tirto.id - Komite Keselamatan Jurnalis mendesak Kapolri mengusut tuntas kasus kekerasan terhadap jurnalis yang melakukan liputan aksi massa buruh di kawasan DPR/MPR pada Jumat (16/8/2019) kemarin.
Selain itu, Komite Keselamatan Jurnalis juga mendorong kepolisian untuk mengubah Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dengan Polri Nomor 2/DP/MoU/II/2017 menjadi Peraturan Kapolri.
"Alasannya MoU tersebut belum efektif membendung kekerasan terhadap jurnalis, utamanya pelaku kekerasan yang berasal dari anggota Polri," kata Juru bicara Komite Keselamatan Jurnalis Sasmito Madrim saat dikonfirmasi Tirto, Sabtu (17/8/2019).
Karenanya, ujar Sasmito, Komite Keselamatan Jurnalis meminta Kapolri dan Kapolda Metro Jaya menindak tegas anggotanya yang terbukti melakukan kekerasan dan penghalangan jurnalis yang melakukan kegiatan jurnalistik.
"Kekerasan tersebut bukan saja merugikan kebebasan pers, namun juga merusak citra Polri sebagai pengayom masyarakat," kata dia,
Sasmito menyampaikan, atas kejadian tersebut, komite mendorong perusahaan pers agar aktif dalam penanganan kasus kekerasan yang menimpa jurnalisnya sebagai bagian tanggung jawab memutus impunitas pelaku kekerasan.
"Dewan Pers dan Polri sebaiknya segera melakukan koordinasi sesuai amanat MoU Perlindungan Kemerdekaan Pers minimal satu kali dalam setahun," terang Sasmito.
Demi mencegah terulangnya kasus kekerasan serupa yang terjadi pada jurnalis, Kapolri disarankan segera menindaklanjuti Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dengan Polri sebagai Peraturan Kapolri agar lebih bersifat mengikat.
Enam jurnalis dari media cetak, online, dan televisi diketahui mengalami kekerasan fisik dan intimidasi saat meliput aksi unjuk rasa di sekitar Gedung DPR/MPR Jakarta, Jumat (16/8/2019).
Pelakunya diduga berasal dari aparat kepolisian. Kekerasan serupa juga pernah terjadi terhadap jurnalis saat meliput aksi 21-22 Mei lalu.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mencatat, ada 7 pelaku kekerasan diduga anggota Polri dari 20 kasus kekerasan terhadap jurnalis selama dua hari tersebut.
Selama Januari-Desember 2018, polisi juga menjadi pelaku terbanyak dengan 15 kasus dari 64 kasus kekerasan yang menimpa jurnalis.
Padahal, menurut Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dengan Polri Nomor 2/DP/MoU/II/2017 pasal 4 ayat 1 menyebutkan para pihak berkoordinasi terkait perlindungan kemerdekaan pers dalam pelaksanaan tugas di bidang pers sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
"Kami anggap polisi tidak serius menangani pelaku kekerasan terhadap jurnalis. Hal itu terlihat dari belum adanya anggota polisi yang mendapat hukuman, meski telah melakukan kekerasan terhadap jurnalis," ujar Sasmito.
Dari 20 kasus kekerasan yang terjadi pada 21-22 Mei, kata dia, hanya ada 2 kasus yang dilaporkan kepada kepolisian.
"Sementara 18 kasus lainnya tidak dilaporkan dengan berbagai pertimbangan dari perusahaan dan korban," ucapnya.
Secara tidak langsung, sikap perusahaan media dan jurnalis tersebut turut mendorong praktik impunitas terhadap pelaku kekerasan terhadap jurnalis.
"Meski begitu, Komite Keselamatan Jurnalis juga memaklumi jika ada jurnalis-jurnalis yang tidak berani melaporkan kasusnya dengan alasan takut dan tidak mendapat dukungan dari perusahaan media," pungkasnya.
Untuk posko pengaduan bagi jurnalis yang mengalami kekerasan, Komite Keselamatan Jurnalis membuka layanan melalui hotline Komite Keselamatan Jurnalis yang bisa dihubungi melalui telepon 0812-4882-231.
Editor: Abdul Aziz