Menuju konten utama

Shoppertainment: Strategi Konten Hiburan Berhasil Rayu Pelanggan

Shoppertainment strategi pemasaran yang menggabungkan belanja dengan hiburan memberikan pengalaman baru bagi pelanggan.

Shoppertainment: Strategi Konten Hiburan Berhasil Rayu Pelanggan
Header Side Job "Shoppertainment: Saat Konten Hiburan Berhasil Membujuk Pelanggan untuk Belanja". tirto.id/Fuad

tirto.id - “Kebanyakan orang tidak suka dipaksa untuk membeli, tapi mereka selalu suka dihibur.”

Sameer Singh, Kepala Global Business Solutions untuk TikTok wilayah Asia-Pasifik pernah berujar suatu kali menanggapi laporan bertajuk Shoppertainment: APAC's Trillion-Dollar Opportunity. Singh tengah mengungkap apa yang saat ini sedang jadi ‘barang incaran’ baru dalam bisnis perdagangan online: Shoppertainment.

Shoppertainment menggabungkan konten, kultur, dan kegiatan penjualan dengan mulus. Dengan begitu, brand dapat berinteraksi dengan pengunjung selama berbelanja, tanpa terlalu 'berjualan' secara terang-terangan,” lanjut Singh.

Saat seseorang tidak benar-benar membutuhkan sebuah barang, mereka enggan berurusan dengan tetek bengek penawaran. Saya sendiri sering merasa risih ketika ditawari berbagai macam hal saat lagi jalan-jalan ke mal. Minyak wangi, tabungan digital, kredit sepeda motor, sampai susu rasa pisang.

Kadang-kadang meski sudah menolak, saya dan beberapa pengunjung lain bahkan masih dikejar. Metode penawaran langsung semacam ini pernah jaya di masanya sampai-sampai pekerjaan Sales Promotion Girl (SPG) sempat jadi tren.

Akan tetapi, berhadapan dengan kemajuan teknologi, metode ini mulai ditinggalkan. Shoppertainment sebagai salah satu metode penawaran tidak langsung muncul dengan pendekatan baru dalam mengambil hati calon pembeli.

Kelahiran Shoppertainment “Baru”

Dunia tak lagi sama setelah digempur pandemi COVID-19. Segalanya dipaksa berubah termasuk bagaimana cara kita berbelanja. Semakin banyak orang belanja secara daring hingga bisnis perdagangan online pun melejit.

Laporan Statista meramalkan per tahun 2026, pendapatan e-commerce secara global akan mencapai USD8,1 triliun. Sebelumnya, pada 2021, penjualan e-commerce dari sektor ritel mencapai USD5,2 triliun yang mana pertumbuhannya diperkirakan mencapai 56%.

Sebetulnya bukan hal mengejutkan kalau shoppertainment disukai oleh para pengguna internet hari ini. Pasalnya, perkembangan bisnis online membuat perilaku konsumen berubah, sbegitu juga dengan tuntutan untuk mendapatkan pengalaman baru saat berbelanja secara daring.

Survei dalam laporan Shoppertainment: APAC's Trillion-Dollar Opportunity juga mengungkap bahwa kemajuan teknologi telah memberikan pilihan lebih banyak bagi konsumen yang membentuk pola perilaku dalam memilih, memastikan orisinalitas sebuah konten, serta memberikan rekomendasi produk yang didorong oleh komunitas.

Indikator inilah yang kemudian menjadikan shoppertainment naik kelas hingga jadi tren yang dengan mudah mengambil hati calon pembeli.

Lebih Dekat: Apa Itu Shoppertainment

Shoppertainment adalah strategi pemasaran yang menggabungkan kegiatan belanja (shopping) dengan hiburan (entertainment). Sebagai sebuah konsep, shoppertainment sebetulnya bukan fenomena baru dalam dunia pemasaran.

Sebelum era internet, konsep ini telah digunakan sebagai strategi untuk menciptakan pengalaman yang menyenangkan bagi pelanggan yang mengunjungi toko-toko atau pusat perbelanjaan.

Saat era televisi, konsep ini diadopsi dalam bentuk iklan. Tayangan iklan dibuat menghibur sekalipun mengorbankan “kualitas”. Formulanya menjadi sangat cair bahkan terkesan berlebihan hingga ada yang menyebutnya iklan murahan. Namun, formula ini toh sangat efektif dalam menjaring penonton karena kekuatan hiburannya.

Selain di televisi, konsep shoppertainment juga masih bisa dijumpai di toko-toko ritel bahkan hingga hari ini. Perhatikan saja ketika musim libur sekolah tiba, pusat perbelanjaan dihias pernak-pernik meriah dan pertunjukan yang semarak.

