Menuju konten utama
2 Agustus 1945

Konferensi Potsdam: Bagi Jatah Pemenang & Lahirnya Perang Dingin

Konferensi Potsdam yang berlangsung sejak 17 Juli-2 Agustus 1945 merupakan konferensi terakhir yang dilakukan AS, Britania Raya, dan Rusia dalam PD II.

Konferensi Potsdam: Bagi Jatah Pemenang & Lahirnya Perang Dingin
Konferensi Postdam. tirto.id/Nauval

tirto.id - Ada kalanya peristiwa-peristiwa dramatis penting yang terjadi dalam kehidupan terpusat pada satu kejadian tunggal. Sepanjang sejarah hidup manusia, momen-momen ini tidak banyak terjadi. Konferensi Potsdam salah satunya.

Kira-kira itulah yang disampaikan dan direkam jurnalis New York Times Anne O’Hare McCormick, seperti dikutip Michael Neiberg dalam Potsdam: The End of World War II and the Remaking of Europe, ketika ia meliput Konferensi Potsdam, salah satu konferensi yang paling bersejarah bagi umat manusia.

Di konferensi inilah tiga orang yang memegang kekuasaan paling besar di dunia bertemu dan bergandengan tangan untuk menentukan ke mana dunia akan bergerak di pengujung Perang Dunia II. Ketiganya adalah Presiden Amerika Serikat Harry S. Truman, Perdana Menteri Britania Raya Winston Churchill, dan Kepala Negara Uni Soviet Joseph Stalin.

Potsdam merupakan sebuah kota di Jerman yang letaknya tidak jauh dari Berlin, kota yang digambarkan McCormick sebagai tempat yang pernah menjadi simbol kekuatan dunia namun telah menjadi "kuburan" mendekati usainya PD II. Neiberg sendiri berpendapat runtuhnya Berlin kala itu sebagai peristiwa penting karena menjadi bukti sejauh mana batasan dari “pencapaian” yang dapat diraih negarawan dan politikus.

Akhir dan Awal

Konferensi Potsdam berlangsung sejak 17 Juli 1945 dan berakhir pada 2 Agustus 1945, tepat hari ini 75 tahun silam. Konferensi ini sekaligus merupakan konferensi terakhir yang dilakukan AS, Britania Raya, dan Rusia dalam PD II. Ketiga negara ini pernah bertemu sebelumnya, salah satunya pada Konferensi Yalta di tahun yang sama pada Februari.

Masih dari Neiberg, jika pada Konferensi Yalta fokus mereka lebih terpusat pada bagaimana meluluhlantakkan Jerman, Konferensi Potsdam fokus pada perekaan ulang benua Eropa. Mengutip laman Britannica, terdapat sejumlah isu yang menjadi perhatian utama ketiga negara adikuasa tersebut.

Isu pertama terkait pemerintahan baru Jerman yang harus dibangun setelah luluh lantak akibat PD II. Selain itu ada pula isu terkait demarkasi perbatasan Polandia, pendudukan Austria, peran Uni Soviet di Eropa Timur, penentuan reparasi, serta langkah yang akan diambil terkait perang melawan Jepang. Tak seperti konferensi-konferensi sebelumnya, dalam konferensi ini ketiga negara itu sudah mulai melakukan manuver politik dan memainkan kepentingan negara mereka masing-masing.

Dalam konferensi ini, wilayah Jerman dibagi menjadi empat zona kependudukan militer di bawah empat kekuatan besar: AS, Britania Raya, Rusia, dan Perancis. Mengutip Neiberg, Perancis bergabung dalam okupasi Jerman ini atas permintaan dari AS dan Britania. Dengan catatan, Uni Soviet bersikeras bahwa zona kependudukan Perancis dibentuk dari wilayah yang diduduki AS dan Britania.

“Keempat kekuatan ini memiliki suara yang setara, dan semua keputusan terkait kebijakan kependudukan membutuhkan suara yang bulat dari keempatnya,” sebut Neiberg.

Lebih lanjut, masih dari Britannica, wilayah Berlin, Vienna, dan Austria juga dibagi menjadi empat wilayah kependudukan.

Dewan Kontrol Sekutu yang dibentuk dalam konferensi tersebut merupakan badan yang akan mengurusi hal-hal yang terkait pemerintahan di Jerman dan Austria. Dewan ini terdiri atas perwakilan dari keempat negara tersebut.

Keempat negara itu memiliki kekuatan untuk "merampas" reparasi dari zona-zona yang mereka duduki. Reparasi merupakan pungutan terhadap negara yang kalah perang dan memaksa mereka untuk membayar sebagian biaya perang yang dikeluarkan negara-negara pemenang.

Seperti halnya pada Konferensi Yalta, Stalin tampak lebih siap bernegosiasi pada Konferensi Potsdam dibandingkan Truman dan Churchill (kelak digantikan Clement Attlee sebagai Perdana Menteri pada 28 Juli). “[Stalin] telah menghabiskan banyak waktu untuk mempersiapkan diri menghadapi pertemuan itu tanpa mengindahkan rasa lelah yang telah menumpuk sepanjang perang selama empat tahun itu,” sebut Neiberg.

Delegasi Soviet memang tampak percaya diri. Mereka percaya setidaknya telah memegang “tiga kartu” yang dapat memberikan Soviet posisi tawar lebih baik dibandingkan pihak Barat. Pertama, ketika itu Soviet memiliki jumlah pasukan terbesar di dunia. Ini berarti Soviet memiliki kekuatan militer yang lebih baik di Jerman dan Eropa timur karena besar kemungkinan pihak Barat akan mengalihkan kekuatan militer mereka dalam perang dengan Jepang.

Kedua, Stalin tahu posisi penting keanggotaan Rusia dalam upaya AS untuk menginisiasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pihak Soviet tahu bahwa PBB jauh lebih bermakna bagi AS dibandingkan bagi mereka. Karenanya, Soviet kemudian menggunakan posisi ini untuk tawar menawar dengan kepentingan inti mereka dalam Konferensi Potsdam.

Terakhir, Stalin sangat paham bahwa AS menginginkan Soviet untuk ikut berpartisipasi dalam perang dengan Kekaisaran Jepang. AS ingin jumlah korban perang dari pihak mereka dapat diminimalisasi dan keterlibatan Rusia memiliki peran penting dalam rencana ini.

Infografik Mozaik Konferensi Postdam

Infografik Mozaik Konferensi Postdam. tirto.id/Quita

Chris Tudda dalam Cold War Summits: A History, From Potsdam to Malta menuliskan dalam Konferensi Potsdam ketiga negara berusaha menjaga hubungan mereka kendati masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda. Truman menginginkan Stalin memegang janji yang ia buat waktu Konferensi Yalta dan agar Soviet mendeklarasikan perang terhadap Jepang.

Churchill dan Atlee ingin menjaga Kerajaan Inggris dan mencapai kesepatakan bersama dengan Soviet di Eropa. Stalin, sementara itu, menginginkan konfirmasi atas dominasi politik dan militer Soviet di Eropa Timur dan konsesi teritorial di Asia.

Tudda mencatat ketiga negara memiliki hubungan yang baik setidaknya hingga 1945 berakhir. Sayangnya, setelah itu persaingan di antara ketiga negara tersebut mengalami eskalasi. Penjarahan dan pemerkosaan yang masif yang terjadi di zona Soviet di Jerman mengawali ketegangan antara pihak Soviet dan Barat, hingga krisis yang muncul akibat keengganan Soviet untuk menggeser perbatasan Polandia ke arah barat membuat hubungan Soviet dan ketiga negara memburuk.

Pada 24 Juni 1948 Stalin bereaksi atas keputusan AS, Britania Raya, dan Perancis yang mengakui adanya negara terpisah di bagian barat Jerman. Ia menutup perbatasan dan akses pihak Barat ke Jerman bagian Barat seperti yang telah disepakati di Yalta. Sejak momen inilah arah menuju Perang Dingin semakin terbaca dan dunia tak lagi sama. Setidaknya, hingga empat dekade ke depan.

Baca juga artikel terkait JOSEPH STALIN atau tulisan lainnya dari Ign. L. Adhi Bhaskara

tirto.id - Politik
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Ivan Aulia Ahsan