Menuju konten utama

Seni Merelakan: Berdamai dengan yang Tak Bisa Dikendalikan

Mengikhlaskan hal-hal di luar kuasa kita bukanlah tanda kelemahan, melainkan strategi sehat untuk menghadapi kenyataan hidup yang dinamis.

Seni Merelakan: Berdamai dengan yang Tak Bisa Dikendalikan
Header diajeng Seni Merelakan. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Dalam hidup, ada banyak hal yang berjalan sesuai dengan keinginan kita, tetapi tidak sedikit pula yang justru terjadi di luar kendali.

Kita bisa berusaha sekuat tenaga, merencanakan dengan matang, atau berharap setinggi langit. Meski begitu, tetap saja ada ruang kosong yang tidak bisa kita isi dengan kontrol penuh.

Mulai dari hal-hal sederhana seperti cuaca yang tiba-tiba hujan deras saat sudah bersiap pergi, atau kemacetan panjang yang membuat rencana jadi berantakan, sampai hal-hal besar seperti kehilangan orang tercinta, perubahan drastis dalam pekerjaan, atau keputusan orang lain yang memengaruhi hidup kita.

Semua itu hadir sebagai pengingat bahwa tidak semuanya bisa kita genggam erat.

Dikutip Psychology Today, sering kali orang justru sibuk mengkhawatirkan hal-hal yang sebenarnya tidak bisa dikendalikannya.

Padahal, semakin keras seseorang berusaha menggenggamnya, semakin besar pula rasa lelah, tidak berdaya, bahkan putus asa yang muncul.

Dalam rangka menjaga ketenangan dan kesejahteraan batin, ada kalanya kita perlu belajar menerima bahwa memang ada hal-hal yang berada di luar kuasa diri sendiri.

Coba pikirkan sebentar, apa yang paling sering membuat kita menjadi cemas? Bisa jadi, jawabannya adalah tentang masa depan, tentang segala ketidakpastian yang terbawa di kehidupan.

Sebagian orang kemungkinan besar pernah terjebak di mana ia terlalu sibuk memikirkan apa kata orang, tonggak-tonggak kehidupan yang seharusnya sudah bisa dicapai, hingga terus menerus memutar berbagai skenario di kepalanya “bagaimana jika”.

Sayangnya, kebanyakan dari kekhawatiran itu nyaris mustahil untuk diprediksi atau dikendalikan. Akhirnya, energi habis untuk sesuatu yang tidak benar-benar bisa berubah.

Masyarakat, dan terutama kultur hustle cultureyang menuntut kita senantiasa produktif, biasanya mendorong kita untuk selalu “siap siaga,” seolah-olah kita harus mampu mengendalikan segalanya agar tidak ada celah untuk gagal atau kecewa.

Namun, pada kenyataannya, ini hanyalah pertempuran yang sia-sia.

Semakin keras kita mencoba mengendalikan yang tak terkendali, semakin kita kehilangan rasa damai.

Oleh karena itu, mungkin yang lebih bijak adalah belajar melepaskan, mengizinkan diri untuk tidak selalu pegang kendali, dan percaya bahwa ketenangan bisa muncul justru dari sikap menerima.

Laman Psych Central menulis, tidak bisa mengendalikan segala sesuatu yang ada di sekitar adalah hal yang wajar dan ini umum terjadi.

Beberapa kondisi tersebut seperti ketika seseorang tidak dapat mengendalikan cara berpikir dan bertindak rekan kerjanya, tidak dapat mengendalikan lalu lintas, dan tidak dapat mengendalikan apakah orang yang dicintai sakit.

Di satu sisi, menerima kenyataan bahwa tidak dapat mengendalikan hal-hal ini bisa jadi sulit.

Meskipun seseorang tidak dapat mengendalikan dunia di sekitarnya, tetapi ia dapat mengendalikan reaksi diri sendiri terhadapnya.

Belajar menerima dan mengatasi hal-hal yang tidak dapat dikendalikan dapat membantu seseorang menemukan ketenangan pikiran saat menghadapi situasi sulit. Hal ini juga dapat membantu untuk meredakan stres dan kecemasan.

Cara Berdamai dengan Sesuatu yang Berada di Luar Kendali

Menurut dr. Nurul Utami, Sp.KJ, untuk menyikapi hal-hal yang ada di luar kontrol kita, maka seseorang perlu terus melatih dirinya untuk selalu mengikhlaskan.

"Tentang bagaimana mengikhlaskan dengan situasi yang tidak bisa kita control, ada cara-cara yang bisa dilakukan untuk mengatasinya," kata psikiater yang biasa disapa dr. Tami ini kepada Diajeng.

1. Sadari Ketidakmampuan Mengontrol

Langkah pertama adalah menyadari bahwa ada aspek-aspek dalam hidup yang memang tidak bisa dikendalikan. "Menerima hal ini akan mengurangi perasaan frustasi dan insecure," ujar dr. Tami.

2. Fokus pada Hal yang Bisa Dikendalikan

Alih-alih berkutat pada hal yang di luar kuasa kamu, maka sebaiknya alihkan energi pada apa yang bisa dipengaruhi, seperti respons dan sikap kamu terhadap suatu peristiwa.

3. Kelola Perasaan dan Pikiran

Untuk bisa mengelola ini, dr. Tami menyarankan untuk bisa menerima perasaan tanpa menghakimi.

"Izinkan diri merasakan kecemasan atau kekecewaan tanpa mencoba menekan atau mengabaikannya. Menerima kehadiran perasaan ini adalah bagian dari proses melepaskan," imbuh dr. Tami.

4. Batasi Waktu Khawatir

Untuk membatasinya, maka kita perlu mengalokasikan waktu khusus, misalnya 10-15 menit, untuk memikirkan atau menuliskan kekhawatiran yang terjadi.

"Setelah waktu tersebut habis, alihkan perhatian pada kegiatan lain yang lebih rileks," jelas dr. Tami.

5. Beralih ke Kegiatan Positif

Cobalah untuk terlibat dalam aktivitas baru yang menantang, seperti hobi baru atau aktivitas fisik. Tantangan baru, lanjut dr. Tami, dapat membantu mengalihkan fokus dari stres.

6. Terus Belajar dan Berproses

Ikhlas adalah sebuah proses yang membutuhkan waktu dan usaha. Karenanya, teruslah belajar dan menggali potensi diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

7. Latih Rasa Syukur

Langkah terakhir yang bisa dilakukan, menurut dr Tami, adalah dengan terus melatih diri untuk selalu bersyukur.

Mengucapkan rasa syukur atas hal-hal yang dapat kita kendalikan dapat membantu mengurangi perasaan tidak berdaya dan meningkatkan ketahanan mental kita.

"Rasa sakit adalah masa lalu yang terus berlanjut. Hiduplah di masa sekarang dan bertumbuh pada masa depan lebih baik," tukas dr. Tami.

Seperti diwartakan Simply Psychology, melepaskan kendali memang terasa menakutkan, karena artinya kita berhadapan langsung dengan ketidakpastian.

Menariknya, justru di situlah letak keberanian: berani berkata pada diri sendiri, “Aku tidak bisa mengendalikan ini, dan itu tidak apa-apa.”

Berserah diri bukan berarti pasrah buta, melainkan percaya pada kemampuan diri untuk menghadapi apapun yang datang.

Dengan begitu, melepaskan bukanlah tanda kelemahan, melainkan kekuatan, pilihan untuk tetap melangkah meski rasa takut ada.

Kuncinya adalah menyadari bahwa hidup selalu berubah. Segala sesuatu bersifat sementara, dan berusaha mengikatnya hanya akan membuat kita lelah.

Dengan merangkul ketidakkekalan, kita belajar menghargai momen sekarang dan menemukan kebebasan di dalamnya.

Ikhlas melepaskan justru dapat membuat kita lebih tenang, lebih kuat, dan lebih damai.

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Dhita Koesno

tirto.id - Me Time
Penulis: Dhita Koesno
Editor: Sekar Kinasih