tirto.id - Kemenangan Jonatan Christie (Jojo) atas lawannya Chou Tienchen di final Asian Games 2018 di Istora Senayan, Jakarta, Selasa (8/28) memberi angin segar bagi kebangkitan bulutangkis Indonesia di nomor tunggal putra.
Sejak dipertandingkan pada Asian Games 1962 atau dari total 15 kali penyelenggaraan Asian Games, Indonesia berada di posisi kedua dengan raihan tujuh emas. Sementara posisi teratas peraih medali emas Asian Games nomor tunggal putra di tempati Cina dengan total sembilan emas.
Sebelum Jojo, nama pebulutangkis tunggal putra Indonesia yang berhasil meraih emas di ajang Asian Games adalah Taufik Hidayat. Taufik membawa pulang emas dari Asian Games di Busan, Korea Selatan (2002) dan Doha, Qatar (2006). Selanjutnya dalam dua gelaran Asian Games di Guangzhou (2010) dan Incheon (2014) emas selalu didapat Lin Dan, pebulutangkis Cina.
Selain Asian Games, dalam konteks lebih luas, Taufik memang juara di ajang Kejuaraan Badminton Asia (2007), Kejuaraan Badminton Dunia (2005), Olimpiade (2004), dan All England, tetapi setelah itu prestasi tunggal putra cenderung seret termasuk dalam Asian Games. Jangankan juara, untuk ke semifinal pun selalu gagal.
Bukan Unggulan
Pada Asian Games kali ini, tunggal putra bukanlah nomor yang ditarget emas. Beban emas ada pada nomor ganda putra dan ganda campuran. Sebabnya prestasi pemain tunggal putra pada ajang BWF Super Series 2017 yang biasa saja. Dari 13 seri, tunggal putra hanya bisa menyumbang satu gelar lewat Ginting pada Korean Open.
Begitupun tahun berikutnya ketika turnamen berubah format jadi BWF World Tour 2018, Indonesia selalu gagal meloloskan tunggal putra ke final. Lagi-lagi prestasi terbaik masih dilakukan oleh Ginting, itupun saat bertanding pada Indonesian Masters yang digelar awal Januari lalu.
Kepala Pelatih Tunggal Putra PBSI Hendry Saputra mengatakan kunci kemenangan Jojo dan Ginting adalah bermain sabar. "Mereka bisa bermain sabar, fokus dan tidak terburu-buru mematikan lawan. Sebetulnya kalau kondisi bagus, semestinya mentalnya oke kok," kata Hendry dikutip dari situs resmi PBSI, - badmintonindonesia.org.
Tunggal putra memang digdaya di kancah regional seperti Sea Games atau ASEAN, akan tetapi saat naik ke level Asia dan dunia, mereka yang digadang-gadang bisa jadi pengganti Taufik seperti Simon Santoso, Dionysius Hayom Rumbaka atau Tommy Sugiarto acap tampil buruk pada beberapa gelaran turnamen penting.
Titik puncaknya terjadi pada awal 2016 hingga pertengahan 2017. Saat itulah tidak ada atlet tunggal putra yang masuk rangking 10 besar versi BWF. Pada 2017, malah posisi Tommy Sugiarto - peringkat satu tunggal putra Indonesia terlempar hingga posisi 21.
Pada peringkat yang disusun Federasi Badminton Dunia (BWF) akhir Juli lalu, rangking Jojo dan Ginting terlempar keluar dari 10 besar. Jojo ada di urutan 15, sedangkan Ginting posisi 12. Acuan rangking BWF inilah yang jadi penentuan saat drawing grup. Itulah mengapa pada babak 32 besar, Jojo sudah berjumpa unggulan nomor satu pebulu tangkis asal Cina, Shi Yuqi dan Ginting melawan unggulan nomor dua asal Jepang, Kento Momota pada babak 16 besar. Beruntung penampilan apik Jojo dan Ginting pada babak penyisihan berhasil menyingkirkan Shi Yuqi dan Momota.
Hasil baik Jojo dan Ginting adalah titik balik tungal putra yang selama ini prestasinya cenderung terbenam. Sejak Taufik Hidayat pensiun, nyaris tunggal putra belum menemukan pengganti yang sepadan. "Saya hanya bilang, ini kesempatan yang Tuhan kasih, jangan disia-siakan," jawab Hendry ketika ditanya apa yang dilakukannya dalam persiapan menuju Asian Games untuk membakar semangat Anthony dan Jonatan yang tampil baik di ajang ini.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Jay Akbar