tirto.id - Seorang ilmuwan nuklir Iran hilang. Demikian dilaporkan The Guardian edisi 7 Oktober 2009. Amerika Serikat dituding sebagai biang kerok di balik kehilangan ini.
Shahram Amiri, ilmuwan itu, hilang saat menjalankan ibadah Umroh di Arab Saudi. Pemerintah Iran langsung mempertanyakan kembali kesepakatan uranium yang baru ditandatangani sepekan sebelum Amiri raib.
Shahram Amiri adalah ahli isotop radioaktif untuk keperluan medis di Universitas Malek Ashtar, Teheran. Karena hilang di Arab Saudi, pemerintah Iran melalui juru bicara Kementerian Luar Negeri Hasan Qashqavi mendesak agar mereka bertanggung jawab. Untuk mendukung tuduhan keterlibatan AS, menteri luar negeri Iran, Manouchehr Mottaki, mengumpulkan sejumlah bukti.
Sebagai bagian dalam proyek nuklir Iran, posisi Amiri sangat strategis karena mengetahui berbagai informasi penting dan rahasia. Apalagi saat itu situasi politik internasional sedang memanas karena tingginya rasa saling curiga antarnegara soal teknologi nuklir dan uranium dunia. Semua individu yang terlibat dalam proyek nuklir bisa menjadi sumber penyelidikan penting.
Meski aktif di Universitas Malek Ashtar, pemerintah Iran yang mempekerjakannya dalam proyek nuklir tidak pernah mengumumkan keterlibatan Amiri. Sebuah laporan di Iran bahkan menyebutkan bahwa Amiri sebenarnya juga bekerja untuk Atomic Energy Organization of Iran (AEOI), agensi resmi milik pemerintah Iran yang bertugas mengoperasikan nuklir dan bertanggung jawab atas instalasi nuklir nasional. Namun, kepala AEOI, Ali Akbar Salehi, membantah hal tersebut.
Belakangan, sebuah laporan dari ABC News menyebutkan bahwa Amiri adalah peneliti di universitas yang terlibat aktif dalam proyek Kementerian Pertahanan Iran dalam mendirikan pelatihan rudal nasional pada akhir 2003.
Rektor universitas itu merupakan seorang letnan jenderal yang pada 2006 terdaftar sebagai salah satu dari tujuh orang yang terlibat dalam program pengembangan senjata nuklir.
Hilangnya Amiri sontak menimbulkan berbagai spekulasi. Salah satu yang paling kuat adalah bahwa ia terlibat dalam proyek uranium kedua di dekat kota Qom, karena ia hilang tiga bulan sebelum fasilitas uranium itu terungkap ke media. Hal ini membuatnya dicurigai telah membocorkan informasi itu ke dunia Barat.
Pemberitaan media di AS juga mengerucut pada tuduhan tersebut. The New York Times, misalnya, menyebutkan bahwa “sumber” di Washington mengonfirmasi Amiri sebagai mata-mata AS di Iran selama beberapa tahun.
Ia bahkan disebut sebagai tokoh penting yang membantu menyusun laporan intelijen pada 2007. Pemerintahan Obama kala itu juga meyebutkan soal kekhawatiran mereka akan keselamatan Amiri jika ia kembali ke Iran.
Associated Press ikut memperkeruh keadaan dengan menyebut dana sebesar 5 juta dolar diberikan AS sebagai kompensasi atas informasi signifikan yang dibeberkan Amiri.
Kembali ke Iran dan Dieksekusi Mati
Surat kabar Arab Saudi, Asharq Al-Awsat, memberitakan soal menteri Mottaki yang mengajukan keluhan resmi ke PBB. Pengaduan itu mengajukan tiga nama ilmuwan Iran yang hilang dalam beberapa tahun terakhir. Mottaki sebenarnya juga khawatir mereka bertiga telah membocorkan rahasia nuklir Iran.
Merujuk pada laporan itu, Ali Reza Asgari, mantan wakil menteri pertahanan, juga menghilang di Turki pada 2007. Pemerintah Iran mencurigainya telah membelot ke AS melalui program The Brain Drain yang diorganisasi CIA sejak 2005.
Akan tetapi kasus Amiri berbeda dengan Asgari. Pada 13 Juli 2010, Amiri rupanya mendatangi Kedutaan Besar Pakistan di Washington. Ia memohon bantuan agar bisa kembali ke Iran. Saat itu, ia mendengar dari seorang pejabat senior AS bahwa otoritas pemerintah Iran telah mengancam akan menyakiti keluarga Amiri di Iran jika ia tidak kembali.
Di Washington, Amiri menjelaskan perihal hilangnya ia di Arab Saudi. Ia mengklaim bahwa ketika sedang umroh, dirinya dibius lalu diculik oleh agen AS. Dalam penculikan ia mengaku disiksa.
Sehari kemudian, Amiri diterbangkan ke rumahnya di Iran melalui Turki. Setelah mempelajari kasus Amiri, Hillary Clinton, menteri sekretaris negara AS kala itu, menyatakan bahwa Amiri berada di AS atas kehendaknya sendiri dan ia bebas untuk keluar dari AS kapanpun ia mau. Spekulasi kembali berkembang di kalangan media bahwa Amiri memang sengaja pulang untuk meredam tekanan pemerintah Iran terhadap keluarganya.
Pada 15 Juli 2010, ia tiba di Iran dan disambut oleh para pejabat Kementerian Luar Negeri. Konferensi pers langsung digelar untuk menjelaskan situasi yang dialaminya. Di Teheran, Amiri mengumumkan soal penculikannya di Arab Saudi.
Yang cukup mengagetkan adalah pengakuannya mengenai tawaran dana 50 juta dolar AS. Dana itu akan diberikan padanya jika ia mau mengaku sebagai ilmuwan nuklir yang mencari suaka politik dan memohon perlindungan dari pemerintah AS.
Dalam konferensi pers itu ia sekaligus mengaku menolak semua tawaran dan tidak memberikan informasi apapun yang merugikan negaranya sendiri.
Pengakuan Amiri tidak berhasil meredam spekulasi yang telanjur berkembang liar. Fars News Agency di Iran mengklaim bahwa ia secara rahasia telah bekerja untuk intelijen Iran ketika di AS. Ia disebut mengumpulkan data-data mengenai pekerjaan CIA dan mencari tahu apa saja yang telah diketahui oleh pihak AS.
Sejauh mana kebenaran klaim ini tidak pernah diketahui secara pasti. Otoritas AS dengan tegas menolak klaim ini dan mengatakan bahwa segala informasi rahasia CIA tidak pernah bocor atau diakses oleh pihak luar.
Paul Pilar, mantan pejabat senior CIA, mengatakan kepada jurnalis Mike Shuster: kasus Amiri membuktikan bahwa dunia intelijen sangat gelap lantaran banyaknya kecurigaan dan minimnya fakta yang bisa diakses.
Keadaan ini juga akhirnya mengganggu aktivitas Amiri di Iran. Banyak pihak mulai mengancamnya karena berasumsi ia pengkhianat dan mata-mata asing. Pemerintah Iran tidak punya pilihan lain selain menahan Amiri.
Penahanan itu sekaligus memberikan perlindungan kepadanya dan keluarganya dari segala ancaman, baik dari dalam maupun luar negeri.
Kecurigaan dan spekulasi itu tidak pernah mereda bahkan hingga enam tahun sejak kembalinya Amiri ke Iran. Akan tetapi, informasi mengenai apa yang terjadi setelah kepulangannya sangat terbatas. Asgar Amiri, ayahnya, sempat mengabarkan kepada BBC bahwa intelijen Iran telah menahannya di sebuah tempat rahasia.
Pada 2 Agustus 2016, Amiri mengabarkan kepada kedua orang tuanya mengenai kemungkinan kematiannya dalam waktu dekat. Ia merasa perkembangan kasus ini semakin merugikan dirinya dan keluarga. Eksekusi mati oleh pemerintah Iran tampaknya menjadi satu-satunya jalan keluar.
Esoknya, 3 Agustus 2016, tepat hari ini enam tahun lalu, ia dieksekusi dengan alasan telah membeberkan informasi vital mengenai proyek nuklir Iran kepada intelijen AS. Empat hari kemudian, juru bicara Iran menyatakan bahwa Amiri telah dihukum gantung karena membeberkan rahasia program nuklir.
Jenazahnya dikembalikan kepada keluarganya dengan luka bekas gantungan di leher. Setelah kematiannya, ketegangan politik AS-Iran tidak mereda.
Penulis: Tyson Tirta
Editor: Irfan Teguh Pribadi