Di luar agenda musiman, strategi shoppertainment biasanya juga dipakai menjelang peluncuran produk baru. Ini pernah dilakukan oleh IKEA, perusahaan ritel perabot rumah dan furnitur kantor dari Swedia pada tahun 2019.

Kala itu, mereka meluncurkan kampanye berjudul “Klub Malam IKEA–Tonight Is To Sleep” untuk 100 orang yang beruntung. Apa yang dilakukan IKEA malam itu?

Mereka menyediakan fasilitas berupa manikur, pijat, makanan ringan, dan teh sebagai pengganti koktail sebelum bermalam di kamar dengan furnitur IKEA yang akan segera dirilis. Hasilnya, IKEA memperoleh penjualan yang spektakuler di wilayah Amerika Utara begitu produk baru mereka meluncur ke pasaran.

Apa yang dilakukan IKEA adalah contoh paripurna untuk menggambarkan definisi shoppertainment.

Menurut Oxford Dictionary (2019), yaitu penyediaan fasilitas rekreasi di toko ritel atau pusat perbelanjaan, sebagai bagian dari strategi pemasaran, yang dirancang untuk menarik pelanggan dan merangsang pembelian.

Kini, ketika kita memasuki era media sosial di mana e-commerce perlahan menggeser eksistensi mal dan toko-toko ritel, konsep shoppertainment juga dipaksa beradaptasi dan menemukan formula baru.

Shoppertainment pun didefinisikan sebagai perdagangan berbasis konten yang mengutamakan hiburan dan edukasi, sekaligus mengintegrasikan konten dan komunitas untuk menciptakan pengalaman belanja yang imersif atau menyeluruh.

Mengapa Shoppertainment?

Sekarang kita mengerti bahwa shoppertainment rupanya digunakan untuk menghibur calon pembeli. Namun, kita kemudian dihadapkan oleh pertanyaan pamungkas: apakah calon pembeli yang terhibur, benar-benar akan membeli produk yang kita tawarkan? Atau kah mereka akan melupakannya begitu saja tanpa pernah mengosongkan keranjang belanja?

Pertanyaan ini akan sulit dijawab apabila yang kita bayangkan adalah dampak secara langsung yang diperoleh dalam jangka waktu relatif singkat. Sekarang, coba kita perjelas pandangan kita melalui kaca pembesar.

Pada dasarnya, pengalaman pelanggan (customer experience) mempengaruhi keputusan pembelian. Bernd Herbert Schmitt, seorang profesor bisnis di departemen pemasaran di Columbia Business School, Universitas Columbia di New York mengatakan bahwa pengalaman pelanggan terhadap sebuah jenama punya sifat membujuk.

Menurut Schmitt, perasaan gembira atau emosi positif yang muncul saat pelanggan bersinggungan dengan jenama akan mempengaruhi keputusan mereka–untuk membeli atau melupakannya.

Schmitt berpendapat bahwa pelanggan tidak hanya menggunakan rasio tetapi juga melibatkan emosi dalam menghasilkan keputusan pembelian. Di bagian inilah, shoppertainment punya pengaruh.

Singh mengatakan keunggulan shoppertainment, salah satunya berada di wilayah emosional ini. Survei BCG dengan TikTok telah membuktikan bahwa ketika konsumen melakukan pembelian secara daring, ada dua aspek yang menjadi pertimbangan mereka, yaitu aspek fungsional sebesar 60% dan aspek emosional sebesar 40%.

“[Lewat shoppertainment-red] brand pun akhirnya mampu menyentuh kebutuhan fungsional dan emosional pelanggan, sehingga bisa tercipta hubungan yang lebih kuat dan lebih lama,” kata Singh.

Sebagaimana yang diungkap Singh di awal, semua orang lebih suka dihibur ketimbang dipaksa untuk membeli. Ungkapan pembeli adalah raja ternyata masih relevan dipakai hingga hari ini.

Bedanya, jika “raja” dulu dihibur dengan atraksi dan pertunjukan, “raja” hari ini terhibur dengan konten-konten hiburan yang berseliweran di jagat maya. Raja-raja yang hari ini bisa kita temukan di Shopee Live, TikTok Shop, LazLive, dan Tokopedia Play.

Baca juga artikel terkait SIDE JOB atau tulisan lainnya dari Ruhaeni Intan

tirto.id - Bisnis
Kontributor: Ruhaeni Intan
Penulis: Ruhaeni Intan
Editor: Dwi Ayuningtyas