tirto.id - Laura Basuki boleh dibilang telah menjadi bintang utama sinema Indonesia tahun ini. Aktingnya tersebar di berbagai film dan serial lokal yang meraup atensi tinggi hingga dinominasikan untuk penghargaan bergengsi.
Belum usai gegap gempita audiens atas Sleep Call dan Berbalas Kejam, Laura kembali hadir melalui serial pendek Merajut Dendam yang tayang di kanal pengalir Vidio. Dia juga berperan dalam film Rumah Masa Depan yang sedang tayang di bioskop-bioskop Indonesia.
Tak hanya itu, Laura masih akan menutup tahun ini dengan penampilan dalam film Kapan Hamil? yang segera rilis di Prime Video. Di awal 2024 pun, dia bakal muncul di film thriller psikologis bertajuk Sehidup Semati kemudian disusul oleh film 24 Jam Bersama Gaspar yang akan menyapa publik di Netflix.
Resensi kali ini akan berfokus pada Merajut Dendam yang dirancang sebagai sebuah serial pendek bergenre thriller politik. Jadwal rilisnya yang berada di tengah hiruk-pikuk kampanye Pemilu 2024 pun tampaknya memang sengaja diniatkan demikian.
Dalam Merajut Dendam, Laura memerankan sosok pengacara bernama Nina Perdana. Dia dikisahkan tengah menyusun dan menjalankan skema balas dendam secara strategis demi menghancurkan kredibilitas Rasya Perdana (Oka Antara), sang suami yang mengkhianatinya.
Disajikan dalam format delapan episode, serial pendek ini berupaya menguliti budaya patriarki yang masih bercokol dalam masyarakat kita.
Lantas, seberapa vulgarkah ilusi tentang superioritas laki-laki yang ditampilkan? Apakah pilihan itu tidak berisiko membuat kisahnya terjebak pada banalitas konflik tanpa benar-benar menyentuh substansi permasalahan?
Stigma Maskulin
Poin vulgar pertama yang ditunjukkan Razka Robby Ertanto selaku sutradara berupa pernyataan bahwa perselingkuhan adalah hal biasa dalam keseharian seorang laki-laki kaya raya, berpendidikan tinggi, serta memiliki segudang reputasi mentereng.
Rasya bahkan tidak merasa bersalah telah meniduri staf perempuan di kantornya. Dia hanya meminta maaf ala kadarnya di hadapan Nina seakan masalah itu bernilai sepele. Keesokan harinya, dia kembali mengulangi perilaku serupa dengan wanita lain.
Lingkungan pergaulan Rasya berperan krusial membentuk persepsinya jadi seperti itu. Teman-temannya juga berlaku demikian dan Rasya menjadikan itu sebagai justifikasi sosial atas perbuatannya yang melanggar komitmen pernikahan.
Tatkala skenario pembalasan Nina baru terlaksana setengah jalan, Rasya keburu kena batunya. Dia bertemu kolega advokat yang lebih taktis dan lebih manipulatif. Dalam waktu singkat, Rasya terjebak ironi. Dia menjadi budak seksual dari seorang perempuan yang kastanya dia anggap lebih rendah.
Pemikiran Rasya yang sedemikian dangkal merupakan buah didikan ayahnya, Tresna Perdana (Tio Pakusadewo) yang sangat misoginistik. Ini adalah poin vulgar kedua yang disuguhkan.
Tresna adalah seorang ketua umum partai politik yang berjiwa control freak. Dia mengendalikan penuh segala sendi kehidupan anaknya serta kerap menyalahkan istrinya (Aida Nurmala) bila Rasya melenceng dari jalur.
Saat skandal perselingkuhan antara Rasya dan Sarah (Carissa Perusset) terbongkar ke ruang publik, citra politik partai dan nama baik keluarga berada di ujung tanduk. Di tengah situasi pelik itu, Tresna mencalonkan Nina sebagai kandidat gubernur.
Sang ayah mertua secara ironis memilih menantunya demi menyelamatkan karir politiknya sendiri. Namun, dia tak habis akal sebab telah mewanti-wanti Nina agar tetap patuh pada instruksinya setelah menjabat kelak.
Sang menantu memberontak atas upaya kontrol itu. Dia tak sudi terhimpit lebih lama di bawah injakan patriarki, meski risikonya adalah membuka dua front pertempuran sekaligus menghadapi dua figur maskulin yang, katanya, powerful.
Poin vulgar terakhir, in a good way, terselip dalam sebuah adegan komplementer yang singkat. Nala (Diandra Agatha), adik Nina, “menembak” kekasihnya, Dirga (Tarra Budiman), di sela-sela perayaan kemenangan kakaknya.
Saya menyebut bagian ini vulgar sebab dalam konteks Indonesia perempuan menyatakan cinta lebih dulu nisbi belum jadi kelaziman. Meski begitu, sang sutradara menyuguhkan momen spesial tersebut secara apa adanya, tanpa bahasa yang subtil atau permainan visual yang “berbunga-bunga”. Dengan penggambaran demikian, Razka agaknya ingin menegaskan bahwa hal itu bukanlah tabu atau sesuatu yang mustahil.
Banyak penonton tradisional mungkin akan menaikkan alis menyaksikan adegan tersebut. Namun, justru di sinilah terletak keberanian seorang sineas dalam menegaskan production statement-nya, terlepas dari apapun kata orang di luar sana sehabis menonton tuntas serial besutannya itu.
Dia mendekonstruksi stigma maskulinitas yang telah bercokol sekian lama seraya menawarkan sudut pandang alternatif yang menurutnya lebih merepresentasikan perkembangan pemikiran kontemporer.
Budak Politik
Stigma maskulin yang sedemikian mengakar tak pelak meracuni sistem politik kita. Apa yang terjadi dalam Merajut Dendam bisa dibilang cukup tepat merepresentasikan realitas politik kita dewasa ini.
Perempuan masih hanya dipasang di bangku cadangan dan bertugas menyokong citra positif suaminya. Esensi hal ini di dunia nyata misalnya tercermin dari tak tercapainya kuota 30 persen calon legislatif perempuan di banyak dapil di berbagai tingkatan dalam data resmi KPU jelang Pemilu 2024.
Pun tidak ada satu pun perempuan yang menjadi calon presiden maupun calon wakil presiden. Ini jelas merupakan fakta politik yang luar biasa miris. Apakah memang tidak tersedia ruang dan kesempatan atau bagaimana sebetulnya?
Merajut Dendam cukup mampu memberikan kritik secara linier dalam konteks itu. Perubahan status Nina dan Rasya dalam sekejap adalah buktinya. Sayangnya, laju narasi yang menyoal problematika ini berhenti di situ.
Secara ontologis, seluruh dimensi kehidupan dalam semesta serial ini tak lepas dari dinamika politis. Rutinitas pertandingan catur antara Nina dan Rasya di rumah mereka sangat pas menyimbolkan nuansa tersebut.
Disparitas relasi kuasa antara Tresna dan istrinya pun demikian. Perempuan harus senantiasa menaati “kodrat hakikinya”, walaupun hatinya dilukai hari demi hari.
Jalinan masa lalu Sarah yang bersinggungan erat dengan rancangan skenario balas dendam Nina juga patut ditelaah. Sarah adalah representasi kaum proletar yang nyaris berakhir tragis sampai dia bertemu dengan Nina. Kemuakannya pada kelas elite jadi salah satu plot terbaik di sepanjang serial.
Jangan lupakan pula manuver Indira (Sheila Marcia Joseph) yang amat terukur. Dia tidak sedikit pun emosional bahkan setelah sukses menaklukkan Rasya di bawah kakinya. Dalam bidang yang mereka kuasai, dia mungkin adalah kompetitor sepadan bagi Nina secara intelektual maupun mental.
Meski menarik secara ide dan pesan, Merajut Dendam sebetulnya masih terperangkap dalam problem naratif klasik yang banyak ditemui dalam serial-serial lokal lainnya. Misalnya, metode penyelesaian konflik di momen puncak serta konklusi final dipaparkan dengan terburu-buru.
Alhasil, penonton bakal agak kesusahan mencerna perubahan sikap ibu Rasya, keputusan Sarah di hadapan media, hingga ketidakmampuan Rasya untuk menerka manuver sang istri, meski sempat berada di atas angin.
Terlepas dari ketergesaan naratif itu, Merajut Dendam adalah pengingat penting betapa ekosistem dan iklim sosial politik kita belum sepenuhnya egaliter. Bahkan, gejala akhir-akhir ini justru mengarah kepada nuansa politik yang kian terang-terangan menegasikan perempuan.
Penulis: Jonathan Manullang
Editor: Fadrik Aziz Firdausi