tirto.id - Calon presiden Prabowo Subianto sempat menyinggung soal rencana pengembangan proyek mobil nasional (Mobnas) bila terpilih jadi presiden. Ia tak mau mobnas yang "ethok-ethok" atau pura-pura. Ini seolah menembak mobil Esemka yang sempat mendongkrak popularitas Jokowi saat jadi wali kota Solo. Mobil Esemka Garuda 1 memang mirip dengan SUV asal Cina, Foday Landfort.
Gagasan mobnas di Indonesia memang cukup panjang, kontroversinya selalu mewarnai setiap kemunculannya, salah satunya soal mobil yang hanya mengganti label saja (rebadging). Contoh paling kentara adalah mobil Timor yang merupakan rebadging dari KIA Sephia buatan Korea Selatan.
Sejumlah negara juga memiliki gagasan mobnas, misalnya saja negara tetangga Malaysia yang telah membangun Proton sejak 1983. Proton pernah menguasai 74 persen pangsa pasar mobil baru di Malaysia. Proton juga berhasil menguasai saham mayoritas pabrik mobil sport asal Inggris, Lotus pada 1996.
Sayangnya penjualan Proton dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan. Pada 2016 mereka hanya meraih 14 persen pangsa pasar, dengan menjual 72.290 unit dari 400.000 unit kapasitas maksimal per tahunnya. Kondisi ini lantas membuat saham mayoritas Proton terjual ke Zhejiang Geely Holding Group Co asal Cina.
Artinya dalam kasus Proton, merek Proton memang masih lokal, tapi sudah ada campur tangan saham asing. Bila konsep mobil nasional mengacu pada pemegang saham, maka konsep mobnas ala Malaysia sudah gugur. Namun, setelah Proton, ada gagasan baru soal Mobnas baru di Malaysia.
Keinginan untuk membuat mobil nasional, khususnya untuk negara-negara di wilayah Asia Tenggara belum berakhir. Setelah kegagalan Timor di Indonesia, disusul Proton Malaysia, Vietnam ingin mencoba hal yang sama.
Tahun lalu, perusahaan Vinfast berhasil meluncurkan model konsep saloon dan SUV tujuh penumpang pertamanya. Tak tanggung-tanggung, peluncuran mobil yang dirancang oleh Pininfarina–rumah desain Italia–berlangsung di ajang pameran mobil bergengsi Paris Motor Show 2018. Paultan mengatakan secara bertahap Vinfast juga akan bersiap meluncurkan sepeda motor listrik, dengan kapasitas produksi pabrik sekitar 100 - 200 ribu unit per tahun.
Demam Mobnas dari Amerika Latin Hingga Afrika
Di wilayah Amerika Selatan, seperti Brasil sebagai salah satu basis produksi beberapa pabrikan mobil di dunia, pernah memiliki mobnas. Yaitu Gurgel yang lahir saat Brasil punya kebijakan impor ketat. Pada dasarnya negara ingin membuat barang sendiri agar tercipta iklim industri yang lebih baik.
Jalopnik menyebutkan kalau hal ini memaksa perusahaan lokal untuk membuat segala macam mobil yang menarik. Lingkungan yang tertutup ini pada akhirnya membantu melahirkan Gurgel pada 1969. Terkenal dengan mobil-mobilnya yang memiliki estetika aneh, Gurgel akhirnya bangkrut pada 1994.
Di Kolombia salah satu perusahaan juga punya semangat memproduksi mobil nasional. Sejak didirikan pada 1970, Sofasa Otomotif Manufacturing Company bertujuan merakit kendaraan dan merangsang pertumbuhan industri suku cadang otomotif seperti dikutip dari situs resminya.
Namun karena Renault jadi klien pertama Sofasa, kedua perusahaan itu langsung bekerja sama dalam merakit mobil dan memproduksi sparepart. Renault Sofasa hingga kini jadi salah satu perusahaan otomotif terbesar di Amerika Selatan dengan menjadi basis produksi model-model andalan Renault.
Di Ekuador, awalnya sebuah perusahaan bernama Aymesa memulai operasi sebagai distributor merek Vauxhall dan Bedford. Menurut laporan Seminuevos, pada 1972 pemerintah mengadakan proyek BTV alias Basic Transportation Vehicle.
Tanpa ragu Andino mulai memproduksi mobil, yang sesuai namanya jauh dari kata nyaman. Sebab mobil yang dibutuhkan pada saat itu harus layak menghadapi jalan pedesaan dan jalan perkotaan yang belum semulus sekarang. Meski begitu kehadiran Andino menjadi tonggak penting ledakan ekonomi dalam sejarah Ekuador.
Ide mobnas juga menjalar ke Afrika. Dilansir dari Forbes, Bank Dunia mengatakan Afrika bagian sub-sahara menjadi salah satu wilayah dengan pertumbuhan tercepat di dunia. Ekonomi Afrika juga melonjak berkat peningkatan produksi sejumlah bidang, salah satunya investasi infrastruktur termasuk di sektor transportasi. Bahkan pada 2015 saja, ada sekitar 21,6 juta kendaraan penumpang yang beroperasi di Afrika.
Selain menguntungkan bagi pabrikan global, kini banyak pengusaha Afrika yang memasuki industri otomotif. Mereka merancang dan mengembangkan kendaraan yang secara khusus ditujukan untuk pasar lokal, tapi inspirasinya tetap dari pabrikan dunia. Salah satunya Kiira Motors Corporation yang terlihat sangat menjanjikan untuk pasar Afrika.
Pada 2007, Kiira Motors mengembangkan sebuah mobil listrik hibrida yang awalnya digarap oleh mahasiswa Uganda. Mobil bertenaga baterai yang dapat diisi ulang ini memiliki generator berbasis mesin pembakaran internal yang mengisi daya baterai. Sejak 2016, line-up Kiira Motor telah terisi oleh tiga kendaraan listrik hibrida.
Menurut kabar media lokal Tech Jaja, bahkan Kiira Motors telah mendapat dukungan pemerintah untuk membangun pabrik baru di kawasan Jinja dengan dana 147,3 miliar shilling atau setara Rp554 miliar. Dengan dibangunnya fasilitas baru ini diharapkan pabrikan ini dapat memenuhi kapasitas produksi sebanyak total 150.000 unit per tahun.
Selain itu ada pula Innoson Vehicle Manufacturing Company (IVM), perusahaan asal Nigeria ini telah memulai keberhasilan dengan memproduksi sepeda motor pada 1978. Di tahun-tahun berikutnya, Innoson mulai menghadirkan bus dan truk, hingga beberapa line-up SUV.
IVM merupakan salah satu mobil terjangkau dan memiliki daya tahan yang baik untuk pasar Afrika. Dilansir dari The Cable, saat ini pabrikan IMV tengah dililit masalah sengketa dengan salah satu bank di Nigeria. Dengan masalah ini IVM terancam mengalami kerugian besar, walau demikian kasusnya masih menunggu keputusan pihak yang berwenang.
Ada juga Kantanka Automobile Company, perusahaan yang membuat sendiri truk dan SUV yang berbasis di Ghana. Situs resmi Kantanka mengatakan perusahaan ini telah berdiri sejak 1994, dan telah berhasil memproduksi mobil komersial dan beragam jenis mobil. Ghana Web melaporkan kini mobil-mobil Kantanka telah dipakai sebagai kendaraan dinas oleh beberapa Kementerian di Ghana.
Semangat membangun mobnas di banyak negara umumnya dibarengi dengan proteksi perdagangan dan dukungan pemerintah agar bisa bersaing, di tengah para perusahaan multinasional otomotif yang sudah menggurita beberapa dekade. Saat Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terbentuk 1 Januari 1995, maka ini adalah periode bencana bagi negara yang mengembangkan mobnas dengan jalan memproteksi, kasus mobil Timor yang digugat di WTO oleh produsen Jepang jadi contoh nyata.
Kemunculan mobnas di negara berkembang juga dikaitkan dengan semangat identitas lokal, bahkan ada yang mengaitkannya dengan "perlawanan" terhadap merek multinasional. Ana Irhandayaningsih dari Undip pernah menulis paper berjudul “Ide Mobil Nasional Sebagai Simbol Perlawanan Terhadap Neokolonialisme di Era Globalisasi”.
Namun, pada akhirnya ide mobil nasional seolah hanya menjadi glorifikasi soal kecintaan dan kebanggaan pada produk bangsa sendiri, padahal ada aspek lain, bagaimana menimbang aspek bisnisnya dan pentingnya membangun industri komponen lebih dahulu.
Pada era rantai pasok global dunia otomotif yang masif, produk dan komponen sudah tak ada sekat-sekat negara. Dalam konteks Indonesia, pabrikan mobil seperti Toyota di Indonesia, mengklaim sudah melakukan lokalisasi komponen dari dalam negeri sampai 85 persen pada Kijang Innova, tapi butuh empat dekade lebih untuk mencapainya.
Thailand malah bisa jadi contoh konkret, Negeri Gajah Putih itu memilih jalan menjadi basis komponen mobil dunia dengan mengundang perusahaan komponen global dengan mengedepankan nilai tambah industri, daripada sibuk membangun mobnas.
Editor: Suhendra