tirto.id - Pada 1920, sebuah kesepakatan perdamaian disetujui di Paris. Untuk menindaklanjuti perjanjian tersebut, dibentuklah Liga Bangsa-Bangsa (Nations League) yang berfungsi menjaga kestabilan global. Akan tetapi keberadaan Liga Bangsa-Bangsa tidak berlangsung lama akibat politik ekspansionis Blok Poros (Italia, Jepang, dan Jerman) yang begitu masif selama kurun waktu 1931-1935 di mana menandai lahirnya Perang Dunia II.
Tak ingin perang berkecamuk lebih lama, perwakilan 26 negara bertemu di Washington pada 1 Januari 1942. Diprakarsai F.D. Roosevelt dan Winston Churchill, agenda pertemuan berfokus pada penandatanganan Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mendukung keberadaan kesepakatan sebelumnya: Piagam Atlantik. Secara garis besar, deklarasi ini awalnya bertujuan mencapai perdamaian dengan Blok Poros.
Selepas pertemuan di Washington, perundingan yang lain menyusul kemudian seperti Konferensi Quebec 1943 yang merancang seruan “pembentukan organisasi internasional berdasarkan prinsip kesetaraan negara.” Lalu, pada November 1943 F.D. Roosevelt dan Perdana Menteri Joseph Stalin bertemu di Teheran untuk membahas pendirian organisasi internasional yang berisikan majelis umum serta anggota komite eksekutif.
Pada saat bersamaan, perwakilan sekutu lainnya mulai membentuk organisasi-organisasi yang berorientasi pada tugas tertentu; Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO), Dana Moneter Internasional (IMF), sampai Bank Dunia (World Bank).
Baca juga:Tragedi Rohingya dan Mengapa PBB Gagal Hentikan Genosida
Perwakilan Amerika, Inggris, Uni Soviet, dan Cina lantas bertemu di Dumbarton Oaks pada Agustus-September 1944 guna merancang piagam organisasi berdasarkan prinsip keamanan bersama. Rekomendasinya yakni pembentukan Majelis Umum serta Dewan Keamanan yang terdiri dari empat negara utama (Amerika, Inggris, Uni Soviet, Cina) ditambah enam anggota pilihan Majelis Umum.
Setahun berselang, Blok Poros mengalami kekalahan. Momentum tersebut dimanfaatkan oleh negara-negara sekutu untuk menyelesaikan proses pembentukan organisasi internasional. Peran Roosevelt dalam pertemuan ini penting; ia meyakinkan Partai Republik, Senat, serta masyarakat bahwa keberadaan organisasi internasional merupakan cara terbaik untuk mencegah peperangan di masa depan.
Walhasil, San Fransisco pada 24 Oktober 1945 menjadi saksi bagaimana 50 negara sepakat melahirkan organisasi internasional yang bernama Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations).
Aib Memalukan PBB: Kekerasan Seksual oleh Pasukan Perdamaian
Pada awal Agustus 2015, Amnesty International menemukan bukti kuat keterlibatan seorang anggota pasukan perdamaian PBB dalam tindak kekerasan seksual terhadap gadis berusia 12 tahun di Republik Afrika Tengah.
Menurut pengakuan korban, pelaku menyeretnya ke halaman belakang, menamparnya kala ia mulai menangis, merobek pakaiannya, lantas memperkosa. Pengakuan korban didukung pula oleh bukti medis. Mendengar kabar itu, Ban Ki-moon, Sekjen PBB segera memecat kepala misi penjaga perdamaian di Afrika Tengah seraya mengumpulkan anggota Dewan Keamanan PBB guna membahas penyelesaian masalah.
Baca juga:Indonesia Ingin PBB Lebih Efisien dan Minim Birokrasi
Melalui surat pengunduran dirinya, seperti yang dilansir The Guardian, kepala misi penjaga perdamaian Republik Afrika Tengah menyatakan kejahatan seksual yang dilakukan pasukannya merupakan masalah sistemik.
Kejahatan seksual yang terjadi di Republik Afrika Tengah bukanlah satu-satunya. Hal serupa juga terjadi di Haiti. Berdasarkan studi Office of Internal Oversight Services (OIOS), pasukan penjaga perdamaian PBB terlibat dalam “seks transaksional” dengan kurang lebih 229 perempuan. Sebagai imbalannya, para pasukan tersebut memberikan makanan dan obat-obatan.
Selain melakukan kejahatan seksual, pasukan penjaga perdamaian PBB di Haiti juga meninggalkan wabah kolera. Melalui laporan setebal 16 halaman yang dibawa Ban Ki-moon dalam majelis umum PBB pada 1 Desember 2016, Ban mengakui “sebagian besar bukti mengarah pada kesimpulan bahwa personil yang terkait dengan fasilitas penjaga perdamaian PBB adalah sumber yang paling mungkin”. Per tanggal yang sama, jumlah korban mencapai angka 9.200 orang.
Kejadian di Haiti membuat Dewan Keamanan PBB memutuskan untuk mengakhiri misi penjaga perdamaian di sana setelah berlangsung selama 13 tahun.
Antara 2008 hingga 2013, terdapat hampir 500 tuduhan eksploitasi dan pelecehan seksual yang dilakukan personil penjaga perdamaian PBB. Ironisnya, sepertiganya melibatkan anak di bawah umur. Mengutip AP, dari tahun 2004 sampai 2007 tercatat 134 penjaga perdamaian asal Sri Lanka melakukan kejahatan seksual kepada anak-anak. Modusnya: menggunakan permen dan uang tunai sebagai untuk menarik perhatian korban.
Eksploitasi, kekerasan, dan pelecehan seksual yang dilakukan pasukan penjaga perdamaian PBB sudah terjadi sejak tahun 1990an di beberapa wilayah seperti Bosnia, Kamboja, Timor Leste, Liberia, serta Sudan Selatan. Para pelakunya adalah pasukan dari Pakistan, Bangladesh, Sri Lanka, Uganda, Burundi, sampai Republik Kongo.
Baca juga:Mereka yang Menggenggam PBB
Joanne Mariner, penasehat Amnesty International berpendapat akar masalah kasus kekerasan seksual tersebut ialah impunitas; hampir tidak ada satu pun dari mereka (pelaku) yang dituntut secara pidana atas kejahatan seksualnya. Biasanya, kewajiban bertugas pelaku dicabut dan dikirim kembali ke rumah tanpa konsekuensi lainnya. Mariner menambahkan bahwa di PBB, banyak kasus semacam ini yang tidak dilanjutkan dengan penyelidikan menyeluruh dan sesegera mungkin.
Hakikatnya, setiap dugaan tindak kriminal (tidak terbatas kejahatan seksual) yang dilakukan personil penjaga perdamaian harus dipastikan terlebih dahulu kebenarannya oleh PBB dan negara anggota melalui penyelidikan. Setelah penyelidikan selesai dan diputuskan terdapat pelanggaran, Kantor Manajemen Sumber Daya Manusia (OHRM) akan mengambil tindakan.
Untuk personil militer dan polisi yang melakukan tindak kriminal, PBB akan memulangkan mereka serta melarang berpartisipasi dalam operasi di masa mendatang. Sedangkan sanksi indisipliner dan tindakan hukum lainnya, termasuk pertanggungjawaban pidana maupun perdata, tetap menjadi kewenangan yurisdiksi nasional di mana individu bersangkutan berasal. Negara anggota PBB lainnya hanya dapat memantau perkembangan kasus itu. Contohnya, India yang telah menghukum beberapa prajuritnya karena terlibat dalam kejahatan seksual di Republik Demokratik Kongo.
Pasukan penjaga perdamaian berada di bawah divisi Departemen Operasi Penjaga Perdamaian (DPKO) PBB. Tugasnya ialah menciptakan kestabilan kondisi (keamanan dan tentu saja perdamaian) di wilayah konflik. Keanggotaan pasukan perdamaian berasal dari negara-negara PBB. Operasi penjaga perdamaian selalu melibatkan personil dari militer, polisi, serta sipil. Saat ini, tercatat ada 15 operasi perdamaian yang sedang berlangsung; mulai dari Sahara sampai Timur Tengah.
Dalam perkembangannya, Indonesia juga ambil bagian dalam operasi tersebut. Mengambil nama Kontingen Garuda, pasukan perdamaian dari Indonesia diisi oleh para tentara nasional. Sejak tahun 1957, berbagai misi perdamaian sudah dilakukan di Kongo, Lebanon, Mesir, hingga Timor Leste.
Kejahatan seksual yang dilakukan para pasukan perdamaian menjadi ironi akan keberadaan UNICEF sebagai badan organisasi PBB yang bekerja untuk mencegah kekerasan seksual terhadap anak-anak. Berbagai visi yang dicanangkan UNICEF dalam upayanya melindungi anak-anak melalui sistem hukum (undang-undang, kebijakan, peraturan) seketika lenyap oleh perbuatan oknum PBB sendiri.
Kejadian pada Juni 2016 ketika Anders Kompass, seorang pejabat organisasi HAM di bawah PBB yang mengekspos kejahatan seksual di dalam lembaganya, mengundurkan diri setelah karena merasa PBB telah gagal menangani kasus-kasus tersebut secara serius. Jika ketidakbecusan PBB terus berlanjut, bukan tidak mungkin kelak muncul Kompass-Kompass yang lain.
Penulis: M Faisal Reza Irfan
Editor: Windu Jusuf