tirto.id - Menelusuri sejarah perkembangan bahasa Indonesia tidak lepas dari pengaruh bahasa Melayu sebagai representasi bahasa persatuan.
Sebelum kemerdekaan, bahasa Melayu dinilai tepat dipakai sebagai alat komunikasi perdagangan atau lingua franca.
Bahasa yang dipakai oleh masyarakat Indonesia pada akhirnya mengalami perubahan. Dari yang sebelumnya memberlakukan bahasa Melayu, menjadi bahasa Indonesia.
Sejarah Bahasa Indonesia Sebelum Indonesia Merdeka
Sejarah bahasa Indonesia sebelum kemerdekaan bisa ditelusuri sejak abad ke-7. Namun, pada masa itu, masyarakat tidak menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi sehari-hari, melainkan bahasa Melayu. Pada masa itu, Kerajaan Sriwijaya-lah yang memulai penggunaan bahasa Melayu Kuno untuk kebutuhan perdagangan dan kebudayaan, hingga kemudian ditetapkan sebagai bahasa resmi kerajaan.
Hingga masa kolonialisme Belanda, bahasa Melayu masih tetap digunakan oleh masyarakat. Bangsa asing yang datang ke Hindia Belanda pun mengandalkan bahasa Melayu untuk berkomunikasi dengan masyarakat asli Nusantara.
Pada Masa Pergerakan Nasional, penggunaan bahasa Melayu mulai menjadi perhatian serius bagi para tokoh pergerakan. Bahasa Melayu disepakati sebagai alat perjuangan kaum nasionalis untuk membuat bangsanya merdeka dan berdaulat.
Seiring waktu, terdapat upaya untuk menyusun ejaan resmi bahasa Melayu. Hal ini dilakukan oleh Van Ophuijsen yang kemudian dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Ejaan Van Ophuijsen ini kemudian dimuat ke dalam Kitab Logat Melajoe pada 1901.
Tahun 1908, pemerintah kolonial memutuskan untuk mendirikan badan penerbit buku bacaan dengan nama Commissie Voor de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat). Pada 1917, lembaga ini diubah namanya menjadi Balai Pustaka.
10 tahun kemudian, tepatnya pada 1927, Jahja Datoek Kajo menggunakan bahasa Indonesia dalam pidatonya di Sidang Volksraad atau Dewan Rakyat. Peristiwa tersebut sekaligus menjadi momen penggunaan bahasa Indonesia pertama dalam sejarah Nusantara.
Bahasa, yang menjadi alat perjuangan sekaligus identitas bangsa, baru menemukan wujudnya saat Kongres Pemuda 2 pada 27-28 Oktober 1928. Saat itu, para pemuda bersepakat untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, menggantikan bahasa Melayu.
Terdapat beberapa alasan yang dinilai cukup kuat untuk menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan masyarakat Indonesia. Pertama, bahasa Melayu sudah merupakan lingua franca, yakni bahasa perhubungan antar-etnis di Indonesia. Kedua, bahasa Melayu masih berkerabat dengan bahasa-bahasa Nusantara lain sehingga dinilai dekat dengan penutur bahasa daerah lainnya. Ketiga, Bahasa Melayu memunyai sistem yang sederhana sehingga relatif mudah dipelajari.
Pada 1933, berdiri sebuah angkatan sastrawan muda yang menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana. Kemudian, pada 1936, Sutan takdir Alisyahbana menyusun Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia.
Sejarah perkembangan bahasa Indonesia lalu berlanjut hingga Kongres Bahasa Indonesia 1 berlangsung di Solo pada tahun 1938. Kongres ini diinisiasi oleh Raden Mas Soedardjo Tjokrosisworo (wartawan Soeara Oemoem Soerabaja) bersama Soemanang Soerjowinoto (Direktur Perguruan Rakyat).
Soemanang sejatinya juga tokoh pers, karena ia termasuk salah satu dari 4 pendiri kantor berita Antara pada 1937, selain AM Sipahoetar, Pandoe Kartawigoena, dan Adam Malik.
Harimurti Kridalaksana dalam Masa Lampau Bahasa Indonesia, Sebuah Bunga Rampai (1991), mencatat Soemanang turut berperan meyakinkan para penulis, wartawan, guru, dan banyak tokoh intelektual untuk terlibat dalam Kongres Bahasa Indonesia I. Upaya itu disokong Soedardjo Tjokrosisworo, wartawan yang lahir dari keluarga priyayi Solo.
Berdasarkan acara yang dihelat di Solo pada 25-28 Juni 1938 tersebut, bisa disimpulkan, bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan Indonesia sejak sebelum era kemerdekaan.
Sejarah Bahasa Indonesia Setelah Kemerdekaan
Setelah proklamasi kemerdekaan, penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara mulai mengalami perkembangan. Pada 18 Agustus 1945, Indonesia ditetapkan sebagai bahasa resmi melalui Pasal 36 UUD 1945.
Setelah ditetapkan melalui UUD 1945, pedoman penggunaan bahasa Indonesia diresmikan melalui pedoman Ejaan Republik (Ejaan Soewandi), 19 Maret 1947. Rujukan tersebut sekaligus menggantikan Kitab Logat Melajoe yang disusun Van Ophuijsen.
Bertepatan dengan peringatan Sumpah Pemuda tahun 1954, tepatnya mulai 28 Oktober hingga 2 November, digelar Kongres Bahasa Indonesia 2 di Medan. Kongres ini merupakan upaya menyempurnakan bahasa Indonesia sebagai bahasa kebangsaan.
Di era Orde Baru, tepatnya pada 16 Agustus 1972, pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) diresmikan. Peresmian tersebut disampaikan dalam pidato kenegaraan Presiden Suharto di hadapan sidang DPR, yang kemudian dikuatkan melalui Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972.
Selain itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Rezim Orba juga menetapkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah Resmi, yang kemudian diberlakukan di seluruh wilayah Indonesia.
Enam tahun kemudian, digelar lagi Kongres Bahasa Indonesia yang ke-3 di Jakarta. Kongres tersebut dihelat pada 28 Oktober hingga 2 November 1978. Kongres kali ini diadakan dalam rangka memperingati peristiwa Sumpah Pemuda ke-50 sekaligus sebagai upaya memperkuat kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.
Menyusul berikutnya, digelar Kongres Bahasa Indonesia IV 1983 di Jakarta pada 21-26 November. Selain memperingati Hari Sumpah Pemuda ke-55 juga menetapkan pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia sebagaimana amanat dalam Garis-Garis Besar Haluan negara (GBHN). Amanat tersebut mewajibkan semua warga negara Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Lima tahun kemudian, 1988, diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia V di Jakarta, tepatnya sejak 28 Oktober hingga 3 November. Kongres tersebut melahirkan Kamus Besar Bahasa Indonesia serta pedoman Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
Kongres Bahasa Indonesia kembali digelar pada 1993. Kongres Bahasa Indonesia VI diadakan di Jakarta selama lima hari, mulai 28 Oktober hingga 2 November. Hasil keputusan dari Kongres tersebut mengusulkan agar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditingkatkan statusnya menjadi Lembaga Bahasa Indonesia, serta mengusulkan disusunnya Undang-undang Bahasa Indonesia.
Kemudian pada tahun 1998, diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia yang berlangsung dari tanggal 26 hingga 30 Oktober di Jakarta. Hasil dari pembahasan dalam Kongres tersebut yakni mengusulkan agar segera membentuk Badan Pertimbangan Bahasa.
Sejarah perkembangan bahasa Indonesia bisa ditelusuri bahkan hingga sekarang. Hingga 2023, Kongres Bahasa Indonesia telah digelar 12 kali. Kongres ke-12 diadakan pada 25-28 Oktober 2023.
Editor: Iswara N Raditya
Penyelaras: Fadli Nasrudin