tirto.id - Masa liburan anak sekolah akhirnya usai sudah. Kini tiba waktunya bagi orang tua untuk mengevaluasi aktivitas yang kemarin sudah dijalani anak.
Apakah anak cukup menikmati agenda jalan-jalan saat berkunjung ke lokasi wisata di luar kota?
Ataukah mereka lebih nyaman mendekam di dalam kamar untuk menonton televisi dan bermain gawai—menyaksikan video-video lucu di YouTube dan konten-konten yang mengundang tawa di berbagai platform media sosial?
Di era gemerlap hiburan dari kecanggihan teknologi, kegiatan bersenang-senang yang melibatkan gerak badan terkesan tak lagi menarik bagi sebagian orang, tak terkecuali anak-anak.
Makna bersantai atau bermain seolah bergeser menjadi aktivitas yang berkutat dengan pemakaian gawai, seperti smartphone (telepon pintar) dan komputer tablet.
Ini jadi tantangan tersendiri bagi orang tua untuk mengatur waktu penggunaan layar perangkat elektronik, atau disebut screen time, pada anak sedari usia dini.
Melansir artikel di situs Mayo Clinic, American Academy of Pediatrics (AAP) tidak menganjurkan screen time—kecuali untuk panggilan video—pada anak-anak di bawah usia 18 bulan.
Sesuai pandangan AAP, screen time baru dapat diberikan ke anak-anak saat berusia 2 hingga 5 tahun. Pada anak kategori usia tersebut, durasi pun perlu dibatasi maksimal selama satu jam per hari, tentunya dengan tontonan yang berkualitas dan sudah diseleksi oleh orang tua.
Screen time yang kebablasan berdampak buruk bagi perkembangan anak. Sudah banyak pakar dan studi yang membahas tentang ini.
“Terdapat bukti bahwa kemungkinan ada beberapa perubahan struktural otak yang terkait dengan paparan waktu menonton layar yang lebih lama saat masih kanak-kanak,” kata Jennifer F. Cross, dokter anak di NewYork-Presbyterian Komansky Children’s Hospital seperti dilaporkan laman resminya.
Salah satu penelitian yang menjadi rujukan di atas dipublikasikan di Journal of the American Medical Association Pediatrics (2023).
Tim peneliti menerima laporan dari responden orang tua tentang penggunaan waktu menonton layar pada anak-anak yang berusia 1 tahun dan bagaimana perkembangan keterampilan mereka pada usia 2 dan 4 tahun. Penelitian ini melibatkan nyaris sebanyak 8.000 anak.
Hasil riset mengungkapkan bahwa screen time yang berlebihan dapat dikaitkan dengan keterlambatan perkembangan pada anak.
Anak berusia 1 tahun yang menghabiskan waktu lebih dari empat jam dalam sehari untuk menonton layar menunjukkan keterlambatan dalam komunikasi dan pemecahan masalah ketika mereka berusia 2 dan 4 tahun.
Selain itu, lebih banyak waktu menonton layar untuk anak berusia 1 tahun dapat dikaitkan dengan keterlambatan perkembangan dalam motorik halus dan keterampilan pribadi dan sosial pada usia 2 tahun.
Menurut Cross, apabila anak-anak menghabiskan sebagian besar waktu mereka dengan bermain gawai dan menonton televisi, akan sulit untuk membuat mereka berkecimpung dalam aktivitas nonelektronik.
"Seperti bermain dengan mainan untuk menumbuhkan imajinasi dan kreativitas, menjelajah alam terbuka, dan bermain dengan anak-anak lain untuk mengembangkan keterampilan sosial yang tepat,” imbuh Cross.
Seiring anak beranjak remaja, mereka akan mulai belajar untuk berargumen, protes, atau pada tahap tertentu, memberontak. Kontrol orang tua terhadap screen time anak pun akan semakin menantang untuk dilakukan.
Menurut survei yang dilakukan oleh Pew Research Center terhadap 1.453 remaja dan orang tuanya di Amerika Serikat pada akhir 2023 lalu, baik anak dan orang tua punya kecenderungan yang sama besarnya untuk berdebat atau bertengkar tentang durasi screen time.
