Menuju konten utama

Mimpi Mobil Nasional: Angan Panjang Perlu Rencana Matang

Presiden Prabowo seharusnya belajar dari pengalaman kegagalan proyek-proyek mobnas terdahulu.

Mimpi Mobil Nasional: Angan Panjang Perlu Rencana Matang
Presiden Prabowo Subianto melambaikan tangan saat memasuki Istana Merdeka untuk mengikuti pisah sambut di Jakarta, Minggu (20/10/2024). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/wpa.

tirto.id - Mimpi Indonesia memiliki mobil nasional (mobnas) kembali digaungkan. Kini oleh Kementerian Perindustrian dalam Indonesia International Motor Show (IIMS) 2025 di JIExpo Kemayoran, Jakarta. Saat menghadiri acara itu pada Kamis (13/2/2025) lalu, Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita, mengungkap bahwa pemerintah tengah menggodok rencana untuk mengembangkan mobnas baru dengan menggandeng industri swasta.

Salah satu perusahaan yang menyatakan siap merapat menggarap proyek mobnas adalah Polytron. Pun masih ada beberapa perusahaan lain yang menyatakan keseriusannya untuk terlibat dalam pengembangan mobil nasional.

Terkait dengan konsep mobnas terbaru, Agus menjelaskan bahwa beberapa komponen mobil tersebut mungkin tidak sepenuhnya dibuat di dalam negeri.

Kendati begitu, dia memastikan standartingkat kandungan dalam negeri (TKDN) akan diterapkan sebagai syarat dalam proyek mobnas tersebut. Sebab, menurut Agus, memang tidak ada satu pun sektor industri yang komponen seluruhnya berasal dari dalam negeri.

Mobil nasional sekarang kami sedang bahas bersama pabrikan, bahkan tadi ada sebuah pabrikan yang sudah menyampaikan kepada saya, mereka punya konsep untuk membangun mobil nasional, dan saya sekarang sedang tunggu,” kata Agus sebagaimana dikutip Antara.

Gairah membuat mobnas juga melambung seiring keinginan Presiden Prabowo Subianto meminta Maung Pindad atau Maung Garuda menjadi mobil dinas pejabat di Kabinet Merah Putih. Mobil produksi PT Pindad itu memang rajin digunakan Prabowo dalam beberapa kesempatan. Bahkan, dia menggunakannya ketika dilantik sebagai Presiden RI tahun lalu.

Mimpi Prabowo memproduksi mobnas Indonesia sebetulnya telah bergema sejak Pilpres 2014. Ketika itu, dia ingin menghidupkan kembali mobnas Maleo. Hal serupa dia gaungkan lagi pada Pilpres 2019. Pada Pilpres 2024, Prabowo juga tetap konsisten menyampaikan mimpi itu dalam kampanyenya.

Awal Februari ini, PT Pindad dikabarkan berencana memproduksi mobnas bertenaga listrik. Hal itu disampaikan Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Rosan Roeslani, usai rapat terbatas bersama Prabowo di Istana.

Dengan mengembangkan mobil taktis Maung menjadi kendaraan listrik, Rosan bahkan menargetkan itu dapat mempercepat transisi ke energi terbarukan serta mendorong industri otomotif nasional ke arah yang lebih ramah lingkungan.

Produsen alutsista yang berdomisili di Bandung, Jawa Barat, itu sedang merancang Morino EV sebagai kendaraan taktis ringan roda empat bertenaga listrik. Seturut pemberitaan Antara, Mobil itu bakal dibekali penggerak elektrik dengan daya 160 HP/125kW dan mampu dipacu sampai kecepatan 100 km/jam. Morino EV dengan kapasitas baterai 292V (150.000 mAh) disebut-sebut mampu menjangkau jarak tempuh hingga 170 km.

Bukan Perkara Mudah

Memproduksi mobnasyang bisa diterima masyarakat Indonesia jelas bukan persoalan mudah. Sejarah membuktikan bahwa belum ada rancangan mobnas yang bertahan lama mengaspal di jalanan Indonesia. Karena itulah, selama puluhan tahun, mobnas tetaplah berupa mimpi.

Sejak gagasan memproduksi mobnas muncul di era Orde Baru, ia sudah berkali-kali dihidupkan hanya untuk kembali dikubur karena gagal.

Lantas, apa yang membuat mimpi mobil nasional selalu kandas? Jawabannya jelas: ketidaksiapan industri, inkonsistensi kebijakan, dan nafsu politik yang lebih besar ketimbang strategi bisnis yang matang.

Belum ada ekosistem manufaktur yang cukup kuat untuk menopang produksi mobnas secara mandiri. Sementara itu, kebijakan industri yang tidak jelas dan sering berubah membuat investor dan pelaku industri ragu untuk terlibat.

Menyertakan PT Pindad dalam proyek mobnas saat ini juga menimbulkan pertanyaan lain. Sebagai produsen alat-alat pertahanan, Pindad sudah pasti berpengalaman dalam rekayasa teknik. Namun, membuat kendaraan sipil–apalagi mobil listrik–adalah perkara yang jauh berbeda.

Menyuruh Pindad membuat mobil listrik ibarat menyuruh seorang tukang las kapal merakit jam tangan digital. Sama-sama bidang teknik, tapi keahlian yang dibutuhkan sudah pasti berbeda.

Peneliti dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, memandang bahwa ambisi membangun mobnas seakan rutinitas setiap berganti presiden. Dia mencontohkan Joko Widodo yang bermimpi membuat mobnas Esemka ketika baru menjadi presiden. Bahkan, mobil ini sudah digunakan sebagai kendaraan dinas saat Jokowi masih menjabat Wali Kota Surakarta.

Saat ini pun, tampaknya semangat mobnas menggelora lagi setelah kemarin Maung buatan Pindad ingin menjadi mobil nasional setelah menjadi mobil dinas,” kata Nailul kepada wartawan Tirto, Jumat (14/2/2025).

Menurut Nailul, tidak ada yang salah dari semangat pemerintah membuat mobnas. Bagaimanapun juga, kata dia, keberadaan mobnas diharapkan mampu mendongkrak perekonomian. Namun, kerja sama dengan swasta saat ini masih sumir terkait adanya skema transfer teknologi atau tidak.

Keberhasilan Proton–mobnas Malaysia, misalnya, dinilai tidak lepas karena transfer teknologi impor. Setelah ada transfer teknologi, Negeri Jiran baru mampu membuat merek mobil lokal sendiri.

Nailul menambahkan bahwa jaminan transfer teknologi wajib ada kalau pemerintah ingin membuat mobnas secara mandiri. Jika tidak, pihak swastalah yang akan untung lantaran produknya diberi label mobnas, tapi ternyata buatan luar negeri. Bahkan, komponen utamanya bisa-bisa dari luar negeri.

Maka saya melihat transfer teknologi harusnya menjadi dasar yang kuat untuk membuat mobnas dengan kerja sama pihak swasta,” ucap Nailul.

Mimpi Lawas Punya Mobnas

Angan panjang proyek mobil nasional sudah bergulir sejak era Presiden Soeharto. Pada dasawarsa 1970-an, bermunculan produksi mobil buatan dalam negeri yang jadi cikal bakal mobnas. Saat itu, setidaknya hadir tiga produk yang dilabeli mobnas: Morina, Sena, dan Kijang Toyota.

Namun, tiga mobnas tersebut tidak bertahan lama karena hanya dirancang sebagai basic vehicle. Padahal, pemerintah sudah menelurkan regulasi larangan impor kendaraan utuh (completely built-up/CBU) dengan tujuan membangun industri otomotif dalam negeri.

Mobil Sena dan Morina ternyata tidak begitu populer, sementara Kijang Toyota cukup banyak dilirik sebelum akhirnya ikut tenggelam. Padahal, Kijang saat itu direncanakan menjadi kendaraan resmi pemerintah.

Pada dasawarsa 1990-an, perkembangan proyek mobnas malah terdistorsi dengan bau busuk nepotisme. Mulanya, pada 1993, pemerintah membentuk proyek mobnas Maleo yang digarap PT IPTN. Desain mobil Maleo dikerjakan oleh B.J. Habibie dalam bentuk sedan berkapasitas 1.200-1.300 cc dengan target komponen lokal di atas 80 persen.

Namun, proyek Maleo disalip oleh proyek mobnas Timor yang digawangi Tommy Soeharto, anak Presiden Soeharto.

Soeharto lebih dulu menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1996 tentang Pembangunan Industri Mobil Nasional. Lewat Kepres Nomor 42/1996, pemerintah memutuskan mendanai PT Timor Putra Nasional alias PT TPN untuk merintis mobnas. PT TPN juga diizinkan mengimpor mobil utuh dari Korea Selatan tanpa bea masuk.

Proyek itu berakhir tragis karena PT Timor digugat Jepang, Amerika Serikat, hingga Uni Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Sebab, PT TPN mendatangkan mobil KIA Sephia 1995 dan “ditempeli” begitu saja dengan merek Timor S15. Dua tahun berselang–seiring jatuhnya rezim Soeharto, produksi mobil Timor dihentikan.

Anak Soeharto lainnya, yaitu Bambang Trihatmodjo, juga menjajal kesempatan untuk menggawangi proyek mobnas. Pada 1995–1996, di bawah naungan PT Citramobil Nasional, lahir proyek mobnas Bimantara. Salah satu mobil yang dilahirkan adalah tipe sedan yang merupakanrebrandingdari seri Hyundai Accent generasi pertama.

Namun, proyek Bimantara juga kandas karena Indonesia diterpa krisis moneter pada akhir 1997.

Di era Reformasi, sejumlah produsen otomotif lokal berupaya membuat mobil karya anak negeri. Setidaknya, di era 2000-an, muncul beberapa jenama mobil lokal, seperti Tawon, Arina, hingga Komodo.

Puncaknya, pada medio 2010, lahirlahproduk mobil besutan para pelajar sebuah SMK di Surakarta, Jawa Tengah. Mobil itu lantas dikenal dengan nama Esemka. Meski sempat digadang sebagai terobosan dan mendapat dukungan sana-sini, produksinya justru tak jelas hingga saat ini.

Belajar dari Kegagalan

Presiden Prabowo seharusnya bisa belajar dari pengalaman kegagalan proyek-proyek mobnas terdahulu. Dalam menghadapi persaingan global, kualitas dan inovasi menjadi kunci utama.

Industri otomotif global terus mengalami perkembangan pesat sehingga PT Pindad yang saat ini didorong menciptakan mobnas harus mampu menyesuaikan diri dengan standar internasional serta menghadirkan inovasi yang mampu menarik minat konsumen.

Pengamat otomotif Bebin Djuana menilai gagasan membangun mobnas membutuhkan dukungan industri yang berjalan secara global. Pemerintah sendiri mesti konsisten karena membangun mobnas tak bisa sekadar menjadi agenda lima tahunan.

Membangun mobnas juga tidak akan mudah karena masyarakat sudah punya merek langganan. Oleh karena itu, pemerintah juga perlu memperhitungkan secara matang opsi yang ada, antara menggaet jenama mobil yang sudah ada atau memproduksi merek baru.

Proyek ini juga perlu didukung seluruh lapisan pemerintahan karena visi membangun mobnas lagi-lagi bukanlah perkara gampang.

Lagi pula, tidaklah penting saat ini memaksakan diri untuk memiliki kendaraan nasional,” kata Bebin kepada wartawan Tirto.

Sementara itu, peneliti bidang ekonomi dari The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Putu Rusta Adijaya, memandang bahwa keseriusan pemerintah untuk mengembangkan mobnas pada dasarnya adalah hal yang baik. Apalagi, pemerintah berencana menggandeng sektor swasta dalam pengembangannya.

Menurut Rusta, itu mencerminkan pemerintah sadar betul bahwa kapasitas dan kemampuannya dalam proyek ini masih terbatas.

Kolaborasi dengan swasta diharapkan dapat meningkatkan efisiensi produksi, mempercepat adopsi teknologi, serta mengurangi beban fiskal negara bersumber APBN. Selain insentif ke sektor swasta, pemerintah sebaiknya sekaligus mendorong inovasi yang berperspektif lingkungan.

Implementasi proyek ini bergantung pada beberapa hal, seperti perencanaan bisnis yang matang, strategi pasar yang jelas, dan daya saing produk yang kuat, serta komunikasi pemerintah dengan sektor swasta dan ke masyarakat,” kata Rusta kepada wartawan Tirto, Jumat.

Mimpi punya mobil nasional memang terdengar heroik. Namun, tanpa fondasi industri yang kuat, itu hanya seakan memutar lagu lama yang berulang tanpa hasil nyata. Transparansi dan akuntabilitas pun harus menjadi prinsip utama.

Jangan sampai proyek mobnas hanya menjadi ajang segelintir elite untuk mengeruk keuntungan dari subsidi atau insentif negara. Jika memang terdapat dana publik yang digelontorkan, rakyat berhak tahu bagaimana uang itu digunakan dan sejauh mana progres proyek ini berjalan.

Baca juga artikel terkait MOBNAS atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi