tirto.id - Di Kepulauan Sangihe atau dulu dikenal sebagai Sangir-Talaud, terdapat jalur perdagangan kuno yang menghubungkan pelabuhan-pelabuhan di Sulawesi, Maluku, Filipina, dan bahkan Jawa.
Asal-usul masyarakat yang mendiami Kepulauan Sangihe terekam secara simbolik dalam cerita genesis mereka yang dikenal sebagai Legenda Pangeran Gumansalangi.
Sebagaimana disebut dalam buku Sastra Lisan Sangir Talaud karya Paul Nebarth dkk. (1985), Gumansalangi atau Marauw adalah seorang pangeran dari Kotabatu di Pulau Mindanao (Filipina) yang diasingkan oleh ayahnya. Ia kemudian mengembara ke Kepulauan Sangihe setelah menikah dengan seorang putri bernama Kondawulaeng.
Gumansalangi merupakan tokoh paling awal yang membuka permukiman di Pulau Sangihe Besar dan menjadi Kolane (raja) pertama Kerajaang Tampunganglawo yang menurunkan raja-raja di seluruh Kepulauan Sangihe.
Eksistensi kerajaan-kerajaan di Sangihe baru benar-benar tercatat kurang lebih pada abad ke-16, berbarengan dengan masuknya bangsa Portugis dan Spanyol ke Asia Tenggara. Kerajaan-kerajaan itu di antaranya adalah Kendahe, Tabukan, Manganitu, dan Siau.
Sebagai kepulauan yang strategis, negeri-negeri yang berdiri di Sangihe berada di persimpangan kepentingan dagang rempah negeri-negeri di sekelilingnya. Ledakan dari pergesekan kepentingan itu—yang utamanya melibatkan Kesultanan Ternate, Portugis, dan Spanyol di abad ke-16—belakangan berusaha disiasati oleh Kerajaan Siau, satu-satunya protektorat (negeri di bawah perlindungan negara lain) Spanyol di Sulawesi.
Misi Portugis
Kerajaan Siau merupakan kerajaan maritim yang sebenarnya sudah ada sejak masa pra-kolonial. Menurut J.P. Tooy dkk. dalam Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Sulawesi Utara (1984), wilayah ini pertama kali terekam dalam catatan Portugis sekitar pertengahan abad ke-16.
Menurut catatan itu, disebutkan bahwa Siau sebenarnya merupakan sekutu utama dari Raja Babontehu dari Pulau Manado Tua. Persekutuan itu terjadi setelah tahun 1549, saat Siau baru keluar dari drama perang saudara yang melibatkan dua anak Raja Siau yang bernama Lokongbanua.
Perang saudara memperebutkan takhta itu dimenangkan oleh Pangeran Posumah yang kemudian menjadi Raja Siau. Di masa pemerintahan Raja Posumah inilah, yakni pada 1563, datang utusan Ternate yang dipimpin oleh Pangeran (nantinya Sultan) Baabulah. Mereka meminta Posumah dan Babontehu sekutunya agar masuk Islam. Bagi Posumah, permintaan itu dilematik, sebab rakyat Siau secara umum masih memeluk kepercayaan pada leluhur.
Di sisi lain, hal ini rupanya diketahui oleh Portugis yang telah bercokol di Maluku. Laksamana Henrique de Sa, pimpinan armada Portugis di Maluku, merasa bahwa jalur perdagangan palanya akan terganggu, sebab Siau akan menjadi sekutu Ternate apabila berhasil diajak masuk Islam dan sewaktu-waktu bisa diperbantukan dalam upaya pemberontakan Sultan Khairun di Ternate.
Oleh karena itu, de Sa pun lantas mengirimkan misionaris Jesuit bernama Diogo de Magelhaes untuk menyebarkan ajaran Katolik pada raja-raja dari Sangihe sampai Tolitoli. Misi itu membuahkan hasil, Babontehu raja Manado Tua bersedia dibaptis beserta 1500 rakyatnya.
