tirto.id - Mei 1998 adalah bulan terburuk bagi Soeharto. Setelah puluhan tahun jadi orang nomor satu di Indonesia, di tahun itu Soeharto harus menerima kenyataan bahwa banyak orang sudah tak menginginkannya untuk terus jadi Presiden Republik Indonesia.
Di masa-masa kritis ini Soeharto mulai merasa dikhianati orang-orang terdekatnya. Pertama oleh Ketua MPR Harmoko—yang sebelumnya mengatakan bahwa rakyat masih menginginkan Soeharto terus jadi presiden, tapi kemudian malah meminta Soeharto mundur. Kedua oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie.
Habibie—dikenal sebagai insinyur penerbangan yang bisa bikin pesawat—bukan orang baru bagi Soeharto. Sejak Habibie remaja dan Soeharto berpangkat letnan kolonel, mereka sudah saling kenal. Ketika Soeharto jadi presiden, Habibie kembali ke Indonesia dan jadi teknokrat penting yang diberi jabatan Menteri Riset dan Teknologi, lalu wakil presiden.
Ditinggalkan Para Loyalis
Pada hari-hari jelang Soeharto mundur, belasan menterinya sudah terlebih dulu mengundurkan diri. Meski demikian, Habibie sebagai wakil presiden tetap mendampinginya di masa yang tidak menyenangkan itu. Soeharto akhirnya terpikir untuk mundur dan Habibie menggantikannya. Tanggal 20 Mei 1998, sehari sebelum Soeharto mundur, ia bertemu dengan Habibie di istana. Sempat ada pembicaraan di antara mereka. Waktu itu sudah ada isu Soeharto akan mundur sebagai Presiden RI.
“Pak Harto, kedudukan saya sebagai Wakil Presiden bagaimana?” tanya Habibie, seperti diingat dan ditulisnya dalam Detik-Detik Yang Menentukan (2006: 37).
Soeharto pun memberi jawaban yang bagi Habibie di luar dugaan. “Terserah nanti. Bisa hari Sabtu, hari Senin, atau sebulan kemudian, Habibie akan melanjutkan tugas sebagai Presiden.”
“Apakah Pak Harto sudah menerima surat pernyataan dari Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita dan empat belas Menteri di bawah koordonasi Menko Ekuin?” tanya Habibie untuk menghentikan tema pembicaraan sebelumnya yang baginya tidak menyenangkan.
Soeharto mengaku sudah mendengar, tapi belum membicarakannya. Soeharto lalu mengulurkan tangannya dan menjabat tangan Habibie. Tak lupa Soeharto memberi pesan agar menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya dan menyelesaikan masalah Ginandjar dan kawan-kawan dengan baik.
Habibie menimpali, “akan saya usahakan.”
Menurut Probosutedjo dalam Memoar Romantika Probosutedjo: Saya dan Mas Harto (2013: 594), Habibie semula ditanya apakah dirinya siap menggantikan Soeharto menjadi presiden. Habibie awalnya merasa ragu. Setelah berita para menteri mundur, Habibie akhirnya mengaku sanggup. Sikap Habibie yang berubah-ubah ini membuat Soeharto kecewa.
“Mas Harto tidak habis pikir, bagaimana mungkin keputusan yang sangat penting seperti 'sanggup tidaknya' menjadi presiden bisa berubah drastis hanya dalam hitungan hari. Tidak sampai 24 jam,” kata Probosutedjo.
Habibie, masih kata Probosutedjo, sempat menelepon Soeharto, tapi tak diangkat. Meski begitu Soeharto sudah mantap untuk mundur esok paginya dan membiarkan Habibie yang tiba-tiba bilang “sanggup” menggantikannya sebagai presiden.
Menjauhi dan Tak Memberi Selamat
Di hari pengunduran diri Soeharto, Habibie mengaku agak dijauhi atasannya itu. Padahal mereka berada di ruangan yang sama, Ruang Jepara, di dalam Istana Negara. “Saya merasakan diperlakukan tidak wajar,” kenang Habibie.
Ketika akan menghampiri Soeharto, acara sudah akan dimulai. Terpaksa Habibie hanya bisa berdiri di sisi Soeharto.
Pernyataan paling bersejarah sepanjang Orde Baru pun dibacakan Soeharto: pengunduran dirinya sebagai Presiden RI.
“Ketika menyampaikan pernyataan pengunduran dirinya, wajah Soeharto tampak dingin,” tulis Tjipta Lesmana dalam Dari Soekarno Sampai SBY (2009: 123).
Soeharto tampak merasa dirinya dipermalukan di hadapan seluruh bangsa Indonesia dan dunia internasional. Peristiwa bersejarah ini disiarkan berulang-ulang di televisi. Tapi dirinya tetap berusaha tegar di hari menyakitkan itu.
Selesai Soeharto menyatakan diri berhenti jadi Presiden RI, protokol istana menyerahkan map kepada Habibie dan diminta membacakan sumpah dan kewajibannya sebagai Presiden RI.
“Semuanya berlangsung cepat dan lancar. Pak Harto memberi salam kepada semua yang hadir termasuk saya. Tanpa senyum maupun sepatah kata, ia [lalu] meninggalkan ruang upacara,” tutur Habibie dalam memoarnya (hlm. 67). Pada hari itu, tak ada ucapan selamat dari Soeharto untuk Habibie.
“Taktala menyalami tangan Habibie usai Habibie mengucapkan sumpahnya di depan Ketua Mahkamah Agung, ia (Soeharto) berusaha tersenyum, senyumnya kelihatan tidak ikhlas karena ekspresi wajahnya sama sekali tidak mendukung senyumnya," tulis Tjipta Lesmana.
Soeharto boleh saja tidak suka bahwa dirinya harus mundur dan tidak rela Habibie menggantikannya, namun lanjut Tjipta Lesmana, “secara konstitusional, Soeharto memang harus menyerahkan kekuasaannya kepada Wakil Presiden Habibie setelah ia mengundurkan diri.”
Soeharto yang sudah berpengalaman menjadi orang paling berkuasa di Indonesia tampak ragu kepada B.J. Habibie sebagai presiden, apalagi dalam kondisi morat-marit yang diwariskan oleh rezimnya. Habibie pun merasa dirinya diragukan oleh Soeharto.
Mantan penguasa Orde Baru itu lalu meninggalkan istana dengan didampingi putri sulungnya, Siti Hardiyanti Rukmana. Ia tidak naik mobil sedan yang biasa digunakannya, namun menaiki mobil jip bermerek Mercedes-Benz. Dengan mobil itu, Soeharto pulang ke rumahnya di Jalan Cendana.
Ia pun kembali jadi orang biasa dan menghabiskan sisa hidupnya dengan keluarga yang tetap kaya di tengah tuntutan-tuntutan hukum atas dirinya. Belakangan, Habibie dianggap pengkhianat oleh Soeharto. Seperti Harmoko, Habibie juga dijauhi Soeharto. Silaturahmi di antara mereka berdua seolah-olah putus.
Jika Harmoko tidak menyuruh Soeharto berhenti sebagai presiden dan Habibie menolak jabatan Presiden RI menggantikan Soeharto, barangkali ketiganya akan terus akur. Tentu saja Habibie punya pertimbangan sendiri untuk mau menerima dan meneruskan tugas Soeharto sebagai orang nomor satu di Indonesia.
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 1 Juli 2019 dengan judul "Soeharto Tak Rela Habibie Jadi Presiden & Tidak Mengucapkan Selamat". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Ivan Aulia Ahsan & Irfan Teguh Pribadi