tirto.id - "Paket!" seru seorang kurir ekspedisi di depan sebuah rumah.
Seruan ini tentu tak asing lagi di berbagai pelosok Indonesia. Maraknya pengiriman paket ke rumah-rumah setiap harinya tak lepas dari populernya belanja dengan menggunakan platform e-commerce di Indonesia.
Laporan teranyar agensi We Are Social bersama Meltwater menunjukkan bahwa warga Indonesia yang membeli barang habis pakai (consumer goods) via internet pada 2022 menyentuh 178,9 juta orang, tumbuh 12,8 persen year-on-year (yoy).
Sementara mengenai besaran nominal belanjanya, selama 2022, estimasi uang yang dihabiskan warga RI untuk belanja online yakni sebesar 55,97 miliar dolar Amerika Serikat (AS) dengan perhitungan kurs saat itu. Angka ini tidak berubah dari tahun sebelumnya.
Dari total tersebut, kategori belanja yang paling besar yakni barang elektronik, diikuti kategori permainan dan hobi, fesyen, furnitur, perawatan pribadi dan rumah tangga, serta makanan. Barang lainnya yang juga banyak dibeli mencakup kategori media fisik seperti kaset atau vinyl dan minuman.
Jika meninjau laporan tersebut lebih jauh, peningkatan nilai belanja e-commerce paling besar tercatat di sektor makanan, dengan pertumbuhan sebesar 16,6 persen yoy pada tahun 2022, hingga menyentuh 5,40 miliar dolar AS.Laporan We Are Social bersama Meltwater itu diperkuat pula dengan data Bank Indonesia. Bank Indonesia mencatat total transaksi e-commerce atau transaksi di sektor niaga elektronik meningkat sepanjang semester I 2022, baik secara nominal maupun volume.
Persentase kenaikan nominal transaksi e-commerce mencapai 22,1 persen yoy pada semester I 2022, senilai Rp 227,8 triliun. Sementara secara volume, kenaikan transaksinya sebesar 39,9 persen dibanding periode yang sama tahun lalu, sebesar 1,74 juta transaksi.
Lantas, apa saja faktor yang mendorong perkembangan industri e-commerce di Indonesia? Dan yang tak kalah penting, bagaimana dampaknya terhadap sektor lain?
Perubahan Pola Konsumsi dan Potensi Besar E-Commerce Indonesia
Menguatnya aktivitas belanja daring barangkali tak lepas dari kencangnya digitalisasi bisnis serta terus naiknya jumlah pengguna internet di Indonesia, selain karena pandemi yang menghantam Indonesia di awal 2020.
Laporan Sirclo pada 2020 menyebut bahwa selama pandemi, banyak pembelian kebutuhan rumah tangga dilakukan melalui e-commerce. Sebabnya, pembelian barang melalui e-commerce tak banyak butuh kontak dengan orang lain.
Tak hanya untuk pembeli, usaha-usaha pun beralih ke platform digital. Menurut Statistik E-Commerce 2022keluaran Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah usaha yang bergabung di platform e-commerce di Indonesia pada tahun 2021 mencapai 2.868.178 usaha, melesat ketimbang 2020 yang mencatat 2.361.423 usaha.
Temuan Bank Dunia melalui survei yang dilakukannya pada akhir 2020 memang menyebut bahwa usaha yang bergabung dengan e-commerce bisa lebih tangguh menghadapi pandemi COVID-19 dibanding usaha yang hanya beroperasi secara offline. Sebanyak 80 persen usaha yang bergabung dengan e-commerce atau beroperasi digital, bisa bertahan tak tutup melewati tahun 2020.
Di luar itu, menurut Kepala Pusat Inovasi dan Ekonomi Digital Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda pada Kamis (23/2/2023), faktor lain yang mendorong berkembangnya e-commerce di Indonesia adalah perubahan pola konsumsi masyarakat yang memang lebih banyak menghabiskan waktu luang dengan ponselnya.
Apalagi, menurutnya, penduduk Indonesia saat ini banyak dipadati oleh Gen Z dan Milenial yang adaptif terhadap perkembangan teknologi.
Menurut data We Are Social dan Meltwater, pengguna internet di Indonesia pada 2022 mencapai 212,9 juta orang, naik 5,2 persen atau 10 juta orang dari tahun sebelumnya. Jika dibandingkan populasi Indonesia, 77 persen populasi Indonesia kini telah terhubung dengan internet.
“Kemudian juga arus informasi banyak didapatkan dari sosial media yang sehingga mereka dengan mudah mengetahui barang A dijual di platform X,” katanya.
Tak heran, transaksi e-commerce juga terbukti menjadi kontributor terbesar bagi ekonomi digital di Indonesia.
Dalam laporan bertajuk “e-Conomy SEA 2022” garapan Google, Temasek, dan Bain & Company, capaian gross merchandise value (GMV) atau total barang dagangan terjual bruto di sektor e-commerce di Indonesia pada 2022 telah menyumbang 59 miliar dolar AS, naik 22 persen dari 48 miliar dolar AS pada 2021.
Angka GMV e-commerce ini mengambil proporsi sebanyak 76,62 persen dari total GMV ekonomi digital Indonesia senilai 77 miliar dolar AS pada 2022. Sisanya ditopang sektor transportasi dan makanan, media daring, dan online travel.
Diperkirakan, pada 2025, angka GMV e-commerce Indonesia bakal menyentuh 95 miliar dolar AS.
“Bisa dibilang bahwa e-commerce ini kan menjadi salah satu sektor ekonomi digital yang terlebih dahulu eksis, bahkan sejak lama kita kan mengenal jual beli secara online, bahkan ketika belum ada platform-platform yang seperti saat ini tersedia,” kata Nailul lagi.Tak hanya itu, seperti yang terlihat di data teranyar e-Conomy SEA, pada 2022, Indonesia juga adalah negara dengan GMV ekonomi digital tertinggi se-Asia Tenggara.
Limbah Plastik Menumpuk?
Seiring mekarnya e-commerce baik di dalam negeri maupun secara global, otomatis plastik yang umumnya digunakan dalam bungkus paket turut menggunung dan menambah tumpukan limbah plastik.
Meski di Indonesia, belum ada penelitian yang khusus menghitung banyaknya jumlah limbah plastik dari paket-paket pembelian melalui e-commerce, data global bisa menjadi salah satu indikasinya.
Data yang dinukil dari Statista menunjukkan pada 2019, industri e-commerce global telah menggunakan sekitar 2,08 miliar pon kemasan plastik, setara 1,04 juta ton. Jumlah itu pula yang menjadi limbah kemasan plastik pada tahun yang sama, menurut Statista.
China dan Amerika Serikat menjadi penghasil limbah kemasan plastik e-commerce tertinggi pada tahun 2019. Industri e-commerce China menghasilkan 221,5 juta kilogram sampah kemasan plastik, sedangkan Amerika Serikat bertanggung jawab atas 212,7 juta kilogram.Sebetulnya, temuan sebuah studi yang dilakukan Pusat Penelitian Oseanografi dan Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 20 April – 5 Mei tahun 2020 sempat mengindikasikan adanya kenaikan limbah plastik paket e-commerce di Indonesia.
Studi itu menemukan adanya peningkatan frekuensi belanja online dan penggunaan layanan pesan antar (delivery) kala pandemi COVID-19. Dampaknya, dilansir dari LIPI, peneliti pusat Penelitian Oseanografi LIPI Intan Suci Nurhati menyampaikan, peningkatan aktivitas itu berpotensi memupuk jumlah sampah plastik dan menambah beban tempat pembuangan akhir.
Merujuk survei yang dilakukan di kawasan Jabodetabek tersebut, frekuensi belanja warga Jabodetabek diketahui menjadi semakin banyak dari yang sebelumnya 1 hingga 5 kali dalam satu bulan, menjadi 1 sampai 10 kali selama masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)/Work from Home (WFH). Begitu pula dengan penggunaan layanan delivery lewat jasa transportasi online.
Padahal, menurut LIPI, 96 persen paket dibungkus dengan plastik yang tebal dan ditambah bubble wrap. Kedua jenis itu, di samping juga selotip, merupakan pembungkus berbahan plastik yang paling sering ditemukan. LIPI menyebut, di kawasan Jabodetabek bahkan jumlah sampah plastik dari bungkus paket mengungguli jumlah sampah plastik dari kemasan yang dibeli.
Plastik juga menyumbang komposisi terbanyak kedua dalam timbunan sampah sepanjang 2022, berdasarkan data dari sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Jumlah sampah plastik di Indonesia saat itu tercatat sebanyak 18,89 juta ton, di mana komposisinya didominasi oleh sampah sisa makanan (41,1 persen) dan plastik (18,2 persen).
Sumber sampah terbanyak umumnya berasal dari konsumsi rumah tangga (43,3 persen), pasar tradisional (24,1 persen), dan kawasan (10,5 persen).Dengan proyeksi Statista mengenai penggunaan plastik oleh sektor e-commerce yang terus meningkat hingga 1,73 juta ton pada 2023 dan 2,27 juta ton pada 2025, jika tak dibarengi dengan komitmen pelaku usaha e-commerce dan kesadaran masyarakat, maka tak heran jika limbah plastik pun bakal semakin menumpuk, termasuk di Indonesia.
Jam Kerja Kurir Panjang dan Minim Jaminan Kesehatan
Perkembangan e-commerce juga mempengaruhi jam kerja dan beban kerja untuk kurir-kurir pengantar paket. Sayangnya, hak-hak mereka juga masih banyak diabaikan.
Buletin Insight edisi Juli 2021 yang diterbitkan IGPA Press, Magister Adminstrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada mengungkap, rerata driver di GoKilat—yakni sebuah layanan pengiriman barang sehari sampai dari GoTo, memiliki jam kerja 11,2 jam per hari.
Sebanyak 60 persen kurir dari 662 kurir GoKilat yang dilibatkan dalam penelitian mengaku tidak memiliki jaminan kesehatan dan 97 persen kurir bilang mereka tidak memiliki asuransi kendaraan.
Tak hanya itu, pendapatan bersih kurir GoKilat di Jabodetabek pada Mei 2021 juga terhitung di bawah Upah Minum Provinsi (UMP), yakni Rp1,66 juta sementara UMP DKI Jakarta pada 2021 sebesar Rp4,42 juta.
Masalah lainnya juga mencakup hubungan kemitraan yang dikuasai secara sepihak oleh perusahaan platform dan tidak adanya jaminan pendapatan dasar.
Pada medio Februari ini bahkan sebuah akun Twitter mengunggah foto seorang kurir ekspedisi yang meninggal lantaran diduga kelelahan, ketika ia mengantar paket di perumahan Kawasan Kembangan, Jakarta Barat.
Kendati keterangan dari Kapolsek Kembangan menyatakan korban memiliki riwayat sakit jantung, Kementerian Ketengakerjaan, seperti diberitakan Kompas.com pada 13 Agustus 2021 pernah berujar bahwa jam kerja yang panjang menjadi penyebab utama para kurir mengalami kecelakaan di jalan raya.
Nailul Huda dari INDEF berpendapat, persoalan kurir ini memang masih menjadi diskusi yang cukup serius apakah mereka disebut sebagai pekerja atau mitra.
“Karena kalau mitra seharusnya jadi mitra yang fleksibel, secara waktu, dan sebagainya. Nah ketika disebut pekerja pasti ada hak-hak pekerja yang harus dipenuhi oleh perusahaan,” katanya.
Editor: Farida Susanty