Langkah Babontehu kemudian diikuti oleh Posumah yang hadir dalam upacara pembaptisan Babontehu. Ia menjadi bersimpati kepada agama Katolik. Setelah Posumah dibaptis, berangsur-angsur rakyat Siau mengikuti jejak langkahnya dan kemudian benar-benar menjadi pengikut Katolik yang taat.
Protektorat Spanyol
Kendati telah memeluk ajaran Katolik, Kerajaan Siau tidak serta-merta mendapat perlindungan dari Portugis. Justru, kedudukannya semakin terancam karena Ternate mulai memusuhinya.
Menurut David Henley dalam “A Superabundance of Centers: Ternate and The Contest for North Sulawesi” (1993), sejak 1587 (tiga tahun setelah Posumah dibaptis) pasukan Ternate terus berdatangan ke Siau dan menyerang perkampungan di pesisir kerajaan.
Awalnya tindakan ini tidak digubris oleh Posumah, namun setelah ia mangkat dan digantikan oleh Don Jeronimo Winsulangi, tindakan pembalasan mulai dirancang.
Winsulangi agaknya tahu bahwa berharap pada Portugis bukanlah hal yang bijak, karena sejak pertama kali pendahulunya dibaptis, tidak ada satu pun bantuan yang datang ke Kerajaan Siau. Oleh karena itu, atas inisiatifnya sendiri, Winsulangi berangkat ke Manila pada tahun 1593 dan berupaya mendapatkan suaka dari Kerajaan Spanyol.
Di Manila, Winsulangi bertemu dengan Gubernur Gómez Pérez Dasmariñas. Di hadapan Gubernur Jenderal Spanyol itu, Winsulangi bersedia mengakui Spanyol sebagai Yang Dipertuan, asalkan Spanyol mau melindungi Siau dari rongrongan Ternate.
Tawaran diterima oleh Dasmariñas, sebab kedudukan Siau sangat ideal dalam menghubungkan kepentingan dagang Spanyol ke Maluku. Oleh karena itu, maka ditekenlah perjanjian kesepahaman bahwa Siau berkedudukan sebagai protektorat Spanyol sejak 16 Agustus 1593. Lalu didirikan dua benteng Spanyol di Ondong dan Lolento.
Sejarah mulai memasuki babak baru ketika abad berganti, sebab Portugis yang berkedudukan di Maluku justru berhasil ditendang VOC pada tahun 1605. David Henley menyebut kemunculan VOC meresahkan Spanyol, sehingga akhirnya sebagai langkah antisipatif, Spanyol memperkuat posisi Siau dengan menempatkan pasukannya. Keresahan Spanyol ini ternyata bukan tanpa alasan, karena sebenarnya dari tahun 1601 kapal-kapal Belanda di bawah pimpinan Joris van Spillbergen sudah terlihat hilir mudik di perairan Siau, seakan-akan siap mencaplok.
Terlebih, VOC juga belakangan meneken perjanjian persekutuan dengan Ternate pada tahun 1607. Akhirnya setahun setelah perjanjian itu diteken, Spanyol benar-benar harus menghadapi Kompeni dan akhirnya kalah.
Kekalahan Spanyol kian melemahkan posisi Siau dan akhirnya jatuh ke tangan VOC pada tahun 1614. Menurut J.P. Tooy dkk. dalam Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Sulawesi Utara (1984), Raja Siau saat itu, Don Fransiscus Batahi, kemudian menyusun siasat serangan balasan bersama Spanyol, yang dilancarkan dua tahun kemudian ketika Kompeni berusaha mengangkut penduduk Pulau Siau untuk dijadikan budak perkebunan pala di Kepulauan Banda.
Serangan mendadak itu berhasil dan disambut gembira oleh Spanyol, sehingga akhirnya Spanyol memutuskan Siau dijadikan benteng terdepan koloninya dalam menghadapi Kompeni. Sejak saat itu Siau eksis menjadi wilayah protektorat Spanyol sampai tahun 1625. Mereka baru tunduk kepada VOC pada 9 November 1677.
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Irfan Teguh Pribadi
Masuk tirto.id

































