tirto.id - Berakhirnya Perang Dunia II (1939-1945) membuat Eropa Barat luluh lantak. Infrastruktur dan sektor ekonomi seluruh negaranya kacau balau. Pertahanan militernya juga tidak begitu baik. Situasi pelik ini disertai dengan meningkatnya ancaman dari Eropa Timur.
Uni Soviet, negara berideologi komunis yang memiliki peran penting dalam menyudahi PD II, semakin menunjukkan eksistensinya. Negara pimpinan Joseph Stalin itu semakin memperluas pengaruh komunisme ke negara-negara Eropa Timur dan Tengah, sembari menunjukkan sikap perlawanan terhadap ideologi yang berseberangan.
Agresivitas Soviet menimbulkan ketakutan bagi negara-negara Eropa Barat. Sebagai upaya defensif, Inggris, Kanada, dan Amerika Serikat mengeluarkan ide untuk membentuk aliansi keamanan kolektif. Tujuannya untuk meningkatkan keamanan, nilai-nilai demokrasi, dan yang terpenting mengimbangi kekuatan Soviet.
Diskusi berlanjut dan mencapai puncaknya pada 4 April 1949. Ketiga negara tersebut dan mayoritas negara-negara Eropa Barat membentuk Pakta Pertahanan Atlantik Utara atau North Atlantic Treaty Organization (NATO).
NATO berisi negara-negara yang memiliki rekam jejak militer yang cukup baik. Bagi Soviet, ini jelas bentuk perlawanan balik yang dilakukan Barat dan tidak bisa dianggap remeh. Namun, negara komunis ini tidak langsung membalas sikap AS.
Dalam waktu lima tahun sejak NATO berdiri, hubungan kedua pihak masih terbilang cukup baik. Bahkan, pada Maret 1954 Soviet pernah mengajukan diri sebagai anggota NATO, meski berakhir dengan penolakan AS dan Inggris.
Pada penghujung 1954, hubungan keduanya mulai memanas. Saat itu, Jerman Barat secara resmi diundang untuk menjadi anggota NATO. Bergabungnya Jerman Barat membuat Jerman Timur dan negara-negara satelit Soviet lainnya menjadi terbuka oleh serangan musuh. Apalagi Jerman punya catatan kelam terkait kebangkitan militer yang menyusahkan dunia. Dikhawatirkan situasi buruk di masa lalu akan kembali menerpa Soviet.
Dari sini, ide pembentukan aliansi pertahanan di Eropa Timur muncul. Keinginan ini semakin kuat ketika terjadi permasalahan ruwet di Uni Soviet. Malcolm Mackintosh dalam The Warsaw Treaty Organization: A History (1984) menyebut, munculnya permasalahan tidak lepas dari kegagalan Joseph Stalin (1922-1953) mengelola Soviet. Setelah wafat, Stalin mewariskan kemunduran sektor politik dan ekonomi kepada penerusnya. Maka itu, pemimpin setelahnya, Nikita Kruschev (1953-1964), berupaya membangkitkan lagi kedigdayaan Soviet dan Eropa Timur. Salah satu caranya dengan mendirikan aliansi pertahanan.
Pembentukan organisasi pertahanan adalah proses modernisasi bernegara dan politik. Kehadirannya mampu memperkuat kekerabatan antarnegara yang akan saling menguntungkan. Soviet juga membutuhkan organisasi politik yang mampu mengontrol negara satelit di Eropa Timur agar mendukung kebijakan, menjaga pertahanan, dan menaikkan kembali pamornya.
Hanya butuh waktu delapan hari bagi Soviet untuk mendirikan pakta pertahanan tandingan. Tepat hari ini 67 tahun lalu di Warsawa, Soviet dan tujuh negara satelit (Albania, Bulgaria, Cekoslowakia, Jerman Timur, Hungaria, Polandia, dan Rumania) menandatangani Warsawa Treaty Organization atau Pakta Warsawa.
Peristiwa ini membuka babak baru persaingan antar dua negara adidaya. Ketetapan dasar Pakta Warsawa mengikuti NATO. Mulai dari jadwal agenda rapat tahunan, bentuk organisasi, sampai yang paling fenomenal: aturan serangan balasan secara “keroyokan”. Atau secara resmi tertulis “serangan ke salah satu anggota dianggap sebagai serangan ke semua negara anggota dan mengharuskan seluruh negara anggota turun tangan.”
Melalui Pakta Warsawa, sebagaimana disampaikan Laurien Crump dalam The Warsaw Pact Reconsidered (2015), Soviet mendominasi dan memiliki kontrol yang luas atas dinamika politik Eropa Timur. Salah satu indikasinya terlihat pada besarnya sumbangan Soviet untuk ekonomi kawasan, yakni sebesar 80 persen dan militer sebanyak 75 persen. Ini berbeda dengan AS di NATO yang hanya memberikan sumbangan 60 persen untuk ekonomi dan 42 persen untuk militer.
Kerapuhan Internal
Delapan belas bulan sejak hadir menandingi NATO, Pakta Warsawa langsung mengalami gejolak internal hebat. Salah satu anggotanya, Hungaria, mengalami perubahan politik yang dinamai Revolusi 1956. Salah satu tuntutannya adalah membebaskan Hungaria dari intervensi asing yang kemudian menyerempet ke wacana pengunduran diri Pakta Warsawa. Kemudian wacana itu menjadi kenyataan: Hungaria keluar dari Pakta Warsawa. Namun, Soviet tidak terima kenyataan ini dan memilih menginvasi Hungaria serta berusaha memulihkan kembali kedudukannya di aliansi.
Lima tahun kemudian, pada 1961, Pakta Warsawa kembali kehilangan anggotanya, yakni Albania. Keributan elite politik Albania-Soviet perihal konsep “de-stalinisasi” menjadi sebab negara beribukota Tirana ini keluar dari Pakta Warsawa. Lalu pada tahun 1964, Rumania mulai menyerukan penghapusan blok militer. Meski tidak seperti Hungaria dan Albania, pernyataan ini membuat Soviet gerah.
Pada 1968, Cekoslovakia juga dilanda gejolak politik. Kekuasaan komunis di sana terancam oleh wacana liberalisasi. Alhasil, ratusan ribu tentara di bawah bendera Pakta Warsawa menyerbu Praha untuk mengadang gelombang kebebasan itu.
Dinamika yang mengancam persatuan ini terus berlangsung dan terus membesar seiring lahirnya kebijakan reformasi Soviet di era Mikhail Gorbachev (1985-1991).
Rangkaian peristiwa tersebut berakar pada satu masalah sama: Soviet terlalu ikut campur urusan negara lain. Kepemimpinan Soviet di Eropa Timur memang tidak dapat diremehkan, tetapi menurut Malcolm Mackintosh, “masing-masing negara Eropa Timur adalah bangsa yang berdiri sendiri.”
Negara-negara itu memiliki sejarah, budaya, sumber daya ekonomi, dan sikap politik berbeda, tetapi sangat penting bagi perkembangan Eropa Timur. Hal inilah yang gagal dipahami Soviet yang memiliki cara pandang sentralistik: semua harus sesuai keinginan dan aturan-aturan Soviet.
Akibatnya, Soviet kelimpungan. Negara komunis ini tidak berhasil mempertahankan kedudukan politiknya di Eropa Timur. Akhir dari semua ini adalah bubarnya Pakta Warsawa pada 1 Juli 1991.
Penulis: Muhammad Fakhriansyah
Editor: Irfan Teguh Pribadi