Menuju konten utama

Mayoritas Warga Kota Tak Bisa Beli rumah dari Pasar Properti

Lahan perkotaan telah jadi rebutan swasta sebagai objek spekulasi dan monopoli sehingga bikin harganya meroket tinggi.

Mayoritas Warga Kota Tak Bisa Beli rumah dari Pasar Properti
Tampak bangunan kontras antara apartemen dan pemukiman kumuh di Penjaringan, Jakarta Utara, Kamis (27/4). tirto.id/Arimacs Wilander

tirto.id - Tiga tahun konsisten menempati peringkat kedua jumlah pengaduan penipuan terbanyak, bisnis properti semakin liar di lapangan lantaran bergerak tanpa pengawasan. Nihilnya pengawasan ini implikasi tiada peraturan komplementer dari Undang-Undang Perumahan dan Kawasan Permukiman yang seharusnya digodok sejak legislasi itu disahkan pada 2011.

Baca juga: Seribu Akal Pengembang Nakal

Misalnya, pasal 42 ayat 3 yang mengatur sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli—kerap pula disebut Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)—menyebutkan bahwa ketentuan dalam pasal tersebut akan dibahas lebih lanjut lewat Peraturan Menteri. Namun, hingga enam tahun terakhir, peraturan macam ini tak kunjung dibikin.

Kekosongan hukum inilah, yang menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia serta Asosiasi Penghuni Rumah Susun Seluruh Indonesiaorganisasi nonpemerintah yang memperkuat hak-hak konsumen—dimanfaatkan oleh sejumlah pengembang nakal.

Regulasi yang belum mumpuni ini tumpang-tindih dalam birokrasi. Misalnya, saat perizinan, pengembang harus mendapat izin usaha dari Kementerian Hukum dan HAM, lalu ke pemerintah daerah untuk mendapatkan izin mengembangkan lahan, serta pembiayaan ke pihak bank.

Situasi itu diperparah angka kesenjangan antara jumlah rumah terbangun dan jumlah rumah yang dibutuhkan rakyat, atau disebut backlog. Hingga 2016, angka backlog mencapai 11 juta rumah tangga.

Pemerintahan Joko Widodo tengah mengebut pengerjaan apa yang disebut "Program Satu Juta Rumah." Ia baru berhasil membangun hingga sekitar 623 ribu unit. Bila pun program ini sukses seratus persen, masih ada gap 10 juta rumah tangga yang tidak mendapatkan hunian.

Pemerintah melibatkan peran swasta untuk memenuhi kebutuhan perumahan, selain properti juga menjadi salah satu bisnis paling menarik bagi pengusaha memanen laba. Ia juga membuka celah sejumlah kasus penipuan. Dari permasalahan gagal bangun, transaksi, hingga sertifikat.

“Gagal bangun itu biasanya karena pengembang mengalami kesulitan keuangan. Jadi mereka menggunakan uang yang dihimpun dari uang muka konsumen untuk membebaskan lahan di tempat lain. Karena bank tidak mengeluarkan kredit untuk itu,” ujar Paulus Totok Lusida, Sekretaris Jenderal Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia, sebuah asosiasi pengembang yang dibentuk pada 1972.

Paulus mengatakan, Real Estat Indonesia memiliki 3.700 anggota di seluruh Indonesia, dan sekalipun ada pengembang yang belum terdaftar, bukan berarti tidaklah kredibel. Ia mengklaim memiliki data pengembang nakal, tapi enggan mempublikasikan karena khawatir terjerat pencemaran nama baik.

Dadang Rukmana, Direktur Rumah Umum dan Komersial dari Direktorat Penyediaan Perumahan, Kementerian PUPR, mengatakan bahwa bila dibuat peraturan yang mengharuskan bangunan rampung seratus persen sebagai syarat transaksi, maka tidak ada pengembang yang mau membangun rumah.

"Sementara kebutuhan rumah masih sedemikian besar,” ujarnya.

Aturan yang disebutkan Dadang adalah kewajiban pengembang setidaknya merampungkan 20 persen dari seluruh pembangunan properti. Dari sana, pengembang bisa menjual propertinya kepada calon konsumen. Klausul ini diatur baik dalam legislasi untuk rumah tapak maupun rumah susun. Ini menjadi celah pengembang memainkan sekaligus memeras pembeli.

Baca juga: Celah Pengusaha Bisnis Properti Menipu Konsumen

Menurut Dadang, praktik penipuan dalam bisnis properti terjadi karena tidak ada transparansi dari pengembang sejak awal. “Maka konsumen harus hati-hati. Cek dulu semuanya sebelum membeli. Baik itu izin lokasi, sertifikat kepemilikan lahan, IMB, dan lain-lain.”

Pendeknya, konsumen harus siap dengan risiko dari jerat bisnis properti yang sudah kadung ia beli. Ketika sudah tertipu, dari puluhan juta hingga miliaran rupiah, konsumen kerap kali tidak tahu kemana harus mengadu. Padahal, legislasi mendelegasikan bahwa pemerintah berperan sebagai badan pengawasan transaksi properti.

Namun, peran itu diserahkan pada pemerintah daerah. “Karena pemda yang berhadapan langsung dengan konsumen dan pengembang. Kami di sini sebagai regulasi saja,” ujar Dadang. Bila konsumen tertipu? “Laporkan saja. Ada mekanismenya, kan,” imbuhnya.

Mekanisme buntet macam itu menempatkan konsumen dalam posisi tawar yang lemah.

Bila Anda berselancar di internet, ada banyak sekali informasi yang memperingatkan Anda untuk "berhati-hati" sebelum membeli propertisebuah puncak gunung es dari problem laten bisnis perumahan di Indonesia. Anda, misalnya, diwanti-wanti agar: 1) Jangan cepat tergiur uang persekot alias DP murah; 2) Harus cek izin lokasi lebih dulu; 3) Cek Izin Mendirikan Bangunan; 4) Cek status lahan; 5) Cari tahu rekam jejak pengembang; dan 6) Bangunan harus sudah jadi minimal 20 persen.

Selain itu, dalam memilih calon hunian, Anda juga memperhitungkan faktor macam akses seperti dekat dengan stasiun, tol, atau bandara. Juga ketersediaan sarana dan prasarana serta keamanan lingkungan, psikologis, hingga daya dukung lingkungan.

Baca juga: Lingkaran Setan Membeli Apartemen

Infografik HL Indepth Pengembang Nakal

Bisnis Land Banking

Fantastisnya angka backlog perumahan di Indonesia bisa dilacak, salah satunya, betapa kalah cepat langkah pemerintah merespons "arus urbanisasi, kepadatan penduduk, dan tingkat kemiskinan yang tinggi," demikian sorotan Raquel Rolnik, pelapor khusus PBB tentang perumahan layak huni, empat tahun lalu di Jakarta.

"[Itu] memberi tantangan serius bagi terealisasinya hak atas perumahan layak bagi seluruh rakyat Indonesia. Tantangan-tantangan ini diperparah oleh sebagian besar wilayah Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim dan bencana alam, khususnya banjir, letusan gunung berapi, dan gempa bumi," ujar Rolnik.

Bisnis lahan telah jadi ladang swastanisasi sejak era Tanam Paksa pada dekade 1830-an hingga era diperkenalkan UU Agraria sejak 1870-an. Bergerak cepat di bawah pemerintahan Orde Baru, sejak 1970-an, segelintir pengusaha mulai membeli lahan sebagai investasi di masa depan. Pada 1990-an, misalnya, Lippo Group sudah membeli lahan di Cikarang. Kini, nilai tanah itu berkali-kali lipat dan dibangun megaproyek Meikarta.

Baca juga:

Swastanisasi Gula, Meliberalkan Jawa

Lahan Megaproyek Meikarta: Beli Murah Jual Mahal ala Lippo

“Yang salah siapa? Kita semua," ujar Dadang Rukmana menyinggung langkah pemerintah yang kalah cepat dengan swasta. "Mengapa dibiarkan? Tapi apakah pengembang harus dilarang? Kalau dilarang apa solusinya?”

Karena itu, pemerintah tengah membuat apa yang ia sebut program "shadow land banking" sebagai alternatif bank lahan. Mekanismenya, tanah milik negara atau tanah yang dulunya hasil pembebasan lahan, akan diidentifikasikan mana saja yang sesuai untuk dibangun lahan perumahan.

Namun, problem mendasarnya juga terletak pada cara pandang pemerintah melihat apa yang disebut perumahan layak huni. Raquel Rolnik dalam pengamatannya selama mengunjungi sejumlah perkotaan di Indonesia menyebut bahwa sektor perumahan semakin parah dalam 15 tahun terakhir karena para pengembang swasta mendominasi pembangunan perkotaan di Indonesia.

"Baru-baru ini real estate menjadi salah satu komoditas paling penting yang diperdagangkan di bursa saham," ujarnya, mengutip informasi dari Bank Tabungan Negara. Ada komersialisasi tanah perkotaan yang tersebar luas, diikuti spekulasi dan monopoli tanah "yang tidak terkontrol" sehingga bikin harga-harga tanah meroket tinggi, khususnya di pusat perkotaan. Dampaknya, ujar Rolnik, akses tanah makin sulit terjangkau bagi rumah tangga berpenghasilan rendah.

"Mayoritas populasi perkotaan tidak dapat membeli rumah dari pasar properti. Sebagian besar rumah yang dibangun oleh perusahaan real estate ditargetkan untuk investasi spekulatif oleh lebih dari 10 persen populasi perkotaan," tambahnya.

Ia menyebut, dalam dekade terakhir, lebih dari 30 proyek real estate berskala besar di Jabodetabek menempati lebih dari 30.000 hektare tanah, dan mengakomodasi hanya 7 persen dari 10 juta total pertumbuhan penduduk selama periode tersebut.

Pernyataan Rolnik itu dikemukakan pada 2013. Empat tahun belakangan marak kasus seperti penggusuran paksa hingga reklamasi. Bukannya membenahi, pemerintah pusat maupun daerah justru menjauhi apa yang diperingatkan oleh Rolnik.

Baca juga:

Balada Korban Penggusuran yang Tinggal di Rusun

Anak Muda Yogya Terancam Tunawisma

Nasib Milenial di Tengah Pusaran Ketimpangan Ekonomi

Sepertiga Milenial Membeli Rumah dengan Uang Orangtua

Baca juga artikel terkait PENGEMBANG PROPERTI atau tulisan lainnya dari Restu Diantina Putri

tirto.id - Bisnis
Reporter: Restu Diantina Putri
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam