Menuju konten utama
Decode

Yang Muda, Yang Gagal Ginjal

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan penyakit gagal ginjal kronis yang umumnya didominasi oleh orang lanjut usia, mulai merambah usia produktif.

Yang Muda, Yang Gagal Ginjal
Header Periksa Data Tak Hanya Lansia, Gagal Ginjal Kronis juga Serang Anak Muda. tirto.id/Fuad

tirto.id - Ayu ingat, ia baru 21 tahun, ketika ia pertama kali terkonfirmasi mengalami penyakit gagal ginjal kronis. Kala itu, pada 2021, ia bekerja di tempat usaha jualan online milik saudaranya di Jakarta. Ia kerap tidur larut dan tak memperhatikan pola makan dan minum.

Sehari-hari, alih-alih rutin minum air putih, Ayu seringkali mengonsumsi teh dalam kemasan botol, ditambah minuman kemasan dengan banyak varian rasa. Lalu malam harinya, sembari masih bekerja, kadang kala Ayu menyeduh kopi hitam dengan tambahan gula. Ia tak menyangka bahwa teh dalam kemasan botol itu saja mengandung kurang lebih 18 gram gula.

Sampai akhirnya, Ayu sering merasa mual, pusing, serta sakit kepala. Namun, Ayu mengira yang dialami hanyalah gejala lambung atau respons tubuh karena kelelahan.

“Pernah pagi-pagi tuh bengkak matanya, ih kenapa mata aku bengkak, kata aku, bangun tidur. Aku nggak ngeh ya, gatau kenapa. Cuek aja. Keluarga aku juga gak perhatiin ke mata,” kisah Ayu (24), saat dihubungi Tirto, Selasa (6/8/2024).

Sebelumnya, Ayu juga pernah mengalami bengkak di bagian kaki, akan tetapi, saat diperiksakan ke dokter, ia disebut menderita asam urat. Selain bengkak, Ayu juga pernah merasa gatal di seluruh tubuh, sesak nafas, tak nafsu makan, dan tekanan darah tinggi.

Saat kasus COVID-19 sedang parah-parahnya pada 2021, karena semakin merasa sakit dan lemas, selepas sholat Idul Fitri, Ayu akhirnya dibawa ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) di sebuah rumah sakit, di dekat rumahnya, di Tasikmalaya, Jawa Barat.

Di momen itulah, hasil tes menunjukkan bahwa ia mengidap penyakit gagal ginjal kronis. Gagal ginjal kronis merupakan kerusakan ginjal, baik struktur dan atau fungsinya, yang berlangsung selama 3 bulan atau lebih.

Gagal ginjal kronis, dalam derajat tertentu, memerlukan tindakan terapi pengganti salah satu fungsi ginjal, atau cuci darah, termasuk yang dialami Ayu. Dokter bilang ke Ayu, kalau penyebab gagal ginjalnya adalah hipertensi (tekanan darah tinggi).

“'Gagal ginjal dok?' kata aku. Aku apa ya, melamun aja gitu, shocked. Kan hasil [tes] COVID-19 juga keluar, swab ya. Hasilnya positif, hari ini harus diisolasi katanya. Kalau enggak, bisa nular. Jadi mau nggak mau Ayu isolasi sendiri di lantai 8 waktu itu, sedih banget,” kata Ayu.

Setelah isolasi sekira 7 hari, Ayu baru bisa melakukan cuci darah. Sejak saat itu Ayu harus menjalani cuci darah (hemodialisis/HD) selama dua kali seminggu. Padahal, selepas HD pertama kali, Ayu sempat tak bisa beranjak dari kasur dan tak sadarkan diri. Berat badannya pun turun secara signifikan.

Karena efek HD terhadap tubuh Ayu terlampau parah, Ayu disarankan dokter untuk mengganti terapi dari cuci darah menggunakan mesin dialisis ke Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) alias metode cuci darah yang dilakukan lewat perut.

Prosesnya bisa dilakukan mandiri di rumah, dengan mengganti cairan dialisis yang dimasukkan ke tubuh melalui kateter yang dipasang di rongga perut. Namun demikian, cairan tersebut harus dibuang atau diganti dalam kurun waktu tertentu.

“6 jam sekali ganti cairan. Cuman yang malam maksimal 10 jam. Misal nanti Ayu jam 10 [malam] ganti cairan, nah besok paginya lagi ganti cairan jam 6,” beber Ayu.

Menjadi pasien cuci darah di usia muda memang tak mudah untuk dijalani, tak terkecuali bagi Tony Richard Samosir (41), ketika ia divonis menderita gagal ginjal dan harus menjalani cuci darah saat usianya baru menginjak 26 tahun, pada tahun 2009 lalu. Sama dengan cerita Ayu, hipertensi yang tak terkontrol menjadi salah satu penyebabnya.

Terbatas dalam beraktivitas termasuk dalam bekerja dan bepergian, harus menjalankan pola diet dengan membatasi asupan makanan dan minuman termasuk air putih, dan mengelola tingkat stres, menjadi sederet hal yang harus dijalaninya saat masa menjalani cuci darah beberapa waktu lalu.

Beruntung, Tony akhirnya mendapatkan donor ginjal, sehingga ia bisa menjalani transplantasi ginjal. Namun, sederet pengalaman dan keprihatinannya sebagai penyintas cuci darah, membuat ia dan beberapa penyintas lain mendirikan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) pada 15 Maret 2015, bertepatan dengan hari ginjal se-dunia (World Kidney Day).

Tren Gagal Ginjal Kronis Naik dan Serang Anak Muda?

Senada dengan cerita-cerita ini, saat peringatan Hari Ginjal Sedunia tahun 2023 lalu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memang telah menyatakan penyakit gagal ginjal kronis yang umumnya didominasi oleh orang lanjut usia, mulai merambah ke orang-orang usia produktif.

Lewat siaran YouTube Kemenkes, Selasa (7/3/2023), Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (PTM) Kemenkes, Eva Susanti, juga mengungkap tren peningkatan kasus itu di Indonesia.

Mengacu pada Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), prevalensi penyakit gagal ginjal kronis naik dari 0,2 persen pada 2013 menjadi 0,38 pada 2018.

Artinya, pada 2013, tiap 2 dari 1.000 orang di Indonesia menderita gagal ginjal kronis, dan meningkat menjadi sekitar 4 dari 1.000 orang di Indonesia pada 2018.

Sementara secara usia, menukil Riskesdas, pada 2018, proporsi penderita gagal ginjal kronis paling besar disumbang oleh kelompok umur 65 - 74 tahun, yakni sebesar 0,82 persen. Namun begitu, angka prevalensi penyakit ini di kalangan usia 35 - 44 tahun hampir menyentuh angka nasional, yakni 0,33 persen. Sementara di antara mereka yang berusia 25 - 34 tahun, angkanya mencapai 0,23 persen, sekitar 2 dari 1.000 orang.

Tren itu tidak jauh berbeda setelah lima tahun. Merujuk Survei Kesehatan Indonesia/SKI (versi terbaru Riskesdas) pada 2023, kasus gagal ginjal kronis didominasi oleh kelompok lanjut usia alias mereka yang berusia di atas 75 tahun.

Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis juga diketahui turun di semua kelompok umur. Lebih rinci, di kalangan usia 65 - 74 tahun, prevalensi gagal ginjal kronis pada 2023 berada di level 0,45 persen, sementara usia 35 - 44 tahun sebesar 0,11 persen. Lalu di kelompok umur 25 - 34 tahun, angkanya juga turun ke level 0,07 persen.

Namun, perlu diketahui bahwa terlihat ada peningkatan proporsi hemodialisis atau tindakan cuci darah di kalangan usia produktif.

Pada kelompok usia 25 - 34 tahun misalnya, proporsi hemodialisis dengan gagal ginjal kronis tercatat sebanyak 19,29 persen pada 2018, lalu melesat naik menjadi 31,4 persen pada 2023.

Merespons hal tersebut, Anggota Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Iqbal Mochtar, mengatakan, jika melihat banyaknya pasien yang menjalani cuci darah, mestinya artinya ada peningkatan prevalensi gagal ginjal.

“Karena begini, kalau kita berbicara penyakit gagal ginjal pada orang usia di atas 20 ya, itu adalah teenager yang ke atas ya, kemudian menjadi orang dewasa, itu sebenarnya sangat banyak penyebabnya. Ada penyebab yang sifatnya akut,” terangnya pada Tirto, Rabu (7/8/2024).

Dokter Iqbal menjelaskan, penyebab akut itu misalnya tiba-tiba terjadi gagal ginjal dalam waktu 48 jam, atau ada juga yang menyebutnya tiga hari. Penyebabnya ada banyak faktor, termasuk diare.

Kendati demikian, menurut dr. Iqbal, kasus terbanyak adalah gagal ginjal yang sifatnya kronis. Penyebab utama gagal ginjal kronis tersebut ada dua, diabetes yang tidak terawat dengan baik, serta hipertensi.

Melihat angka cuci darah secara umum, jumlah pasien yang menjalani cuci darah di Indonesia memang mengalami kenaikan. Hal itu tercermin dari data Indonesian Renal Registry, alias IRR, yang menunjukkan jumlah pasien baru cuci darah atau hemodialisis yang meningkat selama 2016 - 2020.

IRR sendiri merupakan suatu program dari Perkumpulan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) untuk mengumpulkan data yang berkaitan dengan kasus gagal ginjal.

Melansir data IRR, pada 2016, jumlah pasien baru yang menjalani HD sebanyak 25.446 orang, lalu naik menjadi 30.831 pasien setahun setelahnya. Pada 2018 dan 2019, jumlah pasien baru yang mengambil tindakan ini masing-masing sebanyak 66.433 orang dan 69.124 orang.

Kemudian, saat pandemi COVID-19 tahun 2020, jumlah pasien baru cuci darah sedikit menurun, yakni sejumlah 61.786 pasien. Berdasarkan data tersebut, jumlah pasien laki-laki diketahui lebih banyak ketimbang pasien perempuan, dengan proporsi 55 persen dibanding 45 persen.

Tony dari KPCDI juga mengamini data IRR yang memotret ada tren kenaikan jumlah pasien cuci darah dalam beberapa tahun terakhir. Di lapangan, ia sendiri melihat sejumlah indikator yang menunjukan adanya kenaikan tren pasien cuci darah.

Di antaranya, berdasar perhitungannya, meski ada kenaikan jumlah unit mesin cuci darah di Indonesia dari sekitar 700-800 unit pada tahun 2018, menjadi lebih dari 1.000 unit saat ini, namun pasien di sejumlah wilayah masih kesulitan mencari tempat cuci darah.

“Kalau mudah cari tempat cuci darah itu turun pasiennya. Sampai hari ini Anda kesulitan kalau untuk cari tempat cuci darah yang kosong. Anda ke Solo saja susah, Anda ke Malang saja disana itu bahkan sampai buat tiga shift. Di Jogja juga, orang sikutan sekarang untuk cari tempat cuci darah. Artinya apa? Bahwa peningkatan pasien itu ada,” katanya saat dihubungi Tirto, Senin (5/8/2024).

Di komunitasnya, Tony juga menemukan sejumlah anak muda di usia produktif yang telah divonis mengalami gagal ginjal dan harus melakukan cuci darah. Secara umum, ia mulai melihat ada tren yang bergeser. Jika dulu penderita gagal ginjal didominasi orang berusia lanjut, saat ini, mulai banyak anak muda di usia produktif yang telah mengalami gagal ginjal.

“Kalau pada remaja ini, trennya yang kami dapatkan di komunitas mulai berbeda. Anak-anak remaja, anak-anak SMA, SMP bahkan ada yang nggak suka minum air putih, banyak minum teh. Kemarin saya ke Solo, saya wawancara kepada salah seorang anak muda baru sebulan cuci darah saya tanyakan kamu kenapa gagal ginjal? (katanya) Saya dari 2011 nggak suka minum air putih, minumnya teh,” katanya.

Tony yang sehari-hari aktif berkomunikasi dengan para penyintas cuci darah di KPCDI, menyebut kebiasaan masyarakat Indonesia yang gemar mengonsumsi makanan dan minuman manis menjadi faktor pendorong banyaknya anak muda yang terkena gagal ginjal.

Sebagai informasi, sebuah riset berjudul “Sugar-sweetened beverage affordability and the prevalence of overweight and obesity in a cross section of countries” menempatkan Indonesia di posisi ketiga negara dengan konsumsi minuman berpemanis terbanyak di Asia Tenggara pada tahun 2019 dengan rata-rata jumlah konsumsi per orang sebanyak 20,23 liter/tahun.

Kegemaran masyarakat Indonesia mengonsumsi makanan dan minuman manis juga terpotret dalam laporan SKI 2023 yang menunjukkan bahwa 56,2 persen penduduk dengan usia lebih dari 3 tahun, mengonsumsi makanan manis 1-6 kali per minggu. Lebih mirisnya lagi, 33,7 persennya mengonsumsi lebih dari 1 kali dalam sehari.

Kembali ke cerita Tony, kebiasaan mengonsumsi makanan dan minuman manis tersebut saat ini didukung dengan maraknya penjualan makanan dan minuman kekinian dengan kandungan gula tinggi.

Selain itu, ia juga menyoroti rendahnya akses informasi dan literasi masyarakat terhadap informasi kesehatan dan kandungan gizi yang tertera dalam tiap makanan dan minuman. Ia bercerita, pernah menemukan anak muda yang tiap hari mengonsumsi minuman berenergi selama bertahun-tahun hingga mengalami gagal ginjal dan harus melakukan cuci darah.

“Di kuliah itu kita nggak diajarin tentang bahaya makan dan minuman. Yang kita tahu, setiap yang ada di minimarket bebas kamu makan. Ada anak muda yang tiap hari minum minuman berenergi, saya tanya kenapa? Jawabnya biar kuat, akhirnya nggak sampai enam tahun anak itu didiagnosis gagal ginjal,” katanya.

Diabetes dan Hipertensi Sebab Utama

Di luar makanan dan minuman manis, lansiran Kemenkes juga mengungkap diabetes melitus (DM) dan hipertensi sebagai pemicu terbanyak penyakit gagal ginjal kronis di Indonesia.

Mengutip penjelasan Kemenkes, DM adalah kondisi kronis yang terjadi karena peningkatan kadar gula darah dalam tubuh disebabkan karena tubuh tidak dapat menghasilkan insulin atau tidak dapat menggunakan insulin secara efektif.

Celakanya, berdasarkan data International Diabetes Federation pada tahun 2021, Indonesia menduduki peringkat kelima negara dengan jumlah penderita diabetes terbanyak dengan jumlah 19,5 juta penderita di tahun 2021 dan diprediksi akan menjadi 28,6 juta pada 2045.

Sementara itu, berdasarkan laporan SKI, prevalensi penderita penyakit diabetes melitus di Indonesia juga terus mengalami tren peningkatan.

Tercatat, penyakit diabetes melitus pada penduduk umur ≥15 tahun berdasarkan diagnosis dokter meningkat dari 2,0 persen pada 2018 menjadi 2,2 persen pada tahun 2023. Senada, prevalensi diabetes melitus berdasarkan hasil pemeriksaan gula darah juga meningkat dari 10,9 persen pada tahun 2018 menjadi 11,7 persen pada tahun 2023.

Sementara itu, berdasarkan laporan SKI, prevalensi penderita hipertensi di Indonesia tercatat menurun dari 34,1 persen pada tahun 2018 menjadi 30,8 persen pada tahun 2023. Meski mengalami penurunan, Menkes RI Budi G Sadikin pada tahun 2023 menyebut bahwa 1 dari 3 orang Indonesia mengidap hipertensi.

Mengutip penjelasan Kemenkes, hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah kondisi ketika peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg.

Menurut Joint National Committee (JNC VII) penggolongan hipertensi dibagi menjadi 4 kelompok yaitu, normal apabila sistolik 120mmHG, pre hipertensi apabila sistolik 120-139 mmHg dan diastolik 80-89 mmHg, hipertensi stadium I apabila sistolik 140-159 mmHg dan diastolik 90-99 mmHg, hipertensi stadium II apabila sistolik >160 mmHg dan diastolik >100 mmHg.

Menanggapi data prevalensi penyakit diabetes dan hipertensi di Indonesia yang masih tinggi, dr. Iqbal menyebut hal itu berpotensi akan berbanding lurus dengan prevalensi kenaikan penderita gagal ginjal.

Ia menjelaskan, ada semacam hukum yang tidak tertulis berlaku dalam dunia kedokteran. Misalnya, dari 100 orang yang sakit itu, sekitar 40-50 persennya akan sembuh sendiri karena ada daya tahan tubuh mereka. Kemudian sekitar 40 persen akan sembuh karena pengobatan. Terakhir, sisanya sekitar 20-30 persen, akan masuk kepada stadium lanjut.

“Iya, secara otomatis. Karena kan prevalensinya itu kan ujung-ujungnya ke sana. Jadi kalau memang prevalensinya (diabetes dan hipertensi) itu sudah gede, maka otomatis yang akan masuk ke gagal ginjal juga pasti gede,” tutup dr. Iqbal.

Layanan Kesehatan Belum Merata

Tak hanya tinggi prevalensinya, ada pula masalah pelayanan kesehatan terhadap pasien cuci darah. Tony dari KPCDI bercerita kepada Tirto kalau komunitas lahir dari bentuk keprihatinan pasien cuci darah terhadap pelayanan kesehatan di Indonesia. Ia dan sejumlah penyintas lain melihat, masih ada kesenjangan yang dialami pasien cuci darah di Indonesia.

Soal ini, ia mencontohkan, semua pelayanan kesehatan di Indonesia dari tipe A hingga tipe D, pada dasarnya telah memiliki unit hemodialisis. Namun begitu, masih ada kesenjangan yang dialami oleh pasien terkait aksesibilitas obat serta pelayanan laboratorium.

Ia mencontohkan, pasien cuci darah di fasilitas layanan kesehatan tipe A dan B di Indonesia mungkin bisa mendapatkan semua akses obat dan laboratorium. Namun, hal itu tidak bisa diakses oleh pasien cuci darah di fasilitas layanan kesehatan tipe C dan D, seperti yang dialami oleh Tony dan sejumlah pendiri KPCDI.

“KPCDI berdiri sebagai bentuk keprihatinan pasien cuci darah terhadap layanan kesehatan. Atas dasar itu, kami membentuk sebuah wadah tempat berkumpul untuk memberikan edukasi dan advokasi kepada pasien cuci darah yang mengalami diskriminasi di tempat pelayanan kesehatan,” kata Tony.

==

Bila pembaca memiliki saran, ide, tanggapan, maupun bantahan terhadap klaim Periksa Fakta dan Decode, pembaca dapat mengirimkannya ke email factcheck@tirto.id.

Baca juga artikel terkait KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah & Alfitra Akbar

tirto.id - News
Penulis: Fina Nailur Rohmah & Alfitra Akbar
Editor: Farida Susanty