tirto.id - Angga Indrawan hanya bisa memandang kosong bangunan setengah jadi di depannya. Bangunan itu kopong tak beratap dan disekat empat ruangan utama. Namun, alih-alih terisi furnitur selayaknya rumah, bangunan itu hanya dipenuhi rumput liar.
Jika segala urusan dengan pengembang lancar, seharusnya bangunan itu bakal menjadi istana bagi keluarga kecilnya. Sayang, kenyataan justru berkata lain. Tanda jadi sebesar Rp60 juta yang ia gunakan sebagai mahar untuk dapat memiliki rumah di Pondok Rajeg Hills lenyap tak tahu rimba. Kuat dugaan, uang muka darinya dan tujuh konsumen lain dibawa kabur si pengembang perumahan.
Kemalangan ini bermula ketika Angga dan sang istri, Ajeng, tengah mencari perumahan murah di sekitar Depok pada Desember 2015. Niat hati untuk memiliki rumah sendiri terpisah dari orangtua semakin mantap ketika menemukan promo perumahan tersebut di salah satu situsweb.
Pemikatnya menggiurkan: dengan Rp285 juta, mereka dapat memiliki rumah ukuran 36/72 meter persegi. Harga ini terjangkau bagi pasangan milenial seperti mereka. Daya tarik lain: lokasinya pun strategis.
“Lokasinya ini seksi. Dekat sekali dengan stasiun Pondok Rajeg. Kan, sebentar lagi mau dibuka stasiunnya,” ujar Angga.
Selanjutnya eksekusi. Pasangan ini memulai proses pembelian rumah dengan membayar tanda jadi sebesar Rp3 juta. Pada Mei 2016, mereka melanjutkan bayar uang muka Rp57 juta, dengan memecah lagi tabungan sekitar Rp1 juta untuk mengajukan aplikasi KPR.
“Pertama ke sini belum ada bangunan sama sekali. Tapi sudah dikaveling-kaveling,” ujar Angga, yang mengajak saya ke lokasi Pondok Rajeg Hills pada medio September lalu.
Kecurigaan bahwa ia tertipu muncul kala bulan ketiga usai pembayaran, pembangunan rumah yang saat itu sudah berjalan tiba-tiba mandek. Saat itu ia bertemu dengan Sudrajat, Direktur Utama PT Pangandika Cipta Perkasa, perusahaan pengembang Pondok Rajeg Hills.
Angga bermaksud meminta kembali uang muka. Namun, hasilnya nihil. Pihak pengembang berdalih tengah mengalami kesulitan keuangan sehingga berdampak pada pembangunan.
Selain calon rumah Angga, ada dua bangunan lain yang juga terbengkalai di kawasan itu.
Usut punya usut, tanah yang akan dibangun ternyata bukan milik pengembang. Lahan seluas 800 meter persegi itu adalah milik Nurhadi, warga setempat yang bekerjasama dengan si pengembang.
“Sistemnya bagi hasil. Saya 40 persen, dia 60 persen. Itu pun baru diberikan kalau semua rumah sudah terjual,” ujar Nurhadi.
Selain lahan yang bukan milik Angga, kejanggalan lain adalah pihak pengembang berutang kepada toko material. Utang yang diperkirakan mencapai Rp300 juta itu seyogyanya dipakai buat membangun perumahan Pondok Rajeg Hills.
Beberapa kali Angga mencoba menemui Sudrajat di kantornya, kawasan Pondok Pucung, untuk menagih uang muka yang tak kunjung dikembalikan. Namun, yang ia dapatkan hanyalah kantor kosong tak terawat, bahkan tidak ada karyawan sama sekali.
Kesal dengan ulah si direktur, bersama korban lain dari calon penghuni Pondok Rajeg Hills, Angga melaporkan pria itu ke Polres Depok dengan tuduhan penipuan. Sayang, kasusnya mengendap begitu saja.
Redaksi Tirto mencoba menghubungi kontak Sudrajat untuk mengonfirmasi tuduhan tersebut. Sayangnya, nomor yang kami miliki tak tersambung.
Masih Lahan Sengketa
Kisah serupa terjadi pada Kusworo, warga Cibubur, Jakarta Timur, yang jadi korban pengembang nakal.
Saat itu Kusworo, yang masih tinggal bersama mertuanya, hendak mencari tempat tinggal untuk keluarga barunya. Pilihan jatuh kepada The Green City, Jatiasih, Bekasi. Lokasi yang dekat dengan sang mertua serta uang muka murah, yakni Rp17 juta, membuatnya tanpa pikir panjang membeli satu kaveling di perumahan itu.
Sampailah pada waktu peluncuran terbatas ketika Kusworo mulai curiga lantaran yang hadir sedikit. Padahal, menurut sesumbar sang pengembang, perumahan itu sudah habis terjual hingga sekitar 200 unit. Apalagi hari itu dijadwalkan akan ada akad dengan pihak bank. Alih-alih akad, acara itu justru diisi hiburan semata.
Selang dua bulan, lutut Kusworo dibuat lemas saat mendengar perumahan milik PT Grahavia Ciptaperindo itu masih di atas lahan sengketa dengan pihak TNI Angkatan Udara. Padahal, sebelumnya, ia sempat mengecek rekam jejak sang pengembang yang diklaim pernah sukses membangun di sejumlah kawasan, terutama di daerah Bogor.
Ikhtiar untuk mendapatkan kembali uangnya berbuah nihil. Kantor pemasaran The Green City kini berpindah nama perusahaan lain. Sementara nomor kontak pihak pengembang sudah tak bisa dihubungi.
“Saya jadi trauma mau DP rumah sekarang,” ujar Kusworo.
Redaksi Tirto juga menemui jalan buntu ketika saat mengonfirmasi kasus ini ke pihak pengembang The Green City.
Bola Liar Industri Properti
Kisah Angga Indrawan dan Kusworo hanya sekelumit dari ratusan kasus penipuan pengembang properti di Jakarta maupun kawasan kota penyangga. Dari catatan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), penipuan properti menduduki peringkat kedua dalam lima tahun terakhir setelah penipuan perbankan. Ini menjadi menarik lantaran pengguna jasa perbankan setiap hari sangatlah besar. Sementara di bidang properti, konsumen cenderung lebih sedikit.
“YLKI berkesimpulan ada masalah sistemik dari sisi industri perumahan. Karena kecenderungannya stabil dan masalahnya hanya itu-itu saja. Hanya pelakunya saja yang berganti. Ini membuktikan ada yang salah dari sistem industri perumahan,” ujar Mustafa Aqib Bintoro, staf pengaduan dan hukum YLKI.
Pada 2014, jumlah pengaduan yang masuk sebanyak 157 pengaduan, kemudian meningkat pada 2015 sebanyak 160 pengaduan. Jumlah ini menurun menjadi 123 pengaduan pada 2016. Kendati begitu, angka ini tidak menggambarkan segunung kasus sebenarnya lantaran dari satu pengaduan bisa saja terdiri dari sejumlah korban. Ini belum termasuk para konsumen yang enggan melapor dan memilih mengikhlaskan.
Dari pengaduan itu, masalahnya beragam, dari gagal bangun, wanprestasi, hingga kesulitan melakukan refund karena pengembang kabur.
YLKI melihat kompleksitas permasalahan properti ini terletak pada implementasi undang-undang yang “tidak maksimal.”
Misalnya, untuk dapat memasarkan perumahan, setidaknya pengembang harus mengantongi beberapa izin seperti IMB, status kepemilikan tanah, ketersediaan fasum dan fasus, hingga bangunan rumah yang setidaknya rampung hingga 20 persen. Ini tercantum pada pasal 42 ayat 2 Undang-Undang 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
“Namun pada praktiknya, banyak konsumen yang tidak tahu dan ketidaktahuan ini dimanfaatkan oleh segelintir pengembang nakal,” imbuh Mustafa.
Baca juga: Antara Rumah Tapak dan Apartemen
Jika merujuk pasal tersebut, jelas Pondok Rajeg Hills maupun The Green City telah melakukan sejumlah pelanggaran dan tak seharusnya melakukan aktivitas pemasaran. Sejumlah pelanggaran itu antara lain ketidakjelasan kepemilikan tanah, belum tersedianya fasilitas umum dan khusus seperti yang dijanjikan, hingga bangunan yang bahkan belum jadi.
Industri properti menjadi bola liar di lapangan lantaran kendornya pengawasan. Jika sudah begini, lagi-lagi masyarakat menjadi korban terutama bagi pasangan muda yang hendak memiliki rumah.
Di satu sisi, dari segi pendapatan, mereka belum mampu membeli properti dengan harga premium. Di sisi lain, mereka justru kerap dihadapkan dengan risiko penipuan demi memiliki hunian yang sesuai kantong mereka. Maju kena, mundur pun kena.
====
Keterangan foto: Rumah berukuran 36/72 meter persegi yang mangkrak oleh pengembang Pondok Rajeg Hills, perbatasan Depok-Bogor, Selasa (26/9). Tirto.id/Arimacs Wilander
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam