Menuju konten utama
19 Mei 1998

Diminta Para Ulama untuk Mundur, Soeharto Bergeming

Ringkih kuasa.
Minta petunjuk pada
para ulama.

Diminta Para Ulama untuk Mundur, Soeharto Bergeming
Ilustrasi Soeharto. tirto/Sabit.

tirto.id - Jakarta dilanda kerusuhan usai peristiwa penembakan empat mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998. Tak hanya di ibu kota, kerusuhan juga merebak di beberapa kota besar seperti Surakarta, Bandung, dan Palembang. Saat puncak kerusuhan, 15 Mei, ratusan orang tewas dan beberapa pusat perbelanjaan di Jakarta hangus dilalap api.

Resah melihat situasi yang kian kacau, pada 16 Mei beberapa intelektual memberanikan diri berkumpul di Hotel Regent. Disebut dalam majalah Tempo (19-25 Mei 2003, hlm. 40), mereka di antaranya adalah Nurcholis Madjid (Cak Nur) dan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun). Kelompok intelektual ini mendiskusikan kemungkinan-kemungkinan untuk mengakhiri krisis ekonomi-sosial-politik saat itu. Beberapa opsi dicetuskan, tetapi sentralnya adalah Soeharto harus lengser.

Yang jadi masalah, bagaimana caranya mendesak Presiden Soeharto agar bersedia lengser. Bahkan hingga saat itu Soeharto masihlah raksasa yang bikin segan semua orang. Beberapa hari sebelumnya, Cak Nur pernah meminta Quraish Shihab untuk menyampaikan hal itu kepada Soeharto. Tetapi, Menteri Agama itu menolak.

Cak Nun kemudian mengemukakan ide untuk memulainya dengan pembentukan opini dengan kalangan militer. Ide kiai mbeling itu tak datang dari ruang hampa. Ia sendiri sudah melakukan seruan-seruan meminta Soeharto turun melalui pengajian dan selebaran.

Pada forum pengajian Padhang Bulan di Jombang pada 11 Mei, misalnya, ia sudah menyampaikan kepada jamaahnya bahwa waktu Soeharto sudah hampir habis. Cak Nun juga menyebarkan selebaran yang intinya menyarankan Soeharto menyerahkan wewenangnya kepada semacam Dewan Negara untuk melakukan reformasi. Seminggu kemudian muncul lagi selebarannya yang lebih tegas.

“Hendaknya Pak Harto memilih khusnul khatimah dengan mengembalikan kekuasaannya kepada rakyat,” tulis Cak Nun dalam selebaran itu yang didokumentasikan dalam Saat-saat Terakhir Bersama Soeharto: 2,5 Jam di Istana (2016, hlm. 15). Ia juga menyeru kepada ABRI untuk mulai berpihak kepada rakyat.

Esoknya, 17 Mei, Cak Nur dan Cak Nun kembali mengadakan pertemuan di Hotel Wisata. Turut hadir pula Utomo Danandjaya, anggota DPR Eki Syahruddin, Feri Mursyidan Baldan, Laode Kamaluddin, Dirjen Binbaga Departemen Agama Malik Fajar, fungsionaris DPP Golkar Fahmi Idris, pengusaha Sugeng Sarjadi, Fadel Muhammad, AM Fatwa, pakar Ekonomi Didik J Rachbini, dan Ketua Umum PB HMI Anas Urbaningrum.

Di hadapan pers Cak Nur memaparkan hasil diskusi berupa opsi yang dapat diambil Soeharto untuk melaksanakan reformasi. Namun, menurut Cak Nur, sebelum itu Soeharto sebaiknya menjamin dirinya akan mundur dari jabatan kepresidenan secepat mungkin melalui cara-cara damai dan konstitusional.

Ketika wartawan menanyakan apakah akan ada pertemuan antara dirinya dan Presiden Soeharto untuk menyampaikan gagasan itu, Cak Nur berkelit. Cak Nur merasa tak yakin pertemuan semacam itu akan efektif.

"Yang penting sekarang adalah memperkuat wacana publik. Kita biarkan Pak Harto memungut pendapat publik itu menjadi pendapat pribadinya. Ini sering terjadi," kata pendiri Universitas Paramadina itu sebagaimana dikutip Kompas (18/5/1998).