Menuju konten utama
Sejarah Olahraga

Sejarah Badminton & Medali Bulu Tangkis Indonesia di Olimpiade

Sejarah badminton atau bulu tangkis konon tergurat sejak zaman Sebelum Masehi.

Sejarah Badminton & Medali Bulu Tangkis Indonesia di Olimpiade
Peraih medali cabang bulu tangkis sektor tunggal putra di Olimpiade Barcelona 1992. Dari kiri ke kanan: Ardy B. Wiranata (Indonesia/medali perak); Alan Budikusuma (Indonesia/medali emas); Thomas Steur-Lauridsen (Denmark/medali perunggu); Hermawan Susanto (Indonesia/medali perunggu). | Stephan Savoia/AP

tirto.id - Indonesia termasuk negara papan atas dunia dalam olahraga badminton. Dari generasi ke generasi, selalu ada pebulutangkis Indonesia yang menorehkan prestasi, termasuk mencatatkan sejarah dengan meraih sepasang medali emas di Olimpiade 1992.

Dikutip dari SportShow, bulu tangkis saat ini menempati peringkat ke-16 sebagai olahraga paling populer di seluruh dunia. Badminton memang belum setenar sepakbola, basket, atau tinju, tapi perkembangan olahraga tepuk bulu ini lumayan pesat dan mulai dikenal lebih banyak orang.

Buktinya, negara-negara yang sebelumnya bukan termasuk jagoan di turnamen bulu tangkis internasional mulai menunjukkan peningkatan berarti, seperti Inggris, Jepang, India, atau Thailand. Selama ini, badminton lebih didominasi oleh Cina, Indonesia, Malaysia, Korea Selatan, serta Denmark.

Indonesia punya rentetan catatan emas dalam riwayat bulu tangkis yang kini salah satunya sedang diemban oleh ganda putra Kevin Sanjaya dan Marcus Gideon. Dengan digelarnya Japan Open sejak Selasa (23/07/2019) hingga Minggu (28/07/2019), kiranya menarik untuk mengetahui sejarah panjang badminton.

Sejarah Bulu Tangkis

Komponen utama dalam olahraga bulu tangkis adalah raket, shuttlecock (kok), net, dan lapangan sebagai area pertandingan. Namun, badminton pada masa awal dahulu tentunya menggunakan peralatan yang belum seperti sekarang.

Bulu tangkis ternyata sudah berusia sangat lama dan memiliki akar di beberapa peradaban lama, seperti Yunani Kuno, Mesir Kuno, hingga Cina sejak Sebelum Masehi.

Di Cina tempo dulu, misalnya, terdapat permainan bernama jianzi, menggunakan shuttlecock sederhana namun punya cara bermain berbeda dari badminton. Dalam jianzi, pemain berusaha menahan shuttlecock selama mungkin di udara dengan menggunakan kaki.

Sedangkan menurut catatan Bernard Adams dalam The Badminton Story (1980), bulu tangkis mulai berkembang di India pada abad ke-17. Saat itu, permainan ini yang dikenal dengan nama battledore.

Cara memainkannya adalah, dua orang bertanding memukul buntalan wol sebagai shuttlecock dengan tongkat sederhana sebagai raket dan berusaha agar buntalan wol itu tidak jatuh ke tanah.

Pada abad ke-18 M, battledore mengalami perkembangan saat Inggris menduduki India, yang oleh warga lokal disebut poona. Poona berasal dari kata Pune, salah satu kota di India yang diyakini menjadi tempat asal permainan tersebut.

Era Badminton Modern

Orang-orang Inggris yang pernah menetap di India kemudian membawa permainan ini ke negara mereka. Poona pun berkembang dan menjadi cukup populer di Britania pada pertengahan abad ke-19.

Di Inggris kala itu, poona sering dimainkan di Badminton House yang berlokasi di Gloucestershire. Badminton Hoise adalah kediaman Duke of Beaufort dan keturunannya. Dari sinilah nama badminton tercetus untuk menyebut permainan yang semula bernama poona atau battledore itu.

Pada awal 1860, dikutip dari buku A Brief History of Badminton from 1870 to 1949 (2016) karya Betty Uber, seorang pengusaha mainan asal London bernama Isaac Spratt menyebarkan pamflet yang bertuliskan “Badminton Battledore: A New Game”.

Dalam selebarannya itu, Spratt memaparkan rumusannya tentang tata cara bermain bulu tangkis beserta segenap aturannya. Regulasi baru ini berbeda dengan aturan lama yang diterapkan dalam permainan poona maupun battledore.

Artikel dalam majalah The Cornhill Magazine terbitan tahun 1863 menggambarkan bulu tangkis sebagai “permainan battledore yang dimainkan dengan dua sisi, yang dipisahkan dengan pembatas setinggi lima kaki dari permukaan tanah.”

Dari sinilah era badminton modern dimulai.

Dari IBF Menjadi BWF

Turnamen bulu tangkis terbuka pertama di dunia digelar pada 1898 di Guildford, Inggris. Perhelatan ini ternyata digemari dan diadakan lagi dengan konsep yang lebih besar pada 1899 di London’s Holticultural Halls dengan nama All England. Hingga kini, All England termasuk turnamen bulu tangkis paling bergengsi di dunia.

Namun, kala itu belum ada organisasi yang menaungi olahraga tepuk bulu dalam konteks internasional. Maka, seperti ditulis Pratibha Mittal dalam Badminton: Rules and Regulations (2015), pada 1934 didirikan International Badminton Federation (IBF) selaku induk olahraga bulu tangkis dunia.

Anggota perintis IBF ada 9 negara, yaitu Kanada, Denmark, Perancis, Belanda, Inggris, Selandia Baru, Irlandia, Skotlandia, dan Wales. Sedangkan Amerika Serikat bergabung 4 tahun berikutnya. Indonesia saat itu belum merdeka dan masih menjadi koloni Belanda dengan nama Nederland Indie atau Hindia Belanda.

Dalam Kongres Luar Biasa pada 24 September 2006 di Madrid, Spanyol, disepakati bahwa IBF berganti nama menjadi Badminton World Federation (BWF) dengan jumlah anggota sebanyak 176 negara.

Emas RI di Olimpiade

Badminton sempat dipertandingkan sebagai cabang olahraga percobaan di Olimpiade Munich (Jerman) pada 1972. Indonesia mampu menyumbangkan dua medali emas melalui Rudy Hartono (tunggal putra) serta pasangan Ade Chandra/Christian Hadinata (ganda putra).

Bulu tangkis baru menjadi salah satu cabang olahraga resmi Olimpiade pada 1992 di Barcelona, Spanyol. Di kesempatan pertama tersebut, Indonesia sukses mengawinkan dua medali emas dari sektor tunggal putra dan putri melalui Alan Budikusuma dan Susi Susanti.

Selain itu, medali perak diraih oleh Ardy B. Wiranata dari sektor tunggal putra serta pasangan Eddy Hartono/Rudy Gunawan dari sektor ganda putra. Tunggal putra lainnya, Hermawan Susanto, membawa pulang medali perunggu.

Di sepanjang gelaran Olimpiade sejak 1992 hingga 2016, Indonesia hanya gagal menyumbangkan medali emas pada 2012 di London. Selebihnya, medali emas selalu bisa dibawa pulang ke tanah air.

Para penyumbang medali emas Olimpade untuk Indonesia itu adalah Rexy Mainaky/Ricky Subagja (1996) dan Tony Gunawan/Candra Wijaya (2000) dari sektor ganda putra. Kemudian Taufik Hidayat (2004) dari sektor tunggal putra.

Ganda putra Indonesia kembali meraih medali emas melalui Hendra Setiawan/Markis Kido (2008). Sempat gagal di London pada 2012, Indonesia mendapatkan medali emas lagi di Olimpiade 2016 Rio de Janeiro lewat ganda campuran Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir.

Total, sejak Olimpiade 1992, Indonesia mengumpulkan 19 medali dari pesta olahraga terbesar dunia tersebut, itu belum termasuk medali yang diraih pada Olimpade 1972 lantaran tidak dihitung secara resmi.

Baca juga artikel terkait SEJARAH OLAHRAGA atau tulisan lainnya dari Wisnu Amri Hidayat & Iswara N Raditya

tirto.id - Olahraga
Kontributor: Wisnu Amri Hidayat
Penulis: Wisnu Amri Hidayat & Iswara N Raditya
Editor: Iswara N Raditya