Orang tua juga melaporkan bahwa mereka mencuri-curi pandang atau mengintip layar smartphone si anak (parental snooping). Ini dilakukan oleh 64 persen orang tua pada anaknya yang berusia 13-14 tahun dan 41 persen orang tua pada anak usia 15-17 tahun.
Di satu sisi, kemajuan teknologi mustahil disembunyikan dari anak. Apalagi, anak sudah pasti mencontoh kebiasaan orang tua yang pekerjaannya sehari-hari bergantung pada gawai dan akses internet.
Maka penting bagi orang tua untuk bersepakat dengan anak dalam menentukan durasi bermain gawai, termasuk jenis gawai yang dipakai dan platform media sosial apa saja yang boleh diakses anak setiap harinya.
Terkait hal ini, psikolog keluarga dan anak Samanta Elsener mempunyai beberapa tip untuk orang tua agar dapat mengelola aktivitas digital anak dan remaja.
Salah satu poin penting yang Samanta angkat berkaitan dengan durasi screen time yang sehat.
“Gadget memang memudahkan dan dapat menghibur anak remaja dengan berbagai konten yang tersedia, membuat anak tidak mudah bosan. Namun, perkembangan anak yang optimal secara emosional, sosial, dan fisik memerlukan perhatian pada keseimbangan waktu dalam mengakses platform daring," ungkap Samanta dalam keterangan tertulis berkolaborasi dengan TikTok.
Platform media sosial dengan jumlah pengguna aktif yang terus meningkat pesat ini gencar mengadvokasikan keamanan anak dan remaja di ruang digital. Sejak tahun lalu, hal ini sudah diadvokasikan oleh TikTok melalui program school roadshow bertajuk Seru Berkreasi dan #SalingJaga di TikTok bekerja sama dengan SEJIWA Foundation.
"Bila tidak dikelola dengan seimbang, maka daya konsentrasi anak dapat menurun, keterampilan belajarnya terhambat, keterampilan sosialnya tidak terlatih dengan optimal, dan risiko kecemasan serta depresi pun meningkat,” imbuh Samanta.
Samanta mengatakan, orang tua tetap perlu mengajak anak remajanya untuk menyusun jadwal kegiatan yang seimbang antara kegiatan di dunia digital maupun di dunia nyata.
Selanjutnya, Samanta menyarankan orang tua untuk memantau kegiatan digital anak dan remaja dengan pola asuh lebih lembut dan mengedepankan empati pada anak, atau populer disebut gentle parenting.
Pola asuh gentle parenting, kata dia, dapat membantu orang tua mendukung perkembangan kecerdasan emosional anak sekaligus membangun rasa percaya diri dan ketahanan mereka.
"Pola asuh ini menekankan pentingnya mendengarkan secara aktif, menjaga komunikasi yang terbuka, serta membangun rasa saling percaya, termasuk tentang kegiatan digital anak remajanya. Untuk itu, orang tua tetap perlu melakukan pemantauan, tanpa terlalu mengontrol. Pendampingan yang hangat dan suportif mendorong anak untuk terbuka tentang pengalaman mereka di dunia maya," kata Samanta.
Yang tak kalah penting adalah membangun ikatan atau bonding dengan anak, terutama selama liburan.
Samanta menuturkan, waktu liburan dapat dimanfaatkan untuk membangun koneksi emosional dengan anak remaja sehingga menciptakan hubungan yang lebih hangat dan mendalam.
“Anak bukan saja butuh bermain untuk mengembangkan keterampilan sosialnya, melainkan juga membutuhkan kehadiran dan perhatian kasih sayang orang tua secara konsisten sehingga anak merasa lebih aman dan percaya diri,” lanjut Samanta.
Terakhir, saran Samanta, tidak ada salahnya bagi orang tua untuk lebih luwes dalam memanfaatkan platform digital.
Melalui platform digital, orang tua dapat memperoleh inspirasi seputar kegiatan bersama keluarga, seperti memasak bersama atau membuat vlog di lokasi-lokasi menarik selama liburan.
Contoh kegiatan di atas dapat dikerjakan bersama dengan melibatkan anak secara khusus, misalnya sebagai kameramen, sehingga anak juga berpotensi melatih tanggung jawab dan memupuk daya kreativitas.
Bagaimana? Menarik dicoba untuk rencana liburan selanjutnya, bukan?
Penulis: Putri Annisa
Editor: Sekar Kinasih