenuhi syarat. Ia bersikukuh bahwa saat ini hanya PT. PTN yang memenuhi kriteria tersebut.
Beberapa hari kemudian Jepang melakukan peninjauan mengenai kebijakan mobil nasional Indonesia. Mereka akan melaporkannya ke organisasi perdagangan dunia, WTO, jika ada regulasi yang dilanggar Indonesia.
Langkah serupa juga dilakukan Komisi Uni Eropa dan Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) yang menyayangkan kebijakan Pemerintah Indonesia.
Meski menuai kecaman, PT. TPN berhasil meluncurkan mobil perdananya pada 8 Juli 1996 yang diberi nama Timor sebagai akronim dari Tenaga/Teknologi Industri Mobil Rakyat. Bekerja sama dengan KIA Motors dari Korea Selatan sebagai mitra, sedan dengan tipe S515 tersebut diperkenalkan di Pusat Perbelanjaan Sarinah, Jakarta.
Timor kemudian terus mengeluarkan varian mobil lainnya dan sempat menjadi harapan terwujudnya mobil nasional yang sudah lama diidam-idamkan. Apalagi pada 24 Juli 1996, Bimantara Nenggala juga meluncur ke publik yang dimotori Bambang Trihatmodjo, putra ketiga Soeharto.
Namun, kedua mobil ini lebih banyak mengandalkan komponen impor dan akhirnya kandas akibat krisis moneter 1998 serta tekanan dari WTO.
Bermula dari Kerja sama Indonesia-Jepang
Proyek mobil nasional merupakan inisiatif Pemerintah Indonesia untuk menciptakan kendaraan bermotor yang diproduksi secara lokal guna meningkatkan industri otomotif dalam negeri, mengurangi ketergantungan pada impor, dan menciptakan lapangan kerja.
Pada 1974, Presiden Soeharto mengeluarkan Surat Keputusan (SK) yang melarang impor kendaraan utuh (completely built up), khususnya mobil sedan. Hanya para ATPM yang diizinkan melakukan impor kendaraan dalam bentuk rakitan atau completely knocked down (CKD). Tujuannya untuk kemajuan industri otomotif dalam negeri.
Toyota dari Jepang yang sejak 1971 sudah melakukan investasi di Indonesia kemudian melakukan pembuatan mobil dan perakitan yang semuanya dilakukan di Indonesia. Bermitra dengan PT. Astra Internasional, Toyota Kijang berhasil diluncurkan ke pasaran pada Arena Pekan Raya Jakarta 1977 dan berhasil terjual sekitar 1.168 unit dan terus mengalami peningkatan pada tahun-tahun berikutnya.
Masa keemasan Toyota Kijang ada di generasi ketiga yang mulai diproduksi tahun 1986 hingga 1997. Mobil ini menjadi simbol industri otomotif lokal. Dari sisi desain dan ketangguhan mesin, mobil ini memiliki keunggulan dibandingkan varian-varian sebelumnya. Versi Deluxe dianggap paling banyak diminati oleh pencinta otomotif karena berbagai perubahan di dasbor, lampu, maupun power steering dan jendela.
SK yang diumumkan Soeharto selain pelarangan impor, juga mengacu pada pemberian intensif untuk kendaraan niaga murah berbasis lokal yang kemudian berkembang menjadi Kendaraan Bermotor Niaga Serbaguna (KBNS).
Probosutedjo (adik Soeharto) yang saat itu bertindak sebagai ATPM General Motors meresponsnya dengan peluncuran mobil Morina (Mobil Rakyat Indonesia) pada 11 Juni 1976 untuk menyaingi Toyota Kijang. Meski komponennya 60 persen buatan lokal, namun kendaraan ini hanya bertahan lima tahun karena kurang diminati sehingga kalah saing.
Upaya memproduksi mobil nasional terus dilakukan dari pertengahan 1970-an hingga akhir 1990-an, baik dengan rebadge, maupun dengan produksi dan merakit sendiri, namun seluruhnya belum ada yang sampai 100 persen murni komponen lokal.
Beberapa proyek kendaraan yang muncul pada masa ini antara lain VW Mitra (1976-1979), Datsun Sena (1977-1981), dan Holden Lincah (1980-1989).
Mobil nasional memiliki berbagai kendala seperti keterbatasan teknologi, skala ekonomi yang belum mencukupi, dan regulasi yang belum kondusif menghambat perkembangannya.
Pengembangan teknologi otomotif membutuhkan investasi yang sangat besar dan waktu yang lama. Indonesia masih tertinggal dalam hal riset dan pengembangan teknologi otomotif dibandingkan negara-negara maju.
Industri otomotif juga membutuhkan produksi dalam skala besar untuk mencapai efisiensi biaya. Dengan pasar otomotif yang masih relatif kecil, kita cukup kesulitan mencapai skala ekonomi tersebut.
Terlebih dengan kebijakan pemerintah yang sering berubah-ubah dan tidak konsisten juga menjadi penghambat mengapa kendaraan nasional sulit terwujud.
Impian yang Tak Mudah
Pada tahun 1990-an, selain produksi Timor dan Bimantara, Indonesia kembali mencoba membuat mobil nasional dengan meluncurkan MR 90 dan Beta 97, kendaraan sedan dan MPV yang sempat diproduksi ini tidak berlanjut akibat krisis moneter 1998.
Memasuki awal tahun 2000, Texmaco Macan dan Perkasa diluncurkan PT. Texmaco yang menggandeng Mercedez-Benz sebagai mobil nasional minibus dan truk yang sempat terjual 2.000 unit pada tahun 2002. Sayangnya harus terhenti akibat bangkrutnya perusahaan yang terjerat utang sebesar 29,04 triliun rupiah.
Lalu muncul Kancil yang diharapkan sebagai pengganti bajaj dan bemo di Jakarta. Kendaraaan micro car ini juga dianggap gagal di pasaran karena model yang tidak diminati masyarakat. Hal serupa juga terjadi di Jawa Tengah dengan peluncuran mobil empat penumpang yang disebut Arina.
Dalam Mimpi Mobil Nasional: Esemka (2019:21), pengamat otomotif Suhari Sargo menyebut keseriusan pemerintah dipertanyakan dalam proyek mobil nasional.
“Kenapa? Inilah yang harus ditanyakan alasannya proyek itu tak kunjung terealisasi,” ujarnya.
Kemunculan Esemka, mobil buatan siswa-siswi SMK, sempat menjadi sorotan dan harapan baru pada peluncuran pertamanya tahun 2009. Kendaraan dengan Low Cost Green Car (LGCC) ini mengantongi sertifikat lolos uji tipe kendaraan dan uji emisi pada 10 November 2012.
Namun, hingga kini produksi massalnya belum terwujud.
Dan baru-baru ini, kehadiran Maung Pindad atau Maung Garuda sebagai mobil nasional kembali membangkitkan optimisme akan potensi industri otomotif dalam negeri. Dengan dukungan penuh dari pemerintah dan pelaku industri, diharapkan Maung Garuda mampu menjadi tonggak baru dalam upaya menciptakan mobil produksi dalam negeri yang mampu bersaing di pasar global.
Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk meningkatkan kapasitas industri dalam negeri, termasuk sektor otomotif, dengan menjadikan mobil Maung Garuda sebagai kendaraan dinas penyelenggara negara dalam Kabinet Merah Putih.
Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, mengatakan pengadaan mobil dinas Maung Garuda untuk menteri dan kepala lembaga akan dilakukan secara berkala sesuai dengan kemampuan produksi PT Pindad.
Kebijakan ini sejalan dengan teori legitimasi dalam kebijakan publik yang menekankan pentingnya dukungan masyarakat terhadap produk lokal serta memperhatikan aspek lingkungan dan sosial dalam pengembangan industri otomotif.
Tantangan yang dihadapi Maung Garuda sebagaimana mobil nasional pendahulunya tidaklah mudah. Dalam menghadapi persaingan global, kualitas dan inovasi menjadi kunci utama. Industri otomotif global terus mengalami perkembangan pesat, sehingga Maung Garuda harus mampu menyesuaikan diri dengan standar internasional serta menghadirkan fitur-fitur inovatif yang mampu menarik minat konsumen.
Dengan segala kompleksitas yang dihadapi, upaya untuk memiliki mobil produksi dalam negeri tetap menjadi tujuan yang sangat penting bagi Indonesia. Bila Maung Garuda sukses sebagai mobil nasional, maka akan menjadi cermin dari kemampuan Indonesia dalam bersaing di pasar otomotif global.
Melalui insentif fiskal, kampanye kesadaran masyarakat, pengembangan infrastruktur, dan kemitraan dengan sektor swasta, pemerintah dapat menggiatkan kembali euforia produksi mobil nasional untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan kemandirian industri otomotif Indonesia.
Beberapa negara seperti Korea Selatan dan Malaysia berhasil mengembangkan industri otomotifnya. Indonesia dapat belajar dari keberhasilan mereka.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi