tirto.id - Tiga hari lalu, sebuah akun otomotif di Instagram mengunggah sebuah video yang berisi sebuah insiden kecil di jalan tol. Insiden itu sebenarnya tidak berujung kecelakaan atau adu argumen dan semacamnya. Akan tetapi, dengan framing yang cukup tendensius, kita bisa dengan segera menerka maksud dari sang pengunggah.
Dalam video tersebutmulanya tampak dua mobil, Daihatsu Ayla berwarna hitam dan VW Scirocco berwarna silver, melaju di samping bus Sinar Jaya yang melakukan lane-hogging di lajur paling kanan. Setelah hampir menyalip bus tersebut, pengendara Scirocco memberi sinyal hendak berpindah ke lajur paling kanan. Akan tetapi, pengendara Ayla yang ada di depannya tidak mau mengalah.
Tanpa aba-aba dan sinyal apa pun, pengendara Ayla turut menggeser mobilnya ke lajur paling kanan sampai menghalangi laju Scirocco yang sudah menunjukkan cara yang benar dalam berpindah lajur. Mengesalkannya pula, pengendara Ayla itu tidak terlihat mempercepat laju kendaraannya. Ia benar-benar hanya berpindah lajur semata-mata untuk menghalangi laju Scirocco. Kemudian, video pun berakhir dengan pengendara Scirocco berhasil menyalip Ayla dengan memanfaatkan celah antara jalan dan pembatasnya.
Video-video dengan "genre" seperti itu memang cukup populer di akun-akun media sosial bertema otomotif. Genre yang dimaksud adalah "pengendara tolol yang membahayakan pengendara lain". Di dalamnya kita bisa menemukan satu sub-genre yang entri-nya dijamin tidak akan pernah habis: pengendara mobil LCGC (Low Cost Green Car).
Stigma terkait mobil LCGC bukan hal baru. Sejak kemunculannya pada 2013, LCGC sudah dilekatkan sebagai mobil murah untuk "masyarakat kelas bawah yang baru naik kelas". Mobil Toyota Agya, Daihatsu Ayla, Honda Brio Satya, Calya-Sigra, dan sejenisnya, identik dengan “mobil pertama” bagi orang-orang yang baru beralih dari motor.
Karena dianggap belum berpengalaman, pemilik LCGC kerap dicap sembrono, tidak tahu aturan, bahkan ugal-ugalan di jalan. Tudingan-tudingan tersebut, selain ramai di media sosial, bahkan beberapa kali pula masuk pemberitaan media berskala nasional. Sampai-sampai, mereka yang tergabung dalam komunitas pengguna LCGC pun mesti angkat bicara untuk meluruskan stigma yang ada.
Dari sini bisa dibaca bahwa LCGC lahir bukan hanya sebagai produk kebijakan industri, melainkan juga sebagai simbol sosial. Harus diakui bahwa cap "mobil orang yang baru naik kelas" itu memang benar adanya karena sejak awal memang itu tujuannya. Akan tetapi, belakangan, LCGC sudah tidak lagi sama. Mobil yang dulu bisa dijual di bawah Rp100 juta kini sama tidak terjangkaunya dengan mobil-mobil baru kebanyakan.
Dengan demikian, target pasar awal LCGC pun tidak lagi mampu membeli mobil-mobil tersebut dan, oleh karena itu, sebuah pertanyaan besar pun layak untuk diajukan: Apa sebenarnya guna keberadaan mobil LCGC dewasa ini?
Lahirnya LCGC dan Jasanya untuk Negeri
Sebelum menjawab pertanyaan di awal, mari kita mundur ke tahun 2013 ketika pemerintah Republik Indonesia memperkenalkan Kendaraan Bermotor Roda Empat Hemat Energi dan Harga Terjangkau (KBH2).
Program yang lebih dikenal sebagai LCGC ini berlandaskan pada Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2013 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah, yang menetapkan bahwa mobil dengan kriteria tertentu dapat dibebaskan dari Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM). Aturan turunan yang lebih teknis kemudian keluar melalui Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 33/M-IND/PER/7/2013, yang menjelaskan syarat-syarat detail mobil LCGC.
Pemerintah waktu itu mengemukakan tiga alasan besar di balik kebijakan ini. Salah satunya adalah menyediakan akses kepemilikan mobil bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah Secara teknis, batasan harga maksimal yang ditetapkan ialah Rp95 juta (off the road, Jakarta).
Dari sinilah lahir model-model "mini", seperti Toyota Agya, Daihatsu Ayla, Honda Brio Satya, Suzuki Karimun Wagon R, hingga Datsun GO+.
Dengan paket kebijakan tersebut, pemerintah ingin menciptakan sesuatu yang kala itu sering disebut sebagai “mobil rakyat”: kendaraan yang murah, irit, dan ramah lingkungan. Harapannya, jutaan pengguna motor bisa naik kelas menjadi pemilik mobil dengan cara yang lebih terjangkau.
Terlepas dari pro dan kontra sosial yang menyertainya, tidak bisa dimungkiri bahwa LCGC sempat berperan besar dalam mendorong pertumbuhan industri otomotif Indonesia.
Sejak resmi diluncurkan pada pertengahan 2013, penjualannya tumbuh cepat. Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) mencatat, pada tahun pertama, sekitar 51 ribu unit LCGC berhasil terjual, setara 4 persen pangsa pasar nasional. Setahun kemudian, angka itu melonjak lebih dari tiga kali lipat menjadi 172 ribu unit, atau 14 persen pangsa pasar. Puncaknya terjadi pada 2016 ketika penjualan mencapai 235 ribu unit dengan pertumbuhan tahunan lebih dari 50 persen.
Kesuksesan pasar domestik itu juga diiringi oleh investasi besar-besaran. Kementerian Perindustrian mencatat, hingga 2014, program LCGC telah menarik investasi senilai 6,5 miliar dolar AS, terdiri dari 3,5 miliar dolar AS di sektor perakitan dan 3 miliar dolar AS di sektor komponen. Tak kurang dari 30 ribu lapangan kerja baru tercipta, sementara rantai pasok lokal diperkuat lewat pendirian lebih dari 100 pabrik komponen baru.
Tak berhenti di pasar domestik, LCGC juga sanggup menembus pasar ekspor. Toyota, misalnya, mengekspor Agya dengan nama Toyota Wigo ke Filipina sejak 2014, diikuti dengan pengiriman ke negara-negara ASEAN lain, bahkan hingga ke Pakistan. Indonesia tidak hanya menjadi basis produksi untuk kebutuhan dalam negeri, melainkan juga bagian dari rantai pasok regional.
Bagi produsen, LCGC berfungsi sebagai penopang penting. Hingga pertengahan 2020-an, kontribusinya masih signifikan: pada 2024, meskipun penjualannya menurun dibandingkan tahun-tahun awal, segmen ini masih menyumbang sekitar 21 persen dari total penjualan mobil nasional. Bagi perusahaan seperti Daihatsu, hampir separuh penjualan domestik mereka ditopang oleh model-model LCGC, macam Sigra dan Ayla.
Singkatnya, LCGC pernah (dan barangkali masih) menjadi mesin pertumbuhan industri otomotif Indonesia. Ia mendorong penjualan domestik, membuka pasar ekspor, menarik investasi besar, dan memperkuat basis industri komponen lokal. Namun, kontribusi besar ini pada akhirnya juga harus dibaca berdampingan dengan perubahan yang terjadi belakangan, terutama soal harga dan daya beli konsumen.
Masihkah Low Cost?
Di balik kontribusi besarnya terhadap industri, LCGC kini menghadapi ironi yang sulit diabaikan: mobil yang awalnya dimaksudkan untuk menjadi "mobil murah” perlahan-lahan menjadi tidak lagi terjangkau.
Ketika pertama kali diluncurkan pada 2013, harga maksimum yang ditetapkan pemerintah adalah Rp95 juta. Angka tersebut masih selaras dengan daya beli masyarakat menengah ke bawah, yang kala itu menjadi sasaran utama program.
Namun seiring waktu, harga bawah mobil LCGC terus merangkak naik. Pada 2017, beberapa model sudah dipasarkan di kisaran Rp130–150 juta. Pemerintah kemudian menyesuaikan batas atas harga menjadi Rp135 juta pada 2021. Akan tetapi, di lapangan, harga on-the-road yang diterima konsumen jauh melampaui batas tersebut akibat tambahan biaya administrasi, fitur baru, serta margin diler.
Memasuki 2023, harga LCGC makin tidak bisa lagi disebut “low cost”. Sebuah studi mencatat, Honda Brio Satya, model LCGC terlaris, sudah terjual dalam jumlah besar meski harganya menembus Rp170 juta. Lompatan paling tajam terlihat pada 2025. Data Momobil.id menunjukkan, Daihatsu Sigra termurah dibanderol Rp159,8 juta, sementara Toyota Agya tipe tertinggi mencapai Rp253,6 juta.
Kenaikan harga itu tidak lepas faktor inflasi, perubahan biaya produksi, penambahan fitur keselamatan dan hiburan, serta berkurangnya insentif pajak. Jika dulu LCGC sepenuhnya bebas PPnBM, kini tarif yang berlaku adalah 3 persen. Akibatnya, konsumen yang dulunya bisa menjangkau LCGC kini terpinggirkan.
Para pakar menegaskan, kenaikan harga itulah yang paling berpengaruh pada penurunan penjualan. Menurut Yannes Martinus Pasaribu dari Institut Teknologi Bandung, LCGC yang awalnya dijual sekitar Rp80 jutaan pada 2014, kini berada di kisaran Rp138–200 juta, sehingga “tidak low cost lagi” dan kehilangan konsumen utama (kelas menengah bawah).
Tak Lagi Jadi Penopang Pertumbuhan Industri Otomotif
Jika pada 2013–2016 LCGC sempat menjadi lokomotif pertumbuhan industri otomotif nasional, kondisinya kini berbalik. GAIKINDO mencatat, sepanjang Januari–Agustus 2024, penjualan keseluruhan LCGC hanya 120.442 unit, turun sekitar 14 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Pangsa pasarnya memang masih bertahan di kisaran 21 persen, tetapi volume mutlak yang menurun memperlihatkan adanya pelemahan daya serap pasar.
Tren penurunan itu makin jelas terlihat pada 2025. Data GAIKINDO menunjukkan, total penjualan secara keseluruhan LCGC pada Maret 2025 hanya 12.726 unit, turun 38 persen dibanding Maret 2024 yang mencatat 20.691 unit. Penurunan terjadi di hampir semua model, meski Daihatsu Sigra masih mampu menjadi yang terlaris dengan 4.309 unit.
Situasi makin mengkhawatirkan pada pertengahan tahun. Pada Juni 2025, penjualannya hanya 7.762 unit, hanya sekitar separuh dari capaian Juni 2024 yang mencapai 15.252 unit. Dengan harga yang kian melambung, konsumen yang dulu menjadi target utama—para pengguna motor yang ingin membeli mobil pertamanya—kini makin sulit menjangkau LCGC.
Pada saat yang sama, di perkotaan, LCGC mulai tergerus oleh kehadiran mobil listrik murah, seperti Wuling Air EV dan BYD Atto 1, yang juga menawarkan biaya operasional lebih rendah. Akibatnya, peran LCGC sebagai penopang utama industri otomotif nasional pun melemah: pangsa pasarnya masih ada, tetapi konsumen mulai tergoda dengan opsi lain yang lebih menggiurkan.
Pemerintah belum menunjukkan tanda-tanda akan menghentikan program tersebut. Kementerian Perindustrian menegaskan, skema insentif untuk LCGC akan tetap berlaku hingga 2031. Alasannya jelas: segmen ini masih dianggap strategis menjaga volume penjualan nasional sekaligus menopang ekosistem industri berbasis komponen lokal.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan dilema. Mobil yang dimaksudkan untuk membantu kelompok berpenghasilan rendah kini justru tak lagi terjangkau harganya. Pangsa pasar memang masih ada, tetapi karakter konsumennya bergeser: bukan lagi keluarga muda yang baru naik kelas dari motor, melainkan kelas menengah yang mencari mobil kedua dengan harga relatif murah dibanding segmen non-LCGC.
Akibatnya, kebijakan LCGC kini berada dalam posisi serba salah. Insentif tetap digelontorkan, produsen masih mengandalkannya untuk menjaga volume, tetapi fungsi sosialnya sudah kabur.
Lebih jauh lagi, dengan kebijakan yang tidak tanggap zaman itu, Indonesia berisiko tertinggal dalam peta persaingan global. Saat negara-negara lain sudah menggeser kebijakan industrinya ke kendaraan listrik—Vietnam dengan VinFast, Tiongkok dengan BYD dan Wuling—pemerintah RI justru memilih mempertahankan skema mobil berbahan bakar fosil yang label “green”-nya kian meragukan. LCGC tetap diberi keringanan pajak meski faktanya tidak lagi murah dan daya tariknya terus menurun.
Pertanyaannya kemudian, apakah mempertahankan LCGC hingga enam tahun ke depan menunjukkan bahwa Indonesia sedang berjalan di tempat, sementara dunia sudah melaju cepat ke arah yang lain? Jika demikian, yang akan rugi bukan hanya konsumen, melainkan juga industri otomotif Indonesia secara keseluruhan.
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadli Nasrudin
Masuk tirto.id


































