tirto.id - Memasuki tahun 1990 terjadi rangkaian peristiwa yang berdampak besar terhadap dinamika politik global. Tembok Berlin runtuh, menyatukan Jerman Barat dan Jerman Timur, dan menandai akhirnya ketegangan AS-Soviet. Gelombang demontstrasi melanda negara-negara Eropa Timur, melunturkan pengaruh komunisme. Puncaknya, Uni Soviet resmi dinyatakan bubar pada 26 Desember 1991.
Bubarnya Soviet menjadi tanda berakhirnya Perang Dingin dan bubarnya persekutuan militer bentukan Moskow, Pakta Warsawa. Situasi ini membuat aliansi tandingannya, North Atlantic Treaty Organization (NATO), yang sebelumnya menjadi perisai dari agresivitas Soviet dan komunisme-nya kehilangan lawan. NATO berdiri pada 4 April 1949, tepat hari ini 72 tahun lalu, sebagai reaksi atas meluasnya pengaruh komunisme di Eropa Barat. Presiden Amerika Serikat saat itu, Harry S. Truman, mengatakan fungsi NATO sebagai “perisai dari segala ancaman komunisme”.
Maka itu, ketika kabar bubarnya Soviet terdengar, banyak dari pengamat memandang NATO akan berakhir ketika Perang Dingin selesai. Namun, rupanya nasib NATO berbeda dengan Pakta Warsawa. Bertahun-tahun setelahnya, aliansi warisan Perang Dingin itu justru semakin memperlihatkan eksistensinya dengan menjalin kerjasama dengan negara di luar kawasan, menerima negara eks-Soviet untuk bergabung, termasuk terlibat dalam konflik di tahun-tahun berikutnya. Keterlibatan aliansi dalam konflik terbuka tergolong unik. Berdasarkan catatan operasi NATO, selama Perang Dingin justru aliansi ini tidak pernah terlibat dalam konflik terbuka. Barulah ketika Perang Dingin usai, mereka terjun langsung dalam konflik karena gangguan keamanan di kawasan.
Setidaknya ada dua peristiwa besar yang mengharuskan NATO untuk terlibat, yakni Perang Bosnia dan peristiwa 9/11 di AS. Perang Bosnia (1992-1995) adalah konflik pertama NATO yang mengharuskannya terjun langsung ke lapangan. Sebagai catatan, Perang Bosnia adalah konflik etnis yang terjadi di Bosnia-Herzegovina setelah bubarnya Yugoslavia. Melihat ketidakstabilan tersebut, NATO akhirnya terjun langsung ke medan pertempuran guna menyudahi perang meski secara bertahap. Aksinya terlihat dalam beberapa operasi militer dengan tujuan menegakkan perdamaian dan menstabilkan wilayah yang dilanda perang. Tercatat puluhan ribu pasukan—yang didukung kuat oleh AS—berada di Bosnia, baik ketika perang ataupun sesudahnya.
Keterlibatan selanjutnya adalah pasca-peristiwa terorisme terbesar dalam sejarah AS pada 11 September atau 9/11. NATO untuk pertama kalinya bergerak dengan landasan pasal 5 dalam kesepakatan pendirian NATO 1949. Pasal 5 berbunyi “Apabila terjadi serangan bersenjata terhadap satu atau beberapa negara anggota maka serangan akan dianggap sebagai serangan terhadap semua negara anggota dan mengharuskan seluruh negara anggota untuk membantu pihak yang diserang dengan mengambil tindakan yang dianggap perlu, termasuk penggunaan senjata, untuk memulihkan dan menjaga kawasan Atlantik Utara.”
Atas dasar itulah, teror di menara World Trade Center dan Pentagon juga dipandang sebagai serangan terhadap London, Berlin, Ankara, dan semua negara anggota NATO. Tak lama kemudian, AS bersama NATO memburu dalang teror Al-Qaeda yang bermarkas di Afghanistan dalam Operation Enduring Freedom. Operasi ini berlangsung 13 tahun dan berakhir ketika pimpinan Al-Qaeda, Osama bin Laden, tewas dibunuh pada 2014.
Tujuan NATO setelah Perang Dingin tentu mengalami perubahan. Sejarawan Mark J. Rice mengatakan adaptasi dinamika internal dan eksternal di lingkungan NATO seringkali didorong oleh faktor politik dibanding militer. “[Perubahan tujuan] dan perluasan NATO adalah sebagai sarana untuk memastikan stabilitas politik di Eropa yang semakin tidak stabil,” imbuhnya.
Laman resmi NATO menyatakan pentingnya mencegah kebangkitan nasionalisme militan dan keamanan kolektif yang mendorong demokratisasi dan integrasi politik di Eropa. Itulah misi baru NATO. Pada 2010 aliansi merumuskan kembali strategi untuk pertahanan dan keamanan negara anggota dengan tujuan mengantisipasi ancaman baru di tengah dinamika global. Salah satu poin dalam lembaran strategi tersebut yang menjadi sorotan adalah upaya NATO untuk menawarkan pelibatan politik atau militer kepada mitra kerjanya di seluruh dunia. Selain itu NATO pun menyatakan berkomitmen menjalin kerjasama dengan seluruh mitra baru, termasuk organisasi internasional dan organisasi non-pemerintah.
Dinamika global berubah, demikian pula NATO. Menulis di New York Times, Ursula von der Leyen, Menteri Pertahanan Jerman 2013-2019, menyatakan pentingnya kehadiran NATO untuk menjaga tatanan global dari para penentang tertib internasional yang berupaya mengubah aturan terkait demokrasi dan kemakmuran sejak Perang Dunia II. Beberapa contoh yang disebut von der Leyen adalah Agresi Rusia di Eropa Timur, kebijakan Beijing di Laut Cina Selatan, dan pengembangan senjata nuklir Korea Utara.
“NATO yang lebih kuat akan melayani kepentingan keamanan semua anggota. Hal terpenting, kekuatan ini akan menunjukkan eksistensi NATO kepada mereka yang menentang tatanan global dan menyampaikan pesan bahwa kami sekutu trans-Atlantik siap sedia mempertahankan tanah kami, rakyat kami, dan kebebasan kami.” Ujar der Leyen.
Perspektif lain datang dari seorang diplomat senior AS, John Herbs, yang mengatakan bahwa ancaman utama NATO datang dari Rusia, meskipun ancaman Cina menurutnya juga tidak bisa dianggap sepele. Bagi Herbs, Rusia di bawah pimpinan Vladimir Putin terus melakukan tindakan-tindakan yang membuat kawasan tidak stabil. Pernyataan Herbs menunjukkan bahwa NATO juga ingin hadir sebagai penyeimbang di kawasan.
Editor: Windu Jusuf