tirto.id - Tahun 2021 tidak hanya sebagai tahun Indonesia mengalami masa-masa sulit dalam menghadapi pandemi COVID-19. Tahun 2021 juga menjadi titik awal momen politik menjelang Pilpres 2024.
Dalam berbagai catatan yang dihimpun Tirto, sejumlah manuver politik terjadi di tahun 2021. Berbagai partai mulai membangun komunikasi satu sama lain. Sebagai contoh pertemuan PDIP-Gerindra pada Agustus 2021 lalu.
Kemudian ada safari politik para kader Golkar dengan bertemu pengurus Partai Nasdem dan Partai Gerindra meski diklaim membahas soal olahraga. Selain itu, ada juga aksi safari intens PKB ke berbagai partai seperti PKS, Golkar, hingga Gerindra.
Terkini, pertemuan tidak sengaja terjadi antara PPP dengan PKB maupun pertemuan PKB dan Gerindra saat pelaksanaan Muktamar PBNU pada Desember 2021 ini.
Selain komunikasi politik antarpartai yang intens, baliho politik mulai beredar di masa pandemi. Sejumlah kader partai mulai memasang baliho untuk meningkatkan elektabilitas mereka di tahun 2021 seperti baliho Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, Ketua DPP PDIP sekaligus Ketua DPR Puan Maharani, hingga Ketua Umum Partai Golkar sekaligus Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Terbaru, kader partai seperti Ketua Majelis Syuro PKS Salim Jufri ikut memasang baliho.
Pemasangan baliho tidak lepas dari mulai munculnya sejumlah rilis hasil survei politik. Selain merilis hasil kinerja pemerintahan, lembaga survei juga merilis soal kandidat capres-cawapres. Tiga nama kerap kali menjadi top of mind survei, yakni Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Pada rilis Poltracking pada Oktober 2021, misalnya menetapkan 3 kandidat utama capres 2024 dalam pertanyaan terbuka yakni Ganjar Pranowo di peringkat pertama dengan 18,2 persen, Prabowo Subianto dengan 17,1 persen dan Anies Baswedan pada angka 10,2 persen.
Kemudian rilis Indikator Indonesia juga menemukan ketiga nama tersebut (Ganjar, Prabowo dan Anies) menjadi 3 kandidat terkuat calon presiden. Dari simulasi 10 nama sesuai survei 2-6 November 2021 pada 2.020 orang responden, elektabilitas Prabowo sebesar 26,9%. Disusul Ganjar Pranowo 23,2%, Anies Baswedan 16,7%, Ridwan Kamil 6,2%, Sandiaga Salahuddin Uno 5,2%, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) 4,6%, Khofifah Indar Parawansa 3,1%, Erick Thohir 2,3%, Puan Maharani 1,1%, dan Airlangga Hartarto 0,5%.
Survei KedaiKOPI juga menemukan ketiga nama tersebut sebagai kandidat terkuat. Pada survei per 16-24 November 2021 yang melibatkan 1.200 responden ini, Prabowo menjadi figur yang memiliki elektabilitas tertinggi (24,3 persen) kemudian dilanjutkan dengan Ganjar Pranowo (22,9 persen) dan ketiga adalah Anies Baswedan (18,5 persen).
Hal yang sama juga ditemukan dalam survei Vox Populi Research Center. Vox Populi Research Center mencatat elektabilitas calon presiden 2024 tertinggi dipegang Prabowo Subianto dengan angka 19,3 persen. Angka kedua dipegang Ganjar Pranowo dengan 19,1 persen dan Anies Baswedan pada peringkat ketiga dengan 10,8 persen.
Paling terakhir adalah Populi Center. Populi mencatat tiga nama teratas yang dipilih adalah Ganjar, Anies dan Prabowo. Ganjar berada di peringkat pertama (58,3 persen), Anies Baswedan (47,3 persen), dan Prabowo Subianto (46,6 persen).
Terakhir, isu tentang ambang batas pemilihan presiden atau presidential threshold juga menghangat di publik. Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo menggugat ambang batas pemilihan presiden yang mematok pengusungan presiden minimal mendapat dukungan 20 persen suara partai/koalisi partai. Ia meminta agar sistem presidential threshold dihapus. Bukan hanya Gatot yang menggugat presidential treshold, tetapi juga tokoh lain, salah satunya anggota Partai Gerindra Ferry Juliantono.
Isu presidential threshold lantas direspons beberapa partai yang ingin angka presidential threshold turun di angka 5-10 persen. PKB merupakan salah satu partai yang ingin ambang batang capres turun di angka 5 persen.
Manuver Partai Makin Giat Konsolidasi untuk Pilpres 2024?
Analis Politik dan Direktur IndoStrategi Research and Consulting Arif Nurul Imam melihat tahun 2022 merupakan tahun politik. Dalam pandangan Imam, para capres akan mulai membangun ketokohan dan popularitas pada 2022.
Kemudian, partai-partai juga akan mulai melakukan persiapan verifikasi partai hingga penataan struktur organisasi demi lolos verifikasi faktual yang merupakan syarat berpartisipasi pada Pemilu 2024. Kemudian, aksi relawan capres-cawapres akan mulai bergerak.
"Tahun 2022 saya kira menjadi ajang pemanasan para mesin politik maupun relawan untuk menggalang dukungan," kata Imam kepada Tirto, Jumat (31/12/2021).
Imam mengakui ada beberapa faktor lain yang akan mempengaruhi politik Indonesia. Sebagai contoh, pemilihan komisioner KPU-Bawaslu akan menentukan proses penyelenggaraan pemilu.
Di sisi lain, kasus presidential threshold juga akan menjadi salah satu faktor penting dalam Pemilu. Partai akan terus memonitor hasil gugatan presidential threshold sambil membangun koalisi demi kepentingan pemilu 2024.
"Partai politik tentu dalam setiap geraknya selalu berbasis pertimbangan politik. Artinya kepentingan tentu dalam gerak politik mereka tidak lepas dari kalkulasi kepentingan politik internal partai mereka dan kemudian kepentingan publik," kata Arif.
Peneliti BRIN Aisah Putri Budiarti mengakui bahwa tahun 2022 akan ada banyak isu politik. Ia pun memprediksi setidaknya ada 3 poin yang menjadi krusial dalam dunia politik 2022 di Indonesia. Pertama adalah soal pengisian posisi kosong seperti kursi Wamensos dan kursi wakil menteri lain. Hal itu masih tetap membuka ruang reshuffle.
Isu besar politik kedua adalah soal pengisian kursi kepala daerah yang masa bakti habis mulai 2022. Ketiga adalah soal isu pemilu yang semakin kuat seperti soal waktu pelaksanaan partai. Hal itu akan menentukan strategi partai dan membuat pertarungan politik 2024 menguat.
"Isu pemilu akan menjadi semakin panas," kata perempuan yang karib disapa Puput ini kepada Tirto, Jumat.
Puput pun memandang presidential threshold akan menjadi kunci pertama. Sebab, angka presidential threshold akan mempengaruhi kemampuan partai kecil dan menengah untuk bisa mengusung paslon atau tidak. Kemudian, faktor lain adalah dukungan publik untuk mendorong kemenangan paslon. Terakhir adalah soal potensi kandidat dari kader internal dalam mendorong keterpilihan dalam pemilu mendatang.
"Strategi partai akan dipengaruhi setidaknya oleh 3 faktor itu. Namun, tentu partai tak akan terburu-buru menetapkan strategi memilih kandidat di tahun 2022, karena di tahun itu, partai akan wait and see sambil menjalin komunikasi dengan para kandidat potensial dan antar partai politik," kata Puput.
Di sisi lain, peneliti politik dari Puskapol UI Hurriyah justru memandang 2022 adalah kelanjutan dari agenda politik parpol di tahun 2020 usai Pilkada. Menurut Hurriyah, dua hal yang akan mempengaruhi arah politik di tahun 2022 yakni soal mesin politik partai dan masalah kerangka politik demokrasi Indonesia.
Dari sisi partai politik, Hurriyah melihat partai sudah mulai persiapan menuju Pilpres 2024. Hal ini juga sudah diprediksi sejak lama karena politik akomodatif Jokowi memberi ruang bagi parpol untuk memenuhi hasrat kepentingan politik. Hal ini terjadi pula pada era Presiden SBY di periode kedua sehingga ia menyebut hal ini sebagai jebakan periode kedua.
"Jebakan periode kedua karena pada periode ini sepanjang saya melihat bahkan bukan hanya mulai tahun 2021, dari mulai 2020 ini sudah kelihatan bagaimana partai-partai di sekitar pak Jokowi, para menteri-menteri itu sudah sibuk dengan agenda 2024," kata Hurriyah kepada tirto, Jumat.
"Mereka mengumpulkan berbagai sumber daya politik dan menjadi gak fokus kelihatannya karena itu tadi agendanya udah ke 2024. Ini yang menjadi persoalan. Ini persoalan klasik dan ini terjadi lagi di era Pak Jokowi," tegas Hurriyah.
Hurriyah pun mencontohkan, isu presidential threshold sebagai parameter politik Indonesia. Sebab, isu ini merupakan 'konsekuensi' dari langkah parpol yang menyetujui presidential threshold 20 persen di masa lalu.
Ia melihat partai-partai sepakat dengan konsep presidential threshold karena ada semangat untuk mematikan ruang kontestasi. Hal tersebut semakin terlihat bagaimana parpol langsung sepakat dengan presidential threshold 20 persen yang hanya berhitung berbasis kepentingan partai (pragmatisme partai) tanpa berhitung dampak di masa depan.
"Partai nyusahin dirinya sendiri karena kepentingan politik pragmatis. Begitu sekarang kemudian tidak ada lagi calon incumbent bisa maju akhirnya kelabakan dengan 20 persen ini. kekunci sendiri," kata Hurriyah.
Peran Pemerintah Menguat dalam Politik Tahun 2022?
Hurriyah, Puput dan Imam sepakat bahwa peran pemerintah akan penting, bahkan semakin sentral. Imam menilai, peran pemerintah terutama Jokowi akan semakin sentral karena banyak kursi kepala daerah yang kosong. Meski tidak berdampak langsung kepada kinerja partai, para plt kepala daerah ini bisa mempengaruhi kinerja pemenangan.
"Kalau secara langsung tidak ada dampak secara langsung, tetapi memang plt ini tentu diangkat pemerintah kan oleh Jokowi dan tentu saja ketika ditunjuk atau diangkat oleh Jokowi tentu saja ini akan menjadi loyalis Pak Jokowi ketika Pak Jokowi akan mendukung salah satu paslon," kata Imam.
Sementara itu, Puput menilai peran pemerintah akan kuat karena memegang kunci politik 2024 seperti soal penentuan presidential threshold, penentuan kursi kepala daerah yang kosong hingga reshuffle. Namun, posisi itu bisa saja berubah akibat faktor yang tidak terduga.
"Gangguan akan bisa terjadi, terutama bila partai koalisi pemerintah dan sosok bakal capres yang ada dalam kabinet kemudian menjadi lebih fokus pada Pemilu 2024, yang pada akhirnya mengutamakan kepentingannya sendiri, hingga abai terhadap fungsi dan kerja pemerintahan," kata Puput.
Hurriyah justru berbicara lebih jauh. Hurriyah malah menyebut peran pemerintah tidak hanya di politik, tetapi juga berbagai aspek. Hal tersebut dapat terlihat dari bagaimana pemerintah lancar dalam merevisi atau mengesahkan undang-undang seperti Undang-Undang Cipta Kerja. Pemerintah menggunakan pendekatan hukum sebagai upaya memperkuat peran di masyarakat dan politik.
Sementara itu, dari segi politik, pemerintah juga terlihat berupaya memegang kendali pelaksanaan pemilu dengan menempatkan perwakilan pemerintah dalam tim seleksi KPU-Bawaslu. Hal itu terlihat bagaimana tim seleksi KPU-Bawaslu saat ini banyak diisi orang-orang yang dekat atau berafiliasi dengan pemerintah.
"Kelihatan sekali pemerintah dengan cara-cara inovatif masuk ke dalam banyak hal. Jadi kalau pakai istilahnya Markus Michener kan dia bicara innovative authoritarianism, bagaimana kecenderungan pemerintah yang otoriter di dalam sistem yang sudah demokratis mereka mempunyai inovasi-inovasi baru untuk memastikan agenda dan kepentingan itu terpenuhi," kata Hurriyah.
Hurriyah pun memandang, 2022 akan menjadi titik penilaian selain Pilkada 2020 lalu. Ia mencontohkan, kasus presidential threshold yang mungkin diputus pada 2022 akan menunjukkan sikap pemerintah dalam isu politik.
Hal itu juga akan memperlihatkan arah perkembangan demokrasi Indonesia yang selama ini dinilai buruk akan memburuk atau justru membaik.
Dari situasi yang ada, Hurriyah meyakini bahwa pemerintah akan semakin kuat di tahun 2022 sementara partai-partai akan semakin fokus untuk Pemilu 2024.
"Partai juga berhitung sejauh mana mereka bisa mendapatkan keuntungan kalau merapat kepada siapa dan sampai saat ini menurut saya figur Pak Jokowi masih punya pengaruh yang besar," kata Hurriyah.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri