tirto.id - Eropa kembali diguncang oleh berbagai aksi terorisme. Pada Senin malam (2/11) sedikitnya empat warga sipil meninggal dan dua puluh lebih luka-luka dalam kasus penembakan di dekat rumah ibadah umat Yahudi di kota Wina, Austria. Polisi berhasil menembak mati pelaku penembakan, Kujtim Fejzulai (20), pemuda Muslim berkewarganegaraan ganda Austria-Macedonia Utara. Sebelumnya, terjadi serangan dengan senjata tajam di tiga lokasi berbeda di Prancis.
Berdasarkan investigasi awal pihak berwenang, diketahui bahwa penyerang di Wina, Fejzulai, merupakan simpatisan ISIS. Unggahan Fejzulai di media sosial menunjukkan swafoto dengan senjata, disertai baiat atau sumpah setia untuk pemimpin ISIS, Abu Ibrahim. Terdapat juga foto peluru yang dirangkai sedemikian rupa membentuk kata “baqiya”, yang merujuk pada motto ISIS berbunyi “baqiya wa tatamadad” ( abadi dan meluas).
Tak lama setelah peristiwa berakhir, ISIS mengklaim serangan di Wina sebagai hasil kerjanya, tanpa menyertakan bukti apakah ISIS berperan mengarahkan pelaku atau sekadar membuatnya terinspirasi.
Meskipun diduga beraksi sendirian, pihak berwenang Austria tidak menutup kemungkinan Fejzulai dibantu oleh pihak lain. Sampai saat ini, polisi sudah menahan sedikitnya 14 orang yang diduga terlibat serangan tersebut.
Pada Juli 2020, Fejzulai dilaporkan pergi ke Slovakia untuk membeli amunisi senjata. Namun, upaya tersebut gagal karena ia tidak bisa menunjukkan surat izin kepemilikan senjata. Pihak berwenang Slovakia sudah memperingatkan pemerintah Austria tentang usaha pembelian amunisi Fejzulai. Akan tetapi intelijen Austria lalai menanggapinya, diduga karena permasalahan di jalur komunikasi.
Pemerintah Austria pun sempat berdebat tentang bagaimana serangan di Wina seharusnya dapat dicegah. Seperti dikutip dari The Guardian, Kanselir Sebastian Kurz dan Menteri Dalam Negeri Karl Nehammer, yang sama-sama berasal dari Partai Rakyat (ÖVP) yang berhaluan konservatif, menyayangkan Fejzulai dilepaskan dari penjara terlalu dini. Akibatnya, tanda-tanda Fejzulai sebagai seorang ekstremis tidak sempat terdeteksi. Pada April 2019, Fejzulai dijatuhi hukuman penjara 22 bulan karena berusaha pergi ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS. Ia dibebaskan setelah ditahan selama 8 bulan.
Menteri Hukum Austria, yang berasal dari Partai Hijau, Alma Zadić, tidak sependapat dengan Kurz dan Nehammer. Menurutnya, pembebasan bersyarat kepada Fejzulai adalah langkah yang legal. Justru, seandainya Kementerian Hukum diperingatkan tentang upayanya membeli amunisi di Slovakia, Fejzulai bisa ditahan sebelum melangsungkan aksi penembakan.
Investigasi masih berjalan untuk mengupas latar belakang Fejzulai dan motif penyerangannya. Masih dilansir dari The Guardian yang mengutip media berbahasa Jerman Bild, Fejzulai terlihat seperti pemuda yang masih mencari-cari sesuatu dalam hidupnya, sebagaimana yang disampaikan Nikolaus Rast, pengacara Fejzulai tahun lalu. Menurut Rast, Fejzulai “tidak tahu posisinya di dalam masyarakat” dan kesulitan untuk menemukan sesuatu untuk dipelajari, sehingga ia menjadi “mangsa yang mudah diincar oleh kelompok-kelompok tertentu”.
Dilansir dari AP News, Kanselir Kurz menegaskan aksi oleh Fejzulai sebagai “serangan teror Islamis” yang didorong oleh “kebencian terhadap nilai-nilai fundamental kami, kebencian terhadap jalan hidup kami, kebencian terhadap demokrasi kami di mana semua orang punya hak-hak setara dan martabat”.
Serangan di Wina membuat banyak pihak terkejut dan bertanya-tanya: bagaimana bisa Austria yang selama ini relatif adem-ayem bisa menjadi sasaran terorisme. Menurut studi Hofingera dan Schmidinger
yang terbit awal tahun ini di Journal for Deradicalization, meskipun otoritas Austria melakukan penangkapan jihadis yang dicurigai merencanakan serangannya di sana, Austria belum pernah mendapat serangan yang berafiliasi dengan ISIS sejak dideklarasikan pada 2014.
Terlepas dari itu, hasil studi Hofingera dan Schmidinger menunjukkan Austria sebagai negara kedua di Uni Eropa, setelah Belgia, yang mempunyai jumlah jihadis di Irak dan Suriah tertinggi per kapita. Pada 2018, Menteri Dalam Negeri Austria menyatakan sekitar 300 orang telah meninggalkan atau—berusaha meninggalkan Austria—untuk bergabung dengan ISIS di Suriah dan Irak sejak 2011.
Dikutip dari The Local, ahli politik Timur Tengah Thomas Schmidinger menyatakan tak terkejut dengan serangan teroris di Wina pada awal November ini, mengingat berbagai insiden serupa sudah terjadi di berbagai kota besar Eropa. Schmidinger bahkan memperkirakan terdapat ratusan simpatisan ISIS di Wina. Ia juga menegaskan bahwa tragedi Wina merupakan “aksi terorisme didikan lokal”, yakni terorisme yang dilakukan oleh seseorang yang tumbuh dan hidup di Wina, sehingga serangan pun dilancarkan di kota yang familiar bagi si pelaku. Pelaku teror Wina, Fejzulai, diketahui lahir dan besar di kota Moedling, area pinggiran di Wina selatan.
Upaya Austria Menghalau “Islam Politik”
Strategi untuk melawan aksi terorisme oleh gerakan jihad baru dimatangkan oleh pemerintah Austria melalui undang-undang anti-terorisme tahun 2014. Aturan tersebut melarang berbagai simbol kelompok ISIS dan Al-Qaeda, serta memungkinkan pencabutan kewarganegaraan Austria bagi pemegang kewarganegaraan ganda yang terlibat konflik bersenjata. Dengan undang-undang tersebut, anak-anak atau remaja yang dicurigai mau bergabung dengan gerakan ISIS di Timur Tengah pun bisa dihalau agar batal berangkat.
Pada 2017, pemerintah Austria melarang penggunaan niqab (penutup kepala yang masih memperlihatkan mata) dan burka (penutup kepala utuh dengan jaring untuk bagian mata) di ruang publik. Walaupun larangan tersebut adalah bagian dari kebijakan integrasi untuk mengurangi ekspresi Islam ortodoks di tempat umum, pada praktiknya berbagai bentuk penutup wajah di luar konteks praktik beragama turut dilarang. Akibatnya, sebagaimana dikritik oleh polisi Austria, aturan tersebut justru berdampak pada orang-orang yang memakai masker pelindung, perlengkapan ski, sampai kostum karakter lucu. Pada saat bersamaan, diperkirakan jumlah perempuan Muslim dengan penutup kepala di Austria jumlahnya hanya sedikit, tak sampai 150 orang.
Seiring berlakunya aturan tersebut, pada penghujung 2017 Sebastian Kurz terpilih sebagai Kanselir Austria. Di bawah kepemimpinannya, terbentuklah koalisi baru pemerintah yang terdiri atas Partai Rakyat (ÖVP) yang berhaluan konservatif dan Partai Kebebasan (FPÖ) yang beraliran neofasis. Kedua partai tersebut dikenal vokal menyuarakan pandangan anti-imigran dan perlawanan terhadap “Islam politik”. Dikutip dari berita AP News pada 2018, Kanselir Kurz mengungkapkan bahwa tidak ada tempat negaranya bagi “masyarakat paralel Islam politik dan kecenderungan untuk menjadi radikal.”
Pada 2018 pula, pemerintah Austria berencana menutup tujuh masjid yang diduga menyebarkan ajaran Islam radikal, serta memulangkan puluhan imam ke negara asalnya karena disinyalir mempunyai hubungan dengan organisasi Asosiasi Budaya Islam Turki (ATIB) yang dibiayai oleh Diyanet, otoritas agama negara Turki. Masjid yang menjadi perhatian pemerintah Austria salah satunya terletak di distrik kelas pekerja di Favoriten, Wina yang banyak ditinggali oleh berbagai etnis, termasuk orang Turki. Masjid tersebut rupanya dikelola oleh Grey Wolves, kelompok ultranasionalis sayap kanan Turki. Langkah-langkah penutupan masjid dan pemulangan imam tersebut diperkokoh lagi oleh sebuah aturan tahun 2015, yang di antaranya melarang pendanaan asing terhadap organisasi agama di Austria.
Upaya melawan “Islam politik” oleh pemerintah Austria semakin diperkuat dengan larangan berjilbab bagi anak perempuan Muslim di lingkungan taman kanak-kanak dan sekolah dasar pada 2019. Dikutip dari Deutsche Welle,juru bicara bidang pendidikan Partai Kebebasan, Wendelin Mölzer, menegaskan bahwa aturan tersebut merupakan “isyarat untuk menantang Islam politik” sekaligus upaya mendorong integrasi. Sementara Rudolf Taschner dari Partai Rakyat mengungkapkan perlunya aturan tersebut untuk membebaskan anak perempuan dari ketertundukan.
Charlie Hebdo dan Serangan di Prancis
Tragedi di Austria adalah insiden terbaru yang menggegerkan Eropa setelah Perancis mengalami serangan teroris secara beruntun. Akhir September lalu, seorang remaja kelahiran Pakistan dilaporkan melakukan penusukan terhadap dua staf stasiun televisi di depan bangunan yang dulunya adalah kantor koran satir Charlie Hebdo.
Pada 2015, kakak-beradik Said dan Cherif Kouachi tewas dalam pengejaran polisi setelah keduanya menembaki orang-orang yang bekerja di Charlie Hebdo. Motif penembakan didasari oleh rasa dendam atas publikasi kartun Nabi Muhammad di koran Charlie Hebdo, yang dianggap menodai agama Islam. Serangan Kouachi bersaudara menelan dua belas korban jiwa, termasuk jurnalis dan kartunis, pegawai gedung, dan aparat polisi. Kantor Charlie Hebdo kini sudah pindah ke lokasi yang dirahasiakan.
Kasus penusukan yang baru saja terjadi ini bertepatan dengan berjalannya proses pengadilan terhadap 14 orang yang terlibat penyerang Charlie Hebdo lima tahun silam. September lalu, Charlie Hebdo menerbitkan ulang karikatur Nabi Muhammad sebagai penanda bahwa pengadilan tersebut akan dimulai, sekaligus untuk menegaskan kembali hak kebebasan berekspresi. Pelaku penusukan di depan kantor lama Charlie Hebdo mengaku ingin membalas dendam atas publikasi ulang tersebut.
Tak lama kemudian, pada pertengahan Oktober, seorang guru sekolah di pinggiran Paris, Samuel Paty tewas akibat kepalanya dipenggal oleh remaja Muslim dari keluarga pengungsi etnis Chechen asal Rusia. Beberapa waktu sebelumnya, Paty mendiskusikan sekularisme di kelas dan menunjukkan karikatur Nabi Muhammad di koran Charlie Hebdo untuk menjelaskan kontroversi seputar kebebasan berekspresi. Si penyerang akhirnya tewas oleh peluru polisi.
Pada penghujung Oktober, tiga orang jemaat gereja di kota Nice di selatan Perancis, tewas setelah ditusuk dan digorok oleh pemuda Tunisia yang baru tiba di Eropa melalui Italia sekitar satu bulan sebelumnya. Para korban diduga bukan target terencana. Mereka kebetulan tengah beribadah di dalam Notre Dame Basilica ketika si penyerang memasuki gereja sambil membawa pisau dan kitab suci Al-Quran. Kondisi penyerang saat ini masih kritis sehingga polisi belum bisa menginvestigasi motifnya.
Kemunculan berbagai aksi kekerasan mendorong keluarnya pernyataan keras Presiden Perancis Emmanuel Macron. Dalam pidatonya di Mureaux pada 2 Oktober, Macron mengutuk “Islam radikal” dan ingin memberantas “separatisme Islamis” yang salah satunya bertujuan untuk “menciptakan tatanan paralel” di dalam pemerintahan Perancis. Ia juga menyampaikan rencananya untuk memperkuat nilai-nilai sekuler di kalangan Muslim Perancis melalui kontrol ketat terhadap pendanaan asing untuk kegiatan keagamaan hingga melarang pelatihan para imam di luar negeri. Macron juga menyampaikan bahwa agama Islam di berbagai belahan dunia tengah mengalami “krisis”.
Banlieues
Pernyataan dan sikap Macron menuai kritik, dimulai dari politisi sayap kiri di Perancis. Dikutip dari Euronews, Alexis Corbière dari Partai La France Insoumise menyayangkan sikap Macron yang fokus pada Islam radikal alih-alih solusi untuk mengatasi jurang kemiskinan atau masalah yang disebabkan oleh jurang sosial lainnya. Dari partai yang sama, Manon Aubry juga menganggap bahwa Macron telah menstigma umat Muslim untuk mengalihkan perhatian publik dari kegagalannya mengatasi berbagai macam krisis sosial.
Selama beberapa dekade terakhir, pemerintah Perancis dihadapkan pada keruwetan masalah sosio-ekonomi penduduk di banlieues atau area pemukiman di pinggir kota-kota besar, terutama di tepi ibu kota Paris. Banlieues dikenal sebagai pemukiman imigran. Daerah ini sangat miskin dan angka kriminalitasnya tinggi. Banyak pihak mengkhawatirkan banlieues berpotensi menjadi sarang berkembangnya ekstremisme Islamis di dalam negeri.
Marginalisasi sosial dan terbatasnya kesempatan kerja bagi kalangan muda banlieues akhirnya memicu kerusuhan besar pada 2005. Kerusuhan ini dipicu oleh insiden tewasnya dua remaja imigran karena tersengat aliran listrik di sebuah gardu di area Clichy-sous-Bois, Paris utara. Keduanya diketahui sedang bersembunyi dari kejaran polisi. Dari sana, kerusuhan pun menyebar ke berbagai area pemukiman banlieues di penjuru negeri, sampai-sampai pemerintah Perancis mendeklarasikan darurat nasional.
Banlieues dan asosiasinya sebagai rumah bagi homegrown terrorist atau “teroris didikan lokal” pun semakin menjadi sorotan pada 2015. Kouachi bersaudara, pelaku penembakan di kantor Charlie Hebdo, lahir di Perancis dari orangtua asal Aljazair. Mereka tumbuh dalam kemiskinan dan terbiasa dengan kerasnya kehidupan banlieues sejak menjadi yatim-piatu pada usia remaja.
Dua hari setelah penembakan di kantor majalah Charlie Hebdo, Amedy Coulibaly menyekap dan membunuh empat orang Yahudi di supermarket kosher di Paris. Ia diketahui menyelaraskan serangan dengan penembakan di Charlie Hebdo oleh dua bersaudara Kouachi, yang juga merupakan sahabatnya. Tak berbeda dari Kouachi bersaudara, Coulibaly datang dari keluarga imigran Muslim asal Mali, namun lahir di Perancis dan besar di Grigny, banlieue di Paris selatan.
Sebelum Perancis pulih benar dari trauma serangan Charlie Hebdo, pada bulan November terjadi penembakan dan aksi bom bunuh diri di dalam gedung konser Bataclan di Paris, serta di luar stadium Stade de France di Saint-Denis, banlieue di Paris utara, yang menewaskan total 130 orang. Abdelhamid Abaaoud, seorang warga negara Belgia, diduga menjadi otak berbagai insiden tersebut. Bersama dengan beberapa rekan terorisnya, Abaaoud tewas dalam penggerebekan polisi di Saint-Denis. Diketahui pula bahwa dua teroris dalam gengnya, Omar Ismail Mostefai dan Samy Amimour, merupakan warga negara Perancis yang sempat bermukim di area pinggiran Courcouronnes dan Drancy.
Meskipun tidak semua teroris berasal dari kalangan imigran miskin di pinggiran kota, warga Muslim Perancis yang tinggal di area banlieues tetap merasa gelisah karena komunitas dan pemukimannya kerap dikambinghitamkan atas berbagai serangan teroris yang selama ini terjadi. Pada saat bersamaan, mereka merasa tidak berdaya terhadap menjamurnya ajaran Salafi radikal di “masjid-masjid bawah tanah”.
Editor: Windu Jusuf