Menuju konten utama

Mobnas Rasa Korea dan Persaingan Tommy Versus Bambang Tri

Sejak 1995, mobil keluaran Korea mulai memasuki pasar Indonesia, antara lain Hyundai, Daewoo, dan KIA. Namun, mobil Korea masih sering dipandang sebelah mata. Titik cerah didapat melalui skema mobnas yang digagas Tommy Soeharto.

Mobnas Rasa Korea dan Persaingan Tommy Versus Bambang Tri
Mobil KIA All New Sportage dipamerkan saat acara GAIKINDO Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2016,di Indonesia Convention Exibition (ICE) BSD City Tangerang. TIRTO/Andrey Gromico

tirto.id - Wajah Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto sumringah, senyumnya tersungging lebar. Tangan kanannya mengacungkan jempol tanda puas—dalam sebuah seremoni di pelataran Pusat Perbelanjaan Sarinah, Jakarta Pusat yang mendadak ramai dengan kehadiran mobil sedan berwarna kecoklatan bertuliskan Timor.

Tommy tak sendirian, dua orang mengapitnya. Mereka adalah Tunky Ariwibowo yang kala itu menjabat menteri perindustrian dan perdagangan, juga sosok Sanyoto Sastrowardoyo, selaku menteri negara penggerak investasi. Mereka bertiga sedang meresmikan peluncuran Mobil Timor pada 8 Juli 1996 silam.

Kegembiraan Tommy kala itu seakan telah menghapus awan mendung yang menghinggapinya. Keluarga cendana tengah berduka setelah kematian Tien Soeharto yang berjeda kurang lebih dua bulan sebelum acara seremoni meriah itu. Semenjak kematian Ibu Tien, kabar-kabar tidak sedap muncul— dikaitkan dengan perseteruan antar kedua putra Soeharto.

Sejarawan M.C. Ricklefs dalam “Sejarah Indonesia Modern 1200-2008” mengisahkan sebuah rumor yang beredar selama beberapa tahun pasca kematian Ibu Tien. Rumor yang berkebalikan 180 derajat dengan informasi umum bahwa Ibu Tien meninggal mendadak akibat serangan jantung 28 April 1996.

“Selama bertahun-tahun beredar rumor bahwa Ibu Tien secara tidak sengaja tertembak ketika dua putranya terlibat baku tembak satu sama lain karena memperebutkan uang. Cerita ini, entah benar atau tidak, mencerminkan kebusukan dalam jantung rezim, karena rakyat Indonesia bisa membayangkan bahwa cerita itu memang terjadi.” (Ricklefs:683)

Ricklefs menjabarkan masa-masa itu merupakan periode mulai adanya perpecahan rezim Soeharto, di sisi lain, enam anak Soeharto sedang banyak memanfaatkan kesempatan atau peluang—Ricklefs menggunakan istilah rakus. Ia menyebut Ibu Tien sebagai sosok yang berperan sebagai filter antara Soeharto dengan anak-anaknya sehingga bisa mengatasi soal kerakusan anak-anaknya.

Soeharto memberikan izin impor 45.000 unit mobil Timor pada 1996 untuk memuluskan ide pengembangan mobil nasional yang dikomandoi oleh si bungsu, Tommy Soeharto di bawah bendara PT Timor Putra Nasional yang mendapat penunjukan langsung—di bawah Grup Humpuss.

Sedangkan Bambang Trihatmodjo juga sedang sibuk menyiapkan mobil Bimantara Nanggala dan Cakra yang digadang-gadang sebagai mobnas juga, pada kenyataannya adalah Hyundai Accent. Persaingan kedua anak presiden pada waktu itu tak bisa dihindari.

Tempo edisi 11 Juli 1996 dengan judul “Mobil Nasional Buatan Korea Selatan?” secara gamblang menceritakan soal spekulasi Tommy melakukan peluncuran Timor sekitar dua bulan lebih cepat dari jadwal semula September 1996, karena kekhawatiran kalah cepat dengan Bambang. Meskipun pada peluncuran Timor, mobil itu masih dalam proses pembuatan di Korsel alias konsumen masih sebatas memesan saja.

Memperebutkan status sebagai mobnas tentu bukan tanpa alasan. Timor dengan segala fasilitasnya seperti bebas pajak impor komponen dan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) sangat diuntungkan. Segala kemudahan ini tentu menekan harga jual dari Timor, di sisi lain potensi penerimaan negara dari pajak berkurang.

Infografik Perjalanan Mobil Korea di Indonesia

Dengan segala kemudahan fasilitas dan insentif, harga mobil Timor kala itu sangat super murah. James Luhulima dalam Sejarah Mobil dan Kisah Kehadiran Mobil di Negeri Ini (2012), mencatat harga mobil Timor atau KIA Sephia dibanderol hanya Rp37 juta on the road. Harga yang sangat murah dibandingkan dengan harga Toyota Starlet Rp48,4 juta, atau jauh terpaut dengan sedan Corolla Rp76,35 juta lansiran dari Toyota. Sedangkan Bimantara Cakra yang sama-sama mobil Korea harganya dipatok Rp39,9 juta pada waktu itu.

Pihak Jepang yang sudah lama merintis investasi otomotif Indonesia sejak 1970-an sempat dibuat khawatir hingga akhirnya mengadu ke World Trade Organization (WTO). Pada 1996, Jepang sempat melayangkan protes ke WTO. Indonesia dianggap melanggar ketentuan General Agreements on Tariff and Trade (GATT) atau kaidah perdagangan bebas.

Kebijakan Soeharto dianggap hanya menguntungkan salah satu negara yaitu Korea Selatan. Pada 22 April 1998, Dispute Settlement Body WTO memutuskan bahwa program mobnas Indonesia melanggar asas perdagangan bebas. Keputusan itu hanya berselang sebulan sebelum Soeharto lengser pada 21 Mei 1998. Krisis ekonomi saat itu kemudian membuat nasib mobil Timor tak jelas lagi.

Namun, Ricklefs lebih melihatnya kerjasama Tommy dan KIA sebagai skandal bisnis keluarga Soeharto. Gagasan membangun industri mobil di dalam negeri dengan kandungan komponen lokal pada kenyataannya tak pernah kesampaian dan hanya sebuah jurus tipu-tipu belaka.

“Namun segera ketahuan bahwa usaha bersama ini sama sekali tidak akan membuat mobil nasional di Indonesia. Malah, mobil itu jadi buatan KIA sepenuhnya yang diberi label mobil nasional, sehingga mampu terhindar dari segala pajak dan bea masuk serta mendatangkan keuntungan besar bagi kedua belah pihak.” (Ricklefs : 684)

Baca juga artikel terkait MOBIL atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Otomotif
Reporter: Suhendra
Penulis: Suhendra
Editor: Suhendra