tirto.id - Calon presiden nomor urut dua, Prabowo Subianto, berjanji akan memproduksi mobil nasional (mobnas) jika terpilih menjadi presiden. Keinginan tersebut bukan tanpa dasar. Prabowo ingi agar rakyat Indonesia tidak hanya terpaku pada penerimaan upah minimum regional (UMR), tetapi harus lebih dari itu.
“Saya sudah menyatakan kalau kami diberi mandat, maka Indonesia akan punya mobil buatan Indonesia sendiri, motor buatan Indonesia sendiri, semua barang-barang industri buatan anak-anak Indonesia,” kata Prabowo beberapa waktu lalu, seperti dikutip Antara.
Keinginan Prabowo memproduksi mobnas juga dikemukakan saat dialog terbuka bersama Pengurus Pusat Muhammadiyah. Prabowo menyampaikan keinginannya mewujudkan mobil nasional sejalan dengan program hilirisasi tambang yang dilakukan Presiden Joko Widodo.
Menteri Pertahanan itu mengatakan, Indonesia di masa mendatang bisa menjadi produsen mobil listrik terkemuka di dunia karena menguasai cadangan nikel yang besar.
“Nanti kita akan bikin mobil-mobil buatan Indonesia dari listrik. Kita tak mau hanya jadi pasarnya orang lain,” ucap Prabowo.
Jika ditarik jauh ke belakang, pada Pilpres 2019 saat Prabowo berhadapan dengan Jokowi, ia juga sempat menjanjikan akan membangun ratusan pabrik baru. Salah satunya produksi mobil buatan Indonesia.
“Kita ingin punya mobil buatan Indonesia yang benar-benar buatan Indonesia, bukan mobil etok-etok (bahasa jawa: pura-pura), motor benar-benar buatan Indonesia,” kata Prabowo pada 2019.
Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Grace Natalie, mengatakan keinginan Prabowo dalam membangun mobnas akan dilakukan secara bertahap bila terpilih. Keinginan Prabowo tersebut, diklaim Grace, menjadi langkah awal melanjutkan dan memperluas hilirisasi.
“[Kita lakukan] Bertahap. Ini lebih ke mobil listrik,” kata Grace kepada reporter Tirto, Selasa (28/11/2023).
Istilah mobnas sebenarnya mulai populer pada 1990-an, seiring hadirnya beberapa konsep mobil rakitan sendiri di Tanah Air ketika itu. Sedangkan cita-cita Indonesia memproduksi mobil sendiri telah dikembangkan sejak era Presiden Sukarno. Dirintis dengan mendirikan PT Industri Mobil Indonesia atau Imindo, kerja sama pemerintah dan swasta pada 1961.
Indonesia sebenarnya juga sempat memiliki beberapa model mobil nasional. Misalnya Morina (Mobil Rakyat Indonesia) pada zaman Sukarno, hingga Esemka di era Jokowi kala itu.
Sejarah Esemka terkait dengan Jokowi lantaran pernah digunakan sebagai mobil dinas saat menjabat Wali Kota Solo. Kini, usai sempat ditinggalkan Jokowi, Esemka hadir kembali, namun bukan sebagai mobil buatan anak bangsa.
Jokowi yang masih menjabat Wali Kota Solo kala itu memilih produk Esemka sebagai mobil dinasnya. Dia menggunakan mobil berjenis Sport Utility Vehicle (SUV) bertajuk Esemka Rajawali.
Esemka lantas digadang-gadang bakal menjadi mobil nasional seiring melambungnya pamor Jokowi. Namun, setelah Jokowi hijrah ke ibu kota lantaran terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta hingga terpilih sebagai presiden pada Pemilu 2014, gaung Esemka malah kian melemah.
Peluang Terbuka & Sejumlah Tantangan
Pengamat otomotif dan akademisi Institut Teknologi Bandung (ITB), Yannes Martinus Pasaribu, mengatakan secara umum membangun industri kendaraan atau mobil sendiri di Indonesia, khususnya mobil listrik, merupakan hal yang memungkinkan. Terlebih Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah, termasuk nikel, kobalt, dan litium, yang merupakan bahan baku utama untuk baterai kendaraan listrik.
“Indonesia memiliki pasar domestik otomotif terbesar di ASEAN, sehingga potensi permintaan lokal sangat besar,” kata Yannes kepada Tirto, Selasa (28/11/2023).
Menurut dia, sejumlah universitas di Indonesia saat ini memiliki program studi desain produk industri, teknik otomotif dan manufaktur, untuk menyiapkan SDM di bidang ini. Ini menjadi modal awal jika kemudian, Prabowo mau membangun produksi mobil nasional.
“Kemudian, kemajuan teknologi manufacturing saat ini juga memungkinkan untuk melakukan produksi skala efisien. Teknologi digital dan otomasi juga bisa mengurangi ketergantungan pada SDM," kata dia.
Namun, ada beberapa tantangan yang perlu dihadapi untuk mewujudkan hal tersebut. Pertama, minimnya pengalaman dan kemampuan teknis produksi skala masal. Hal ini, karena selama ini Indonesia hanya menjadi pasar bukan produsen.
Kedua, sulitnya akses terhadap teknologi mutakhir dan lisensi produk yang biasanya dikuasai perusahaan besar global. Ketiga, butuh investasi besar jangka panjang dan kerja sama teknologi dengan industri-industri komponen dan juga brand-brand kuat otomotif.
Lalu, keempat persaingan merek global yang sudah mapan sangatlah kompetitif dan melibatkan banyak pimpinan negara. Sehingga wacana start-up industri otomotif yang akan dibangun harus bersaing dengan merek-merek global tersebut di dalam pasar Indonesia sendiri.
“Jika tantangan-tantangan tersebut dapat diatasi, maka pembangunan industri kendaraan atau mobil di Indonesia akan menjadi lebih masuk akal, dan bukan sekadar wacana politik saja," kata dia.
Perlu diingat juga, kata Yannes, selera pasar untuk otomotif di dalam negeri itu tidak ada kaitannya dengan nasionalisme. Jadi, produk otomotif Indonesia harus berkualitas, baik desain maupun teknologi sehingga bisa bersaing.
Untuk itu, diperlukan modal kerja yang sangat besar dan dukungan kebijakan hingga implementasi ke retail-nya secara jangka panjang yang mendukung, investasi dalam riset dan pengembangan produk, pendidikan dan pelatihan SDM, serta kerja sama dengan perusahaan otomotif besar internasional untuk mentransfer teknologi dan pengalaman.
“Secara operasional, pemerintah (nantinya) perlu memberikan dukungan yang kuat, baik dari segi regulasi, pembiayaan, maupun promosi,” kata dia.
Tidak hanya itu, menurut dia, pemerintah juga perlu meningkatkan kapasitas SDM dan teknologi di bidang otomotif melalui pendidikan dan pelatihan, serta kerja sama dengan mitra internasional. Pemerintah juga perlu mengembangkan industri pendukung, seperti industri baterai, komponen, dan berbagai suku cadang primer tier 2, 3 dan 4 otomotif.
“Hal ini akan membantu mengurangi ketergantungan Indonesia pada impor," jelas dia
Pemerintah, lanjut Yannes, juga harus menerapkan kebijakan yang tepat untuk mendukung pengembangan industri kendaraan atau mobil. Kebijakan tersebut dapat berupa insentif fiskal, tarif impor, dan regulasi. Tanpa melanggar kesepakatan-kesepakatan internasional perdagangan bebas yang sudah diratifikasinya.
Dinilai Sulit Produksi Mobil Sendiri
Di sisi lain, pengamat Otomotif, Bebin Djuana, menilai impian Prabowo memproduksi mobil nasional sulit diwujudkan karena di Tanah Air masih minim teknologi, modal, hingga pemasaran.
“Tidak mudah produksi mobil, terkait teknologi, modal, design hingga pemasaran," ungkap Bebin kepada Tirto, Selasa (28/11/2023).
Dia menuturkan dari sektor teknologi masih belum mumpuni. Tidak hanya itu, dia juga menyinggung soal sulitnya mendapatkan investor menjadi salah satu faktor sulitnya memproduksi mobil di tanah air.
“Teknologi mau bersandar pada merk apa? Seberapa jauh merk tersebut mau berikan? Konsorsium mana yang mau back up, perlu diingat ini investasi jangka panjang, design termasuk kunci sukses," ujar Bebin.
Sementara itu, dia menuturkan, Indonesia perlu memperbaiki pasar domestik agar bisa bersaing dengan produk luar negeri.
“Pasar domestik memang besar, tapi sudah terlanjur dimanjakan dengan kehadiran multi brand, apakah pemerintah mau bebaskan pajak bagi produk tersebut sehingga bisa menjadi mobil sejuta umat,” kata dia mempertanyakan.
Bebin menambahkan, “Bukan dengan sistem proteksi yang membebani pajak besar bagi merk-merk yang sudah eksis dan merk pendatang baru.”